Sifat-sifat Dasar Madinah   

Back ] Home ] Up ] Next ]

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. al-Hasyr: 9)

Asbaabun Nuzul

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki datang menghadap Nabi Muhammad Salallaahu 'alaihi wa salam sambil berkata, "Ya Nabi, kami telah merasa payah (lapar)." Nabi segera memerintahkan istri-istrinya untuk memberi sekadar makanan, akan tetapi tak seorangpun dari istri beliau yang mempunyai makanan.

Nabi lalu menawarkan kepada para sahabatnya, "Siapa yang menjamu orang ini pada malam ini, niscaya Allah akan memberinya rahmat."

Atas tawaran ini berdirilah seorang Anshar, dan berkata, "Saya ya Nabi." Kemudian ia menemui istrinya dan berkata, "Ini adalah tamu Rasulullah, jangan kamu sembunyikan makanan buat dia (suguhilah dia)." Istrinya menjawab, "Saya tidak mempunyai makanan apa-apa kecuali sedikit untuk anak-anak." Laki-laki itu menjawab, "Begini, jika tiba waktu makan malam, tidurkanlah dia (anaknya), matikan lampu-lampu." Saat itu keluarga tersebut tidur dengan perut kosong.

Pagi harinya laki-laki itu berniat ke rumah Nabi dan (sebelum menceritakan kejadian semalam) Nabi mendahului berkata, "Allah Subhaanahu wa ta'aala kagum dan tertawa atas tindakan suami istri ini, dan Allah menurunkan ayat.(QS.al-Hasyr: 9)."

Musaddad dalam Musnadnya dan Ibnu Mundzir dari Abi Al Muttawakkil An Naajy, meriwayatkan dengan kata-kata "seorang laki-laki Muslim", hadits selanjutnya serupa. Dalam hadis ini diterangkan bahwa laki-laki yang dimaksud adalah Tsabit bin Qais bin Syimas.

Dalam kisah lainnya, al-Wahidy dari Maharib bin Disar dari Ibnu Umar, berkata, "Ada seorang laki menerima hadiah dari salah seorang kawannya berupa kepala kambing. Kemudian orang ini berkata, bahwa si Fulan lebih utama menerima hadiah ini."

"Kemudian hadiah itupun dikirim ke rumah orang yang lebih membutuhkan itu. Namun orang ini juga berpendapat sama, sehingga hadiah ini berputar sampai tujuh rumah dan akhirnya masuk rumah mereka masing-masing. Dari peristiwa ini turunlah ayat di atas tadi."

Peristiwa Hijrah

Menurut sumber yang paling otentik, Rasulullah Saw sampai di kota Yatsrib pada bulan Rabiul-Awwal, berkisar antara tanggal 2 hingga 16, bertepatan dengan tahun 622 M. Dengan penyesuaian perhitungan hilaliyah Arab (yang berdasarkan peredaran bulan), akhirnya ditetapkanlah hari pertama bulan Muharram sebagai tahun awal hijriyah. Penetapan peristiwa hijrah menjadi kalender Islam merupakan langkah yang tepat sebagai tanda berdirinya negara baru.

Al-Qur'an mencatat berbagai peristiwa hijrah dalam beberapa ayatnya sebagai apresiasi atas keteguhan, kesabaran, dan kesungguhan kaum muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Mereka bahu membahu mewujudkan negara impian yang sebelumnya tidak pernah mewujud, bahkan dalam mimpi sekalipun.

Peristiwa yang digambarkan dalam asbabun nuzul di atas hanya merupakan fragmentasi dari berbagai peristiwa yang menarik lainnya. Bahkan lebih banyak lagi yang lebih menarik dan patut dicatat di sini. Akan tetapi cukuplah satu peristiwa ini untuk dijadikan bahan renungan tentang masyarakat yang bagaimana yang hendak diwujudkan oleh Islam.

Negara Ideologi

Rasulullah Saw tidak pernah memproklamirkan negara Yatsrib atau negara Madinah, sebab bukan kedaulatan wilayah yang menjadi tujuan utama gerakan Nabi. Negara yang hendak dibangun Islam adalah negara yang memberi ruang pada kedaulatan aqidah (ideologi) dan fikrah (paradigma). Ketika beliau hijrah meninggalkan Makkah bukan bermaksud untuk menegakkan kekuasaan Madinah.

Demikian juga ketika beliau berperang, bukan dalam kerangka memerangi wilayah Makkah. Itulah sebabnya, ketika Futuh Makkah (Kemenangan atas Makkah), sekalipun pada saat itu kaum Muslimin telah menguasai sepenuhnya wilayah Makkah, beliau tak hendak menduduki kota tersebut. Tak ada niat sedikitpun untuk membalas dendam. Tak ada keinginan untuk berkuasa di Makkah. Karenanya, ketika semuanya telah dikuasai, beliau kembali ke Madinah, bukannya membangun pemerintahan di kota kelahirannya itu.

Banyak ahli sejarah yang menamakan negara yang pertama kali didirikan oleh Rasulullah Saw sebagai negara Madinah hanya karena pusat pemerintahannya di Madinah. Penamaan yang keliru itu sering kali menimbulkan salah pengertian. Negara Madinah akhirnya disamakan dengan City State (negara kota) seperti Athena dan Sparta di masa purba.

Negara baru yang terbentuk di Madinah itu barangkali lebih tepat disebut sebagai negara hijrah, karena negara ini didirikan atas dasar ideologi Islam yang bisa didirikan di mana saja, bukan hanya di kota Madinah. Karena dasarnya adalah ideologi, maka sifatnya menjadi universal, tidak tergantung dan terbatas pada wilayah geografis tertentu.

Ada konsep baru yang ditawarkan oleh negara hijrah, bahwa negara itu melampaui batas-batas wilayah geografis. Negara ini lebih cocok dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan (basic values of humanity) sebab yang menjadi dasar utama kewarganegaraannya bukan nasionalisme, suku, ras, atau pertalian darah. Seseorang tidak pernah bisa memilih siapa ayah dan ibunya dan di mana ia dilahirkan. Manusia juga tak bisa memilih daerah tertentu di mana dia akan membangsakan dirinya sepanjang hidupnya. Manusia bahkan tak pernah bisa memilih di atas tikar atau kasur mana ia dilahirkan oleh ibunya.

Sebaliknya, manusia bisa memilih konsep hidup tertentu atau aqidah tertentu. Manusia secara bebas dan merdeka menentukan pilihan aqidahnya tanpa tekanan dari pihak manapun dan oleh siapapun. Negara baru yang dibangun Rasulullah adalah negara ideologi yang didasarkan pada asas kemanusiaan yang terbuka. Allah berfirman:

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.al-Baqarah:256)

Islam menjunjung tinggi kemuliaan manusia atas daya pikir dan nalarnya, yang karenanya ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Saw adalah:

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhamulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS.al-'Alaq: 1-5)

Allah tidak memperlakukan hamba-hamba-Nya secara paksa. Walaupun kepada kebenaran, Allah tetap tidak memaksakan. Terhadap pilihan manusia, Allah memberi kebebasan dan mengapresiasi kemampuan berpikir manusia, tetapi kemudian meminta pertanggung jawabannya. Dia tidak memaksakan seseorang untuk beriman, tidak pula hendak menghapuskan kekufuran. Bukan hanya diberi kebebasan untuk memilih, lebih dari itu bahkan manusia diberi banyak fasilitas untuk menentang-Nya.

"Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya." (QS.al-An'aam: 149)

Pada ayat yang lain Allah kembali menegaskan:

"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (QS.Yunus: 99)

Konsep negara yan ditawarkan Islam itu benar-benar baru dan orisinil. Inilah negara yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tak lain karena konsep yang dianutnya menetapkan sebuah keyakinan akan adanya Rubbun-Naas, Tuhan manusia. Hanya dengan kepercayaan ini orang boleh berbicara tentang persamaan dan kebersamaan hak serta kewajiban. Hanya dengan pengakuan bahwa semua manusia sebagai makhluq dan hamba-Nya Tuhan, barulah berbicara tentang kesetaraan.

Rabbun Naas (Tuhan Manusia) adalah juga Rabbul 'Alamin (Tuhan Alam Semesta). Sebagai Tuhan manusia, dan Tuhan semesta alam, tidak ada diskriminasi yang mengunggulkan suatu ras atas ras yang lain. Tak ada penghinaan satu negeri atas negeri yang lainnya karena ukuran-ukuran materi dan kejayaan kekuasaan. Tidak ada perbedaan antara yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam. Berikut ini adalah penegasan al-Qur'an:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya ada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui." (QS.ar-Ruum: 22) (Hamim Thohari)

Back ] Home ] Up ] Next ]

 
Hosted by www.Geocities.ws

1