BUNGA BANK   
Dr. Yusuf Qardhawi
 Back ] Home ] Up ] Next ]
Home ] Up ]
PERTANYAAN
 
Saya seorang pegawai golongan menengah, sebagian penghasilan saya tabungkan dan saya mendapatkan bunga.
 Apakah dibenarkan saya mengambil bunga itu? Karena  saya  tahu  Syekh  Syaltut memperbolehkan mengambil 
bunga ini. 
Saya pernah bertanya kepada sebagian ulama, di antara mereka ada yang memperbolehkannya dan ada yang  
melarangnya.  Perlu saya  sampaikan  pula bahwa saya biasanya mengeluarkan zakat uang saya, tetapi bunga 
bank  yang  saya  peroleh  melebihi zakat yang saya keluarkan. 
Jika bunga uang itu tidak boleh saya ambil, maka apakah yang harus saya lakukan?
 
JAWABAN 
Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, karena riba adalah semua 
tambahan yang disyaratkan atas pokok  harta.  Artinya,  apa  yang  diambil seseorang   tanpa   melalui   usaha  
perdagangan  dan  tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas  pokok  hartanya,  maka yang  demikian  itu 
 termasuk  riba.  Dalam  hal  ini  Allah berfirman: 
    "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
     jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
     ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
     riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak nganiaya dan tidak (pula) dianiaya."
    (Antara lain Baqarah: 278-279)
 
Yang dimaksud dengan tobat di  sini  ialah  seseorang  tetap pada  pokok  hartanya,  dan  berprinsip  bahwa 
tambahan yang timbul darinya adalah  riba.  Bunga-bunga  sebagai  tambahan atas  pokok  harta  yang diperoleh
tanpa melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan dagang lainnnya, 
adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru saya  Syekh  Syaltut   sepengetahuan   saya   tidak   pernah
memperbolehkan  bunga  riba, hanya beliau pernah mengatakan:
"Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat ijtima'iyah--  maka  bolehlah dipungut bunga itu." 
Dalam hal ini  beliau   memperluas   makna   darurat   melebihi   yang semestinya,  dan  perluasan  beliau  ini tidak
saya setujui. Yang pernah beliau fatwakan  juga  ialah  menabung  di  bank sebagai sesuatu yang lain dari bunga 
bank. Namun, saya tetap tidak setuju dengan pendapat ini. 
Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok  hartanya  dengan  hanya  mengambil  keuntungan.  Apabila 
dia melakukan perkongsian,  dia  wajib  memperoleh  keuntungan   begitupun kerugiannya.  Kalau  keuntungannya 
sedikit, maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan yang banyak. Dan jika tidak
 mendapatkan keuntungan, dia juga harus menanggung kerugiannya. Inilah makna persekutuan  yang sama-sama 
memikul tanggung jawab. 
Perbandingan  perolehan  keuntungan  yang tidak wajar antara pemilik  modal   dengan   pengelola   --misalnya   
pengelola memperoleh  keuntungan  sebesar  80%-90%  sedangkan  pemilik modal  hanya  lima  atau  enam  persen
atau   terlepasnya tanggung  jawab  pemilik  modal  ketika  pengelola mengalami kerugian, maka  cara  seperti  ini 
 menyimpang  dari  sistem ekonomi  Islam  meskipun  Syeh  Syaltut  pernah  memfatwakan kebolehannya. Semoga 
Allah memberi rahmat dan ampunan kepada beliau. 
Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil bunga bank, saya jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan  tidak 
boleh  ia mengambil   bunga  bank,  serta  tidaklah  memadai  jika  ia menzakati harta yang ia simpan di bank. 
Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi kasus demikian? 
Jawaban saya:  segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki dan wajib  disedekahkan  sebagaimana  dikatakan 
 para  ulama muhaqqiq  (ahli tahqiq). Sedangkan sebagian ulama yang wara' (sangat berhati-hati) berpendapat 
bahwa uang itu tidak boleh diambil  meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau membuangnya ke  
laut.  Dengan  alasan,  seseorang  tidak boleh  bersedekah dengan sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat ini 
bertentangan  dengan  kaidah  syar'iyyah  yang  melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya. 
Harta  itu  bolehlah  diambil  dan disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan  pada  proyek-proyek  kebaikan 
 atau lainnya  yang  oleh  si  penabung  dipandang bermanfaat bagi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena 
harta haram  itu --sebagaimana  saya katakan-- bukanlah milik seseorang, uang itu bukan milik  bank  atau  milik 
 penabung,  tetapi  milik kemaslahatan umum. 
Demikianlah  keadaan  harta yang haram, tidak ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat  
mensucikannya.  Yang dapat  mensucikan  harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah 
Rasulullah saw. bersabda: 
    "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari hasil korupsi." (HR Muslim)
 Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini,  karena harta  tersebut  bukan  milik  orang yang 
memegangnya tetapi milik umum yang dikorupsi. 
Oleh sebab itu, janganlah  seseorang  mengambil  bunga  bank untuk  kepentingan  dirinya,  dan  jangan pula 
membiarkannya menjadi milik bank sehingga dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam 
bermuamalat secara riba. Tetapi hendaklah   ia   mengambilnya   dan   menggunakannya    pada jalan-jalan 
kebaikan. 
Sebagian   orang   ada   yang   mengemukakan   alasan  bahwa sesungguhnya seseorang yang  menyõmpan  
uang  di  bank  juga memiliki  risiko  kerugian  jika bank itu mengalami kerugian dan  pailit,  misalnya  karena 
 sebab  tertentu.  Maka  saya katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, walaupun  si  
penabung  mengalami   kerugian   akibat   dari kepailitan   atau  kebangkrutan  tersebut,  karena  hal  ini
menyimpang  dari  kaidah  yang   telah   ditetapkan.   Sebab tiap-tiap  kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-
hukum dalam syariat Ilahi  -demikian  juga  dalam  undang-undang  buatan manusia--  tidak  boleh  disandarkan  
kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi. Semua  ulama  telah  sepakat bahwa  sesuatu  yang  jarang  terjadi  tidak dapat dijadikan
sebagai  sandaran  hukum,  dan  sesuatu  yang  lebih  sering terjadi  dihukumi sebagai hukum keseluruhan.
 Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan  kaidah  kulliyyah (kaidah umum). 
Menurut  kaidah  umum,  orang  yang  menabung uang (di bank) dengan  jalan  riba  hanya   mendapatkan   
keuntungan   tanpa memiliki  risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka  hal  itu  merupakan  
suatu  keganjilan  atau penyimpangan  dari  kondisi  normal,  dan keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran 
hukum.  
Boleh  jadi  saudara  penanya  berkata,  "Tetapi  bank  juga mengolah  uang  para  nasabah,maka mengapa saya 
tidak boleh mengambil keuntungannya?" 
Betul  bahwa  bank  memperdagangkan  uang  tersebut,  tetapi apakah  sang  nasabah  ikut   melakukan aktivitas 
dagang itu. Sudah tentu tidak. Kalau nasabah  bersekutu  atau  berkongsi dengan  pihak  bank  sejak  semula, maka
 akadnya adalah akad berkongsi, dan  sebagai konsekuensi nya  nasabah  akan  ikut menanggung  apabila  bank  
mengalami  kerugian.  Tetapi pada kenyataan nya,  pada  saat  bank  mengalami   kerugian   atau bangkrut,  maka
  para  penabung  menuntut  dan  meminta uang mereka, dan pihak  bank  pun  tidak  mengingkarinya.  Bahkan 
kadang-kadang   pihak   bank   mengembalikan  uang  simpanan tersebut  dengan  pembagian  yang   adil (seimbang)
jika berjumlah banyak, atau diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit. 
Bagaimanapun juga sang nasabah tidaklah  menganggap  dirinya bertanggung  jawab  atas  kerugian itu dan tidak 
pula merasa bersekutu  dalam  kerugian  bank  tersebut,  bahkan   mereka menuntut uangnya secara utuh tanpa 
kurang sedikit pun. 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388

ISBN 979-561-276-X

Back ] Home ] Up ] Next ]

Hosted by www.Geocities.ws

1