Imam yang Adil, Mutiara yang Hilang Back ] Home ] Up ] Next ]

"Dari Ummi Mukminin 'Aisyah ra. Nabi saw bersabda: "Ya Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku, lalu dia mempersulit urusan mereka, maka persulit pulalah dia, dan barang siapa yang menjabat jabatan dalam pemerintahan umatku, lalu dia berusaha menolong mereka maka tolong pulalah dia." (HR Muslim, Shahih Muslim vol 4 hal 212)

Kepemimpinan dalam Islam merupakan sebuah amanah dan tanggung jawab yang sangat besar sekali. Dia tidak hanya bertanggung jawab kepada manusia, baik secara tertulis maupun lisan dalam sebuah lembaga maupun tanggung jawab moral, dan dia juga akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Rabbnya, pada hari kiamat.

Hadits di atas merupakan do'a Rasulullah saw. Untuk seorang pemimpin, baik yang melaksanakan amanah atau tidak, beliau mendoakan pemimpin yang amanah dengan kebaikan. Suatu bukti bahwa dia melaksanakan amanah dia akan mempermudah urusan umatnya, karena keberadaannya sebagai pemimpin pada hakikatnya adalah untuk berkhidmat (melayani) rakyatnya (sayyidul qaumi khadimuhum), begitu juga sebaliknya.

Allah Subhaanahu wa ta'ala mengancam seorang hamba (manusia) yang tidak melaksanakan amanah ini, dengan tidak dijamin masuk surga sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

"Apabila seorang hamba(manusia) yang diberikan kekuasaan memimpin rakyat mati, sedangkan di hari matinya dia telah mengkhianati rakyatnya maka Allah mengharamkan surga kepadanya." (HR. Imam Muslim syarah an-Nawawi vol 4 hal 214)

Abu Dzar suatu kali bertanya kepada Rasulullah Saw: "Wahai Rasulullah maukah engkau mengangkatku memegang satu jabatan?" Rasulullah lalu menepuk bahunya dengan tangannya sambil bersabda: "Wahai Abu Dzar, Sesungguhnya ini (jabatan) adalah amanah. Dan sesunggunhnya ia pada hari kiamat menjadi kesengsaraan dan penyesalan, kecuali yang mengambilnya dengan haknya dan menyempurnakan apa yang wajib ke atasnya dan yang diatas jabatan itu" (Hadits riwayat Imam Muslim).

Sosok pemimpin yang amanah dan tanggung jawab pada Islam saat ini bagaikan sebuah mutiara yang mahal harganya, layaknya sebuah mutiara ia berada di dasar laut sehingga sukar untuk didapatkan, sinarnya tetap berkilauan walupun berada di dalam lumpur, kendatipun demikian tetap saja ada orang yang mendapatkan barang langka itu, artinya walaupun susah untuk dicari tetapi barang langka itu ada.

Ummat Islam saat ini membutuhkan mutiara tersebut, mereka ingin mendapatkannya kembali dan mengulang kejayaannya seperti pada masa-masa sebelum mereka. Pada masa Rasulullah dan masa Khulafaurrasyidin khususnya. Pada masa itu manusia hidup dalam keadaan damai, tenteram dan aman di bawah naungan Islam. Pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab telah menjadi seorang Qadhi. Pada masa itu, tidak pernah terjadi persengketaan antara para elit politik maupun rakyat dengan para pemimpinnya.

Umar bin Khattab, dikenal sebagai sosok pribadi yang keras. Namun walaupun Beliau seorang yang keras, akan tetapi dalam memimpin umatnya Beliau dapat bersikap menyayangi sampai kepada sesekor binatang Ia pernah berkata: "Kalaulah seekor bighal (binatang hasil perkawinan antara kuda dan keledai) jatuh tergelincir di dataran Irak, niscaya engkau akan mendapati aku sebagai orang yang paling bertanggung jawab atasnya, dikarenakan aku tidak memberinya jalan yang terbaik " (At-Tamkin Lil Umat Islamiyah Fi Dhau' Al-Qur'anul Karim, hal 189, dinukil dari Ahmad Muhamad Jamal, Muhimmah Haikim Muslim, hal 15).

Begitu juga dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau termasuk seorang khalifah yang sukses dalam mengentaskan kemiskinan. Ustadz Muhammad Sayid Muhammad Yusuf menyebutkan dalam bukunya At-Tamkin Lil Umat Islamiyah Fi Dhau' Al-Qur'anul Karim, bahwa Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab telah berkata, "Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz memerintah selama 30 tahun, ketahuilah demi Allah ia tidak meninggal kecuali seseorang mendatanginya dengan harta yang sangat banyak dan ia berkata pada orang tersebut: berikan saja harta ini kepada orang-orang fakir. Lalu orang tersebut mencari orang-orang fakir namun tidak mendapatkannya. Kemudian orang itu teringat dengan orang yang paling lemah diantara mereka, namun ia sudah tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Umar telah membuat orang-orang menjadi kaya." (At-Tamkin Lil Umat Islamiyah Fi Dhau' Al-Qur'anul Karim, hal 188 )

Itulah Umar bin Abdul Azis, seorang sosok pemimpin yang bagaikan mutiara berkilauan, banyak sudah yang telah ia perbuat untuk rakyatnya tetapi beliau masih merasa dirinya belum berbuat apa-apa untuk rakyatnya, berbeda dengan pemimpin sekarang mereka banyak yang mengatasnamakan rakyat tetapi tidak ada yang diperbuat untuk rakyat bahkan mereka mengkhianati rakyatnya. Saat ini memang dibutuhkan seorang manusia seperti Umar bin Abdul Aziz, dapat melaksanakan amanah dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugasnya, tawadhu walaupun telah banyak hasil panen yang dituai olehnya.

Suatu saat sang Khalifah merasa dirinya perlu mendapat nasihat dari seorang ulama, tanpa sungkan-sungkan dan merasa malu ia menulis surat kepada seorang ulama yang bernama Imam Al Hasan Al Basri, didalam surat ia meminta kepada beliau agar di jelaskan sifat atau ciri-ciri pemimpin yang adil.

Imam Hasan al-Basri menjawab surat beliau dengan mengatakan: "Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah Swt. Menjadikan seorang pemimpin yang adil itu sebagai penolong bagi setiap yang dianiaya, reformis bagi setiap kerusakkan, kekuatan bagi si Lemah, pembela bagi setiap yang dizhalimi, penghibur bagi yang berduka."

"Imam yang adil itu wahai Amirul Mukminin seperti seorang penggembala unta yang penuh belas kasihan pada para gembalaannya Dia memilihkan padang rumput yang terbaik untuk gembalaannya. Dia melindunginya dari segala mara bahaya yang dapat membinasakannya. Dia menjaganya dari binatang buas dan dari segala penyakit diwaktu dingin dan panas."

"Imam yang adil itu wahai Amirul Mukminin seperti seorang ayah yang menyayangi anaknya. Dia memeliharanya di waktu kecil dan mengajarinya ketika dewasa. Dia memberikan nafkah mereka semasa hidupnya dan memberikan warisan harta ketika dia meninggal dunia."

"Imam yang adil itu wahai Amirul Mukminin seperti seorang ibu yang penuh belas kasihan terhadap anaknya dengan mengandungnya dan dibawa kemana saja ia pergi dengan susah payah Ia menyayangi anaknya ketika kecil, bangun/terjaga ketika anaknya bangun, dan diam/tenang ketika anaknya berada disisinya Menyusuinya sampai batas menyapih. Gembira ketika anaknya sehat. Sedih, ketika anaknya sakit."

"Imam yang adil itu wahai Amirul Mukminin, kedudukannya seperti hati diantara anggota tubuh lainnya, jika hatinya bersih maka perbuatannya akan baik begitu juga jika hatinya kotor maka amal perbuatannya jelek dan buruk."

"Imam yang adil itu wahai Amirul Mukminin, yang berdiri tegak antara Allah dan hamba-hamba-Nya. Dia mendengar kalam Allah dan mendengarkan ucapan mereka. Dia memandang Allah dan memperhatikan mereka. Dia patuh dan taat kepada Allah dan ditaati kepemimpinannya oleh mereka. Oleh karena itu wahai Amirul Mukminin janganlah engkau celakakan dirimu sendiri dengan mengkhianati amanah ini seperti seorang hamba sahaya yang diberikan amanah untuk menjaga dan melindungi harta dan keluarganya, tetapi dia berkhianat dan membuat semuanya berantakan sehingga dia akhirnya membuat sengsara diri dan keluarganya sendiri."

"Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah menurunkan hukum-hukumnya agar dapat mencegah manusia dari semua perbuatan keji, maka janganlah perbuatan itu datang darimu! Dan Allah menurunkan hukum qishash agar dapat menjaga kelanggengan kehidupan manusia di muka bumi, janganlah engkau membunuh orang yang tidak berdosa dan lemah!" (At-Tamkin Lil Umat Islamiyah Fi Dhau' Al-Qur'anul Karim hal.189, di nukil dari Ahmad Muhamad Jamal, muhimmah haikim muslim, hal 40)

Fatimah istri dari khalifah Umar bin Abdul Aziz suatu ketika ia masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suaminya yang sedang menangis, sehingga rasa penasaran yang menggebu-gebu itulah yang membuatnya bertanya kepada sang suami akan sebabnya dia menangis, Khalifahpun menjawab:

"Celakalah aku wahai Fatimah! sesungguhnya aku diberikan tanggung jawab untuk memimpin umat, lalu aku memikirkan nasib orang fakir yang lapar, orang sakit yang kehabisan obat, orang yang tidak mempunyai pakaian, anak yatim, orang yang dizhalimi, orang asing, tawanan, para tua renta, janda yang kesepian, keluarga besar dengan penghasilan minim dan banyak lagi yang lainnya di seluruh penjuru dunia. Aku tahu bahwa Tuhanku akan bertanya tentang hal mereka semua pada hari kiamat. Dan ketika itu nabi Muhammad meminta pertanggung jawabanku tentang hal itu, maka aku takut kalau aku tidak mempunyai dalil atau alasan untuk menjawab pertanyaannya." (Jalaludin As Syuyuthi, Tarikh Al Khulafa hal 270 )

Pada saat sekarang ini mutiara seperti itu (sosok kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz) sangat sulit untuk ditemukan, para pemimpin sekarang banyak menggunakan kekuasaannya bukan untuk kepentingan rakyat namun memakai nama rakyat, yang jadi pertanyaan rakyat yang manakah yang sedang diperjuangankannya? Kebanyakan mereka setelah menjadi penguasa lupa dengan siapa yang pernah mendukung mereka, bagaikan kacang lupa akan kulitnya. Bukan hanya itu, bahkan ada yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya dengan menggunakan aji mumpung (kesempatan mengambil kekayaan sebanyak-banyaknya dari negara untuk kepentingan pribadi maupun kelompok).

Yang lebih tragis lagi justru keadaan seperti ini terjadi di banyak negara-negara yang berpenduduk mayoritas umat Islam. Apabila pemimpin di suatu masyarakat itu non-Muslim mungkin hal itu tidak begitu menyedihkan, karena mereka tentu tidak menjadikan umar bin Abdul Aziz sebagai prototipe dalam kepemimpinannya, sehinga tidak aneh jika banyak kekejaman dan ketidak adilan disana sini.

Satu bukti kota Konstantinopel sebelum ditaklukkan oleh Sultan Muhammad al Fatih (si Pembuka) pada tahun 1453 M, diperintah oleh seorang kaisar yang kejam. Ia mengambil pajak dari rakyatnya tanpa pilih kasih, bagi mereka yang tidak sanggup membayar harus rela untuk menjadi budaknya sebagai ganti pajak yang telah ditetapkan. Dan hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat maka dia yang menang. Akankah kita dapatkan kembali mutiara itu? (Mohamad Suharsono, sarjana Ilmu Hadits Universitas al-Azhar, Kairo, pengajar di Pusat Studi Islam Al-Manar, Jakarta)

  Back ] Home ] Up ] Next ]

 

Hosted by www.Geocities.ws

1