Tasawuf:
Hikmah &
Penyimpangannya
Awalnya para sufi pertama berkomitmen pada Qur'an dan
Sunnah. Namun, selanjutnya, tasawuf dipenuhi filsafat yang memuat paham-paham
asing dalam dunia Islam. Generasi
awal yang terdiri dari para sahabat dan tabi'in menerima dan mengajarkan Islam
secara utuh, seimbang, mendalam dan komprehensif. Mereka tidak menonjolkan salah
satu bidang, sementara bidang yang lain dilupakan. Ketika mereka memperhatikan
aspek batiniyah, mereka tidak melupakan aspek lahiriyah. Ketika mereka mengejar
urusan ukhrawi, mereka tidak melalaikan urusan duniawi. Pendek kata, mereka
memberi perhatian terhadap akal, ruh, dan jasad secara menyeluruh dan seimbang. Waktu
terus bergerak, perubahanpun terjadi. Karena faktor internal dan eksternal,
mulai didapati individu-individu tertentu atau bahkan sekelompok orang yang
mengkhususkan diri untuk mendalami salah satu bidang tertentu dari ajaran Islam.
Di antaranya ada yang mengkhususkan diri menelaah masalah-masalah ibadah dan
segala urusan perintah dan larangan agama. Mereka ini kemudian dikenal dengan
ahli fiqih atau fuqaha. Dari sini lahir empat imam madzhab yang sangat terkenal,
yaitu Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi. Sebelumnya
ada segolongan orang yang lebih menitik beratkan perhatiannya pada
masalah-masalah iman dan keyakinan. Mereka ini kemudian dikenal sebagai ahli
ilmu kalam, filsuf, atau teolog Islam. Bidang ini selain melahirkan tokoh-tokoh
besar, juga menghasilkan berbagai aliran pemikiran mengenai pokok-pokok agama (ushuluddin),
di antaranya adalah Jabariyah dan Qadariyah yang sampai sekarang masih hidup di
tengah-tengah pemahaman kaum Muslimin. Tak
lama kemudian segolongan orang lagi memusatkan perhatiannya pada aspek ruhani
dan kejiwaan. Mereka itulah yang kemudian hari dikenal sebagai ahli tasawuf atau
kaum sufi. Kemunculan mereka sesungguhnya dipicu oleh keadaan di mana sebagian
kaum Muslimin sudah tenggelam dalam kemewahan hidup materialistis. Sebagian dari
penguasa dan orang-orang kaya mulai terjangkiti penyakit hedonistis. Saat
itu harta kekayaan ummat Islam melimpah seiring dengan perluasan wilayah yang
semakin ekspansif. Serdadu Muslim selain membawa pulang harta rampasan juga gaya
hidup baru. Tak heran jika kemudian para penguasa menjiplak gaya hidup kaisar
dan kaisar yang berkuasa di negara-negara tiranis. Adapun orang-orang kaya sibuk
menambah kekayaannya dan melupakan kehidupan ukhrawi. Gaya hidup baru seperti
itu sama sekali tak terlihat pada masa rasulullah dan para sahabatnya. Kemunculan
ahli tasawuf ini pada mulanya bertujuan untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari
pola hidup hedonis yang murkai Allah Subhaanahu wa ta'ala. Mereka menyeru
kehidupan sederhana dengan cara memerangi hawa nafsu. Gaya hidup yang ditawarkan
kaum sufi itu kemudian dikenal dengan istilah zuhud, yang kemudian pengertiannya
meluas hingga meninggalkan ingar bingar kehidupan ramai. Tasawuf
sebagai pendatang baru segera diterima oleh masyarakat Muslim yang saat itu
mulai merasakan kekeringan ruhani. Tasawuf datang mengisi kekosongan yang tidak
diisi oleh fiqih dan ilmu kalam, sebab kedua bidang ilmu yang disebutkan
terakhir itu lebih menekankan pada aspek pikir dan segala sesuatu yang bersifat
lahir. Sementara tasawuf menawarkan sesuatu yang bersifat batin. Sebenarnya
pada setiap agama, tidak saja agama Islam mempunyai kecenderungan dan tradisi
tasawuf, yaitu arahan untuk memperdalam aspek ruhani. Bahkan pada agama Hindu di
India, misalnya, terdapat orang-orang yang menaruh perhatian yang sedemikian
rupa terhadap masalah ruhaniyah sampai sampai mereka membiarkan dirinya dalam
kefakiran, bahkan ada kecendrungan untuk menyiksa fisik untuk tujuan kesucian
jiwa. Demikian halnya dalam agama Mesehi, terutama dalam kehidupan kependetaan. Di
masa Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wa sallam kecenderungan sebagian
sahabat untuk menjalani kehidupan kesufian sebenarnya telah ada. Akan tetapi
karena Islam diturunkan bukan untuk menonjolkan satu aspek saja, maka
kecenderungan itu telah diposisikan kembali oleh Rasulullah pada titik equilibrium
yang tepat. Islam datang membawa keseimbangan antara kehidupan ruhani, kehidupan
jasmani, dan akal pikiran. Ketika
Abdullah bin Amr bin 'Ash melakukan puasa terus menerus setiap harinya, shalat
malam hingga tidak tidur, serta meninggalkan kewajibannya sebagai suami terhadap
istrinya, maka Rasulullah saw menegurnya secara keras. Beliau bersabda: "Wahai Abdullah, sesungguhnya matamu mempunyai hak atasmu,
sesungguhnya keluargamu punya hak atasmu, sesungguhnya istrimu mempunyai hak
atasmu, dan sesungguhnya tubuhmu punya hak atasmu, maka berikanlah masing-masing
yang mempunyai hak atas haknya."
Potensi
kesufian itu sebenarnya telah ada pada setiap orang, oleh karenanya ketika
potensi itu dipupuk dan disiram dengan baik, maka ia akan tumbuh subur dan
berkembang secara cepat. Bahkan ada kecenderungan pertumbuhannya menjadi tak
terkendali. Ketika
masyarakat Muslim mendewakan akal dan iman tidak lebih dari ungkapan filsafat
yang diperdebatkan dalam forum-forum diskusi yang tidak memuaskan ruhani, dan
fiqih hanya mempersoalkan amalan badaniyah dan bukan amalan ruhani, maka Tasawuf
adalah jawabannya. Tidak ada yang dapat menutup kekosongan dan kehampaan ruhani
ini kecuali Tasawuf. Tidak ada yang dapat menghilangkan kelaparan ruhani kecuali
kaum sufi. Mereka berusaha membersihkan batin sebelum membersihkan lahirnya.
Mereka mengobati penyakit jiwa, memprioritaskan amalan hati, dan menyibukkan
diri dengan pendidikan ruhani dan akhlaq. Ahli
tasawuf periode pertama sebenarnya masih komitmen terhadap al-Qur'an dan as-Sunnah,
mengikuti batas-batas syara', dan menjauhi bid'ah dan khurafat, baik dalam
pemikiran maupun perilakunya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya tasawuf
beralih dari pendidikan akhlaq dan pendidikan ruhani kepada filsafat yang memuat
paham-paham yang asing dalam dunia Islam. Tokoh-tokoh mereka mulai memalingkan
ajaran tasawuf dari sumber pokok ajaran islam yang asli dan otentik. Saat
itu mulia diperkenalkan ajaran tentang hulul, yaitu ajaran yang
menyatakan bahwa Tuhan ber-reinkarnasi dalam tubuh manusia. Yang lain adalah wihdatul
wujud, kesatuan wujud. Bahwa yang ada hanya Allah, yang karenanya Allah
adalah alam dan alam adalah Allah. Ajaran ini pertama kali diperkenalkan oleh Al-Hallaj
yang karena telah tertipu oleh syetan sampai ia mengatakan: "anallah",
aku adalah Allah. Inilah penyimpangan tasawuf yang paling besar, yang ajarannya
mengadop dari ajaran Masehi yang mempercayai bahwa al-Khaliq berinkarnasi dalam
tubuh Isa Al-Masih. Puncak
dari penyimpangan wihdatul wujud itu adalah ketika ajaran ini
memperkenalkan bahwa tidak ada lagi yang bernama al-Khaliq (Pencipta),
yang dengan sedirinya tidak ada yang disebut makhluq. Tidak ada rabb (Tuhan),
juga tidak ada marhub (Yang dipertuhan). Inti dari ajaran ini adalah
meniadakan tanggung jawab, baik individual maupun sosial, yang justeru merupakan
pilar utama akhlaq Islam. Dalam pandangan ini, tidak ada bedanya antara orang
baik dan orang jahat, antara penyembah tauhid dan penyembah berhala, karena
semua yang ada merupakan lambang dari wujud Tuhan. Di
luar penyimpangan yang tidak terampuni itu, kecenderungan orang yang menempuh
jalan tasawuf untuk bersikap berlebih-lebihan dalam agama. Kegairahan mereka
yang berlebih-lebihan itu akhirnya menjebaknya pada suatu sikap yang sama sekali
tidak dibenarkan syari'at. Bahkan ada kalangan tertentu yang berani berdusta
atas nama Rasulullah dengan mengeluarkan hadits yang sama sekali tidak berasal
dari beliau Saw. Dengan enteng mereka mengatakan, jika untuk fadhailul a'mal
dan menganjurkan kebaikan, kenapa dilarang? Hal
lain bahwa di antara kaum sufi ada yang menjadikan perasaan pribadi atau ilham
sebagai tolok ukur untuk mengetahui baik buruk, dan benar salah. Padahal
al-Qur'an dan as-Sunnah adalah timbangan yang sebenarnya. Di
antara mereka ada yang memisahkan antara syari'at dan hakikat. Mereka memandang
remeh syari'at dan mengagungkan hakikat, seolah-olah mereka yang sudah sampai
pada maqam hakikat tidak memerlukan lagi syari'at. Demikian
halnya dengan kecenderungan mereka yang meremehkan kehidupan dunia, sementara
ajaran Islam sama sekali tidak menghinakan dunia. Bahkan kaum Muslimin
dianjurkan berdo'a: "Ya Allah berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akherat." (al-Baqarah:
201) Masih
banyak lagi ajaran sufi yang perlu dikritisi, yang karenanya kita tetap mesti
hati-hati untuk mengambil mutiara walaupun di tempat sampah. (Abu Syaif)
|