Dimuat di Bisnis Indonesia Minggu Minggu V Agustus 1997

Pemerasan
Cerpen Ngarto Februana

Ada sesuatu yang tidak beres, duga Hans dalam hati. Belakangan ini, ia bagaikan dihantui perasaan waswas. Ada bahaya mengancam? Entahlah.

Hans melirik kaca spion mobilnya. Memperhatikan mobil sedan warna metalik persis di belakangnya. Sejak Hans keluar dari halaman kantornya, mobil itu mengikutinya. Dan, lelaki berkacamata hitam, yang duduk di belakang stir sedan metalik yang menguntitnya itu, diakah sumber ancaman?

Malam terus merambat. Jalanan macet. Klakson kendaraan: mobil, mikrolet, bus kota bikin bising. Lalu, musik dangdut dari toko kaset, peluit polisi lalu lintas, gemuruh roda-roda kereta tambah membuat bising. Anak-anak pengasong lalu lalang di antara kendaraan yang terjebak kemacetan, menjajakan dagangannya: rokok, tahu, koran, permen, minuman mineral, dan lain-lain.

"Om, koran, Om," seorang pengasong menawarkan koran sore. "Berita menarik, Om. Suami main selingkuh, diperas preman."

Hans menoleh sebentar. Menurunkan kaca pintu mobil. Melirik judul salah satu surat kabar: "Karena Persaingan Bisnis, Seorang Pengusaha Tewas." Hans tak tertarik. Kembali menutup kaca. "Ah, ada-ada saja," Hans menggumam. Lalu ia tancap gas, ketika jalan di depannya agak lengang. Dan, sedan metalik yang dikendarai lelaki berkacamata hitam terus mengikuti.

Sial! Siapa dia? pikir Hans penasaran. Ketika Hans sampai di depan rumahnya, si penguntit pun menghentikan mobilnya. Seorang satpam membuka pintu gerbang. Hans memasukkan mobil ke halaman, lalu ke garasi.

Iswati, sang istri, sudah menunggu di depan pintu. Menyambutnya dengan hangat. Membawakan tas, menggandeng lengan suaminya. Di dalam kamar, Iswati melepas dasi Hans. Begitu mesra.

Hans, 38 tahun, lelaki ganteng dan gagah itu, membalas sambutan istrinya secara seimbang. Sayang, Iswati tak tahu bahwa Hans melakukannya dengan setengah hati. Secara artifisial. Yah, ia senantiasa berusaha menyenangkan hati sang istri. Selalu bersikap manis, mesra, dan lembut, serta penuh kasih sayang. Itu semua harus dilakukan, walau sesungguhnya ia menyimpan kekecewaan di sudut hatinya yang terdalam.

Iswati tak bisa memberikan anak. Kata dokter, istrinya mandul. Sepuluh tahun usia perkawinannya tanpa membuahkan anak yang bisa mengisi suasana rumah. Rumah mewah itu tanpa pernah dihiasi celoteh kanak-kanak atau tangis bayi. Ah, Hans merindukan itu semua. Juga Iswati. Tapi, Tuhan tampaknya belum mengaruniai buah hati.

Hebat! Hans dan Iswati bisa mempertahankan bahtera rumah tangganya, meski tanpa kehadiran anak. Tentu, Hans tak mungkin kawin lagi. Bukan tidak mau atau tidak mampu. Jelas ia mampu, karena ia masih cukup muda, ganteng, gagah, dan kaya. Perusahaannya sedang berkembang pesat. Semua kekayaan dan khususnya perusahaannya yang bergerak di bidang periklanan itu semata-mata karena Iswati.

Kenapa Iswati? Bukankah ia hanya wanita biasa, bukan wanita karir. Yah, Iswati memang tipe ibu rumah tangga, walau belum pernah menjadi ibu dari seorang anak pun. Wanita berusia 34 tahun itu adalah sosok seorang istri yang baik: pandai memasak, pintar merawat rumah, setia melayani sang suami, pasrah dan sumarah. Namun, ia merupakan kartu truf keberhasilan Hans.

"Ada orang mencurigakan menguntitku terus," cerita Hans seusai makan malam.

Raut wajah Iswati memancarkan rasa cemas. Begitulah bila sang suami menghadapi problem apalagi ancaman sekecil apa pun. Itu karena Iswati sangat sayang pada sang suami. "Siapa itu, Mas?"

"Aku tak tahu. Sejak keluar dari kantor tadi, ia terus menguntitku sampai depan rumah. Lalu ia menghilang. Jangan-jangan rampok," tutur Hans.

"Aduh, gimana, ya, Mas, kalau dia itu rampok. Ah, mudah-mudahan saja Mas salah duga. Mungkin kebetulan saja," komentar istrinya.

"Entahlah. Aku capek. Pingin tidur." Ia pun masuk ke kamar diikuti istrinya. Berbaring di ranjang dan berdekapan dengan sang istri.

Di ranjang, Iswati tidak bisa langsung memejamkan matanya. Ia teringat ayahnya yang telah meninggal delapan tahun silam. Ayahnya begitu baik, senantiasa bersikap melindungi, dan menjamin masa depannya. Juga sangat demokratis terhadap pilihan-pilihan anaknya. Buktinya, sang ayah mewariskan perusahaannya kepada tiga anaknya. Iswati memperoleh bagian perusahaan periklanan yang kini dikelola Hans. Iswati menempati posisi sebagai komisaris, karena dia pemilik modalnya. Dan, operasionalnya ditangani Hans yang menjabat sebagai direktur. "Mas, sudah lama kita tidak mengunjungi ibu. Aku kangen. Bagaimana kalau minggu depan aku mengunjungi ibu," usul Iswati sebelum akhirnya terlelap.

"Boleh, boleh, biar si Maman yang mengantarmu. Aku menyusul. Masih banyak kesibukan di kantor," kata Hans sambil mempererat dekapannya dengan rasa sayang.

Sial! Beberapa hari berikutnya lelaki misterius itu kembali menguntitnya. Saat sang istri tak ada di rumah. Ke Bogor mengunjungi ibunya.

Suatu siang, ketika Hans makan siang di sebuah restoran di Jalan Kebon Sirih, seorang lelaki berusia 35 tahun, berperawakan tinggi atletis, berkacamata hitam, menyamperi meja Hans. Ia langsung duduk di hadapan Hans. Spontan Hans meletakkan sedok dan garpu, memandang curiga kepada tamu tak diundang itu.

Lelaki berkacamata hitam itu mengulurkan tangan. "Maaf, mengganggu. Saya Edward. Saya ingin menawarkan kerja sama dengan Anda," kata lelaki yang mengaku bernama Edward itu.

Hans tak menyambut uluran tangan Edward. Ia menatap si pendatang itu dengan dingin dan tidak bersahabat. "Saya tidak kenal saudara," kata Hans.

"Justru itu saya ingin berkenalan," sela Edward.

"Untuk apa?" Hans sinis.

"Seperti telah saya katakan, saya ingin menawarkan kerja sama."

"Maksud Saudara?"

Edward membuka tas. Mengeluarkan sebuah album foto dan menyodorkan ke Hans. Dengan penuh rasa curiga Hans meraih album itu dan membukanya. Tiba-tiba wajahnya memerah. Matanya pun merah. Hatinya panas. Rasanya ia ingin melempar album itu ke muka si misterius yang kurang ajar itu.

"Saudara ingin memeras saya?" tuduh Hans dingin.

"Barangkali begitu. Tapi tak ada pilihan lain, kecuali kerja sama. Demi Anda dan perusahaan Anda. Kecuali jika Anda menghendaki lain," Edward nyerocos. "Yah, hanya lima puluh juta. Itu tak berarti bagi Anda, dibanding risiko jika rahasia ini sampai di tangan istri Anda, bukan." Edward mengeluarkan sebatang rokok.

"Apa saudara pikir saya takut? Saya bisa lakukan sesuatu, agar saudara bungkam," ujar Hans sambil berdiri. Lalu ia ke kasir, membayar rekening makanan yang telah dipesannya dan disantapnya.

"Okey, masih ada waktu tiga hari lagi. Ingat, jika istri Anda tahu hal ini, posisi Anda terancam. Bagaimana jika istri Anda minta cerai? Anda akan kehilangan segalanya," ancam Edward sambil memberikan kartu nama sebelum Hans pergi.

Hans kembali ke kantor. Sore hari ia pulang dan ia terkejut ketika sampai di rumah. Seorang wanita cantik tengah menunggu di ruang tamu, duduk di atas sofa.

"Kenapa kamu kemari, Melin? Gawat?" Hans duduk dengan gugup di samping wanita itu. "Kalau istriku tahu bisa celaka."

"Habis, empat hari Mas enggak ke rumah. Kangen nih," wanita itu merajuk manja sambil membela-belai Hans. "Aku rindu kemesraan bersamamu. Kapan lagi kalau tidak sekarang. Mumpung istrimu sedang pergi, bukan?" Melin, perempuan cantik nan seksi itu, terus beraksi dengan penuh nafsu berahi.

"Ssst ada orang ingin memeras aku," bisik Hans di telinga wanita simpanannya itu.

Melin tak menghiraukan. Ia terus beraksi dengan ganasnya.

"Ini serius," tegas Hans.

"Turuti saja kemauannya," saran si perempuan.

"Bodoh."

"Kalau begitu lupakan saja. Lebih baik kita bercumbu."

"Pemeras itu telah memotret percintaan kita di Ancol dulu. Foto-foto itu bisa dikirimkan ke istriku, jika kemauannya tidak kita turuti."

"Berapa dia minta?"

"Lima puluh juta."

"Apa artinya lima puluh juta buatmu, Mas. Lebih baik berikan saja ketimbang kamu celaka," bujuk si perempuan yang tak mau berhenti mencumbu Hans.

Tiba-tiba terlintas kecurigaan dalam pikiran Hans tentang diri Melin. Kenapa ia ngotot agar ia memenuhi permintaan Edward? Hans tak bisa berpikir panjang lagi, karena Melin kian ganas mencumbu. Hans pun larut dalam lautan kemesraan itu. Saat keduanya makin asyik bergumul di sofa, tas Melin jatuh dan isinya berserakan di lantai. Secara tak sengaja Hans melihat benda yang mencurigakan. Tapi, ia pura-pura tidak tahu. Dengan cerdik, sambil tetap bermesraan, ia meraih sebuah kartu nama dan selembar foto. Tapi, ia tak menyangka, pada saat yang menentukan itu, Iswati telah berdiri di ambang pintu.

"Apa yang kalian lakukan? Biadap! Ternyata kamu selingkuh dengan perempuan lain. Gila! Di rumahku lagi. Apa kamu tak tahu diuntung. Ceraikan aku segera. Tinggalkan perusahaan. Pergi dari rumah ini.!" seru Iswati dengan kemarahan mencapai puncaknya.

Hans dan Melin terkejut bukan kepalang. Dengan terburu-buru mereka membenahi pakaiannya masing-masing.

"Duh, mampuslah aku," keluh Hans tak berdaya. Masih adakah harapan untuk selamat? pikir Hans kacau. Setidaknya jika aku berhasil menjelaskan bahwa ini adalah pemerasan. Edward dan Melin bekerja sama untuk menjebaknya. Kartu nama Edward dan beberapa lembar foto. Salah satunya bergambar Edward dan Melin. Semoga masih ada harapan, harapnya dalam hati.

[puisi]  [novel]  [sinetron]  [skripsi]  [profil]
[surat-surat] [proses kreatif] [artikel] [respons] [guestbook] [bahasa]

 

Hosted by www.Geocities.ws

1