Senjata Setan Membidik Hati Nafsu
tersembunyi berupa keinginan untuk dipuji manusia selain dipuji Allah, merupakan
sifat yang terakhir kali keluar dari kalbu manusia Alkisah,
ada seorang 'abid (ahli ibadah) yang sangat istiqamah. Selama sepuluh
tahun ia selalu shalat persis di belakang imam, tanpa pernah tertinggal
sekalipun juga. Suatu hari, karena suatu kepentingan yang tidak bisa ditunda ia
ketinggalan berjama'ah. Dalam keadaan nafasnya tersengal-sengal, ia mengikuti
shalat jama'ah di barisan belakang. Mulanya
tidak ada perasaan apa-apa, tapi tanpa disadari muncul perasaan halus entah dari
mana. Tiba-tiba ia merasa malu manakala dilihat atau ditanyakan orang lain
tentang keterlambatannya. Saat itu juga ia menangis sejadi-jadinya. Bukan
menangisi keterlambatannya, tapi ia menangisi kenapa masih ada perasaan malu
kepada orang lain dalam dirinya. Ia mengambil kesimpulan sendiri bahwa selama
sepuluh tahun ia ia berjuang habis-habisan untuk selalu menempati shaf terdepan
karena malu kepada orang lain. Keinginan
untuk mendapatkan pujian dari orang lain, sebagaimana dalam kisah di atas
merupakan sesuatu yang sangat tersembunyi. Manusia sangat pandai
menyembunyikannya, bahkan saking halusnya terkadang pelakunya sendiri tak bisa
mendeteksinya sampai pada batas-batas tertentu. Seperti tokoh di atas, ia baru
menyadarinya setelah sepuluh tahun berjalan. Suatu masa yang sangat panjang. Dalam
kaitan ini Rasululah saw bersabda: "Sesungguhnya
yang paling aku khawatirkan terhadap ummatku adalah sifat riya dan nafsu yang
tersembunyi, yang lebih tersamar dari rangka semut hitam, di batu padat, di
malam yang kelam." (HR Ibnu
Majah dan Al-Hakim) Menurut
al-Ghazali, karena begitu tersamarnya sehingga para ulama sukar untuk meneliti
seberapa besar bahaya yang ditimbulkannya. Demikian juga para 'abid dan
orang-orang yang melazimkan dirinya dalam ketaqwaan. Inilah perangkap hawa nafsu
yang terakhir dan tercanggih. Setan
tidak pernah berputus asa menggoda dan menyesatkan manusia. Sekecil lubang
jarumpun peluang yang ada akan digunakannya semaksimal mungkin. Asal masih ada
peluang masuk, setan akan memaksimalkan tipu dayanya. Apalagi nafsu manusia
selalu timbul tak pernah berakhir. Satu lubang ditutup, terbukalah lubang
lainnya. Sampai pada lubang terakhir, yaitu perangkap manusia untuk mendapatkan
pujian dari manusia lainnya. Alangkah
beratnya tantangan yang harus dihadapi manusia agar terlepas dari gangguan hawa
nafsunya. Kadang manusia kelelahan jika terus menerus berjuang mengalahkan hawa
nafsunya. Pada saat kelelahan seperti ini, ia ingin beristirahat, berhenti
sejenak dari berperang menghadapi serangan bertubi-tubi yang datangnya dari hawa
nafsu. Saat itulah muncul bisikan tadi. Tumbuh keinginan pada dirinya untuk
memperlihatkan kebaikan diri dan memamerkan ilmu dan amalnya. Kesempatan
yang baik itu dimanfaatkan benar oleh setan dan hawa nafsu. Keinginan seperti
itu disambut dengan sangat antusias. Ia kini ditempatkan sebagai orang yang
terhormat dan terpandang, dimuliakan dan dikagumi. Manakala
orang tahu betapa dirinya telah melakukan mujahadah sekian lama dengan
meninggalkan dunia dan segala kenikmatannya, maka bertambah banyaklah orang yang
datang. Kini, mereka bukan saja memberikan pujian, menyanjung, dan menaikkan
tinggi-tinggi namanya, tapi mereka juga mulai mengharapkan berkah darinya. Sebutan
kyai khash, wali, dan berbagai predikat kehormatan selalu disebut-sebut
orang. Pada mulanya ia risih juga dengan sebutan dan predikat itu, tapi tak
kuasa juga ia menolaknya. Berkali-kali ia menolaknya, tapi semakin keras ia
menolak, semakin keras pula desakan ummat untuk menggelarinya dengan
sebutan-sebutan tadi. Tak terasa waktu terus berjalan, sehingga pada suatu
ketika ada orang yang memanggilnya dengan sebutan biasa-biasa saja. Pada saat
itulah ia tersinggung, walaupun ketersinggungan itu disimpan rapi di dadanya. Dalam
posisi seperti itu, berduyun duyun orang datang mengunjunginya sekadar
mengharapkan berkah dengan mencium tangannya atau meminta do'a darinya.
Petuahnya diikuti, kata-katanya diperhatikan. Dari kejauhan saja, semua orang
hormat dan menunduk kepadanya. Ketika
orang yang terhormat ini datang memenuhi suatu majelis, ia selalu ditempatkan
pada kursi terdepan dengan segala fasilitasnya yang berbeda dengan lainnya. Ia
diistimewakan dalam pelayanan dan makanan. Siapa yang tidak tersanjung dengan
perlakuan ini? Banyak
orang yang shalih akhirnya terperosok dalam perangkap ini. Mereka mengira bahwa
dirinya masih tercatat sebagai golongan orang-orang yang mendekatkan diri kepada
Allah Rabbil 'Izzati. Padahal ia telah menjauh dari-Nya. Ia kini tercatat
dalam golongan orang-orang munafiq, yang seluruh pahala ibadah dan segala amal
baiknya menjadi gugur karenanya. Nafsu
yang tersembunyi itu sesungguhnya telah menjadi gangguan terakhir pada semua
orang yang telah bersungguh-sungguh beribadah dan berbuat baik. Mereka telah
berhasil melewati segala rintangan yang telah menghadangnya, tapi untuk
rintangan terakhir ini, banyak yang gagal menembusnya. Nafsu tersembunyi, yaitu
keinginan untuk dipuji manusia selain dipuji Allah, merupakan sifat yang
terakhir kali keluar dari kalbu manusia. Pujian
dan penghormatan merupakan kenikmatan duniawi. Tak sedikit orang yang
mengejarnya dengan segala cara yang ia miliki. Orang 'alim dengan ilmunya.
Orang kaya dengan kekayaannya. Orang baik dengan kebaikannya. Aktivis dengan
berbagai kegiatannya. Keinginan untuk menjadi orang yang terpuji, terhormat, dan
terpandang acap kali dilakukan secara terang-terangan, tapi tidak sedikit dengan
cara yang amat samar dan halus. Kedua-duanya di sisi Allah sama saja. Allah
berfirman: "Negeri
akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan." (al-Qashash:
83) Ayat
di atas menyatukan antara keinginan untuk menyombongkan diri dengan berbuat
kerusakan. Artinya kedua perbuatan itu sama-sama terkutuknya, dan sama-sama
bahayanya. Sebab keinginan untuk menyombongkan diri bisa menumbuhkan sikap
munafiq, sedangkan kemunafikan jelas akan membawa kehancuran dan kebinasaan. Rasulullah
Salallaahu 'alaihi wa salam mengingatkan, bahwa hancurnya manusia banyak
diakibatkan karena mengikuti hawa nafsu dan mencintai pujian. Na'udzubillahi
min dzaalik.·(Abu
Zaidan) |