BANGKITKAN KEHEBATANMU
Oleh
: Mohammad Fauzil Adhim
Banyak
penulis berbakat, tetapi tidak mampu membuat tulisan yang
hebat. Mereka pernah menjadi juara di berbagai sayembara mengarang;
mereka memperoleh penghargaan di berbagai perlombaan; mereka
menumpuk piala-piala di ruang tamunya, tetapi tak satu pun
karya berharga yang mampu mereka tulis. Selebihnya, piala-piala
itu hanya menjadi kisah membanggakan untuk penghias cerita
saat datang kenalan.
Apa yang menyebabkan mereka
gagal menjadi penulis handal? Mental. Karena tidak memiliki
mental pemenang, mereka gagal menjadi penulis cemerlang. Apa
saja yang perlu kita miliki agar dapat melahirkan tulisan
yang selalu dicari-cari? Inilah beberapa hal yang perlu kita
perhatikan untuk melejitkan kehebatan kita sebagai penulis:
Jadi yang Terbaik,
Bukan yang Lebih Baik
Ada dua penyakit yang sering membuat kita tak pernah melejit,
yakni banyak mengeluh atau sebaliknya terlalu cepat merasa
puas. Banyak mengeluh membuat kita tidak pernah puas, dan
akhirnya menjadikan kita tak pernah memiliki rasa percaya
diri bahwa tulisan kita cukup berharga. Kita selalu merasa
lebih jelek, sehingga tidak pernah berani mempublikasikan.
Sebaliknya, terlalu cepat merasa puas membuat kita tidak berkembang.
Kita merasa cukup sebelum melakukannya secara optimal. Kita
merasa qanaah, padahal sebenarnya merupakan sikap seenaknya.
Penyakit terakhir ini
sering saya temui pada banyak penulis. Mereka lebih hebat
dari saya, tetapi mereka tidak mampu melahirkan karya dahsyat.
Sebabnya sederhana, mereka menganggap tulisannya lebih baik
dari orang lain. Ah, saya kira sudah cukup. Banyak yang
lebih sederhana dari ini, juga bisa terbit. Alhasil,
karya mereka pun hanya menjadi karya yang sedang-sedang
saja, meskipun awalnya memang lebih baik dari orang
lain.
Nah, jika kita ingin melahirkan
karya yang memikat, ada satu sikap mental yang perlu kita
miliki. Saya sering menggambarkannya dalam ungkapan if the
best is excellent, good is not enough. Sederhananya, jika
mampu melakukan yang terbaik, tidak layak melakukan yang sekedar
baik. Meskipun yang sekedar baik itu sudah jauh
lebih baik daripada seluruh tulisan yang ada, tak layak kita
menuliskannya jika kita memang mampu melahirkan tulisan yang
lebih baik lagi.
Alhasil, camkanlah untuk
selalu menulis dengan sebaik-baiknya. Ini tidak berarti kita
berhenti menulis bila kita sedang sakit karena khawatir tulisan
kita tak sebaik kemarin. Tetapi, kita harus menulis dengan
sebaik-baiknya sesuai keadaan kita saat itu. Kita melakukan
yang terbaik jika kita meraih nilai tujuh karena memang kemampuan
maksimal saat ini adalah tujuh, meskipun kemarin kita mampu
meraih nilai sembilan. Sebaliknya, nilai delapan saat ini
bisa merupakan prestasi yang menyedihkan kalau sebenarnya
kita mampu meraih nilai sepuluh.
Termasuk mental untuk
menjadi yang terbaik adalah berusaha melahirkan tulisan terbaik
untuk media yang terbaik pula. Kalau kemudian kita menulis
di media yang tingkat persaingannya rendah, jangan pernah
karena alasan mudah menembusnya. Alasan semacam ini selain
membuat kita tidak puas, juga membuat kita semakin tidak percaya
diri. Lama-lama kita malah mengalami ketakutan untuk memasuki
persaingan yang kita. Pada akhirnya kita benar-benar tidak
mampu menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan perlu. Inilah
fenomena ketidakberdayaan karena kita merasa tidak berdaya.
Selligman menyebutnya sebagai learned hopelessness (ketidakberdayaan
yang dipelajari).
Ketika pertama kali mau
menulis buku untuk diterbitkan, tahukah apakah yang saya lakukan?
Saya cari informasi penerbit terbaik dan paling sulit ditembus.
Waktu itu, jawabannya adalah Penerbit Mizan. Maka saya pun
memancangkan tekad, saya akan menulis buku yang layak untuk
Penerbit Mizan. Alhamdulillah, naskah saya diterima, cukup
meledak di pasaran, dan cetakan kedua dibeli seluruhnya oleh
proyek pusat perbukuan pemerintah.
Belajar Dari Kesalahan
Sendiri
Orang-orang yang memiliki mental pemenang selalu berusaha
untuk lebih daripada sebelumnya. Artinya, kita berusaha lebih
baik bukan dibanding orang lain, tetapi dibanding diri sendiri.
Jika merasa lebih baik daripada orang lain akan segera mengubur
kehebatan kita ke jurang yang paling dalam, berusaha untuk
selalu lebih baik daripada sebelumnya akan membuat kita menjadi
a few good ones (sekelompok kecil penulis-penulis terbaik).
Salah satu cara untuk
selalu lebih baik daripada sebelumnya adalah dengan belajar
dari kesalahan diri sendiri. Dulu, ketika awal-awal menulis
di media massa, saya selalu menyimpan tulisan asli. Bila dimuat,
masalah pertama yang saya perhatikan adalah, adakah perbedaan
antara tulisan asli dengan tulisan yang sudah dimuat. Jika
ada perbedaan, perhatikanlah dengan seksama apakah perbedaan
itu karena kelalaian editor ataukah karena tulisan kita memang
perlu disempurnakan. Bagaimana mengetahuinya? Kita bisa menalar
sendiri, tetapi bisa juga menemui editornya. Melalui cara
ini, insya-Allah kualitas tulisan kita akan bisa meningkat
dengan cepat.
Cara lain adalah mencari
naskah yang terbuang. Di awal karier saya menulis, saya merasa
senang bila menemukan tulisan yang dibuang di tempat sampah
editor. Dibanding membaca karya-karya yang sudah terbit, tulisan
yang terbuang di tempat sampah seringkali memberi pelajaran
yang lebih banyak (soalnya, kadang tulisan kita dimuat kan
karena kasihan. He
he
he
.).
Apalagi yang perlu kita
perhatikan untuk membangkitkan kehebatan kita sebagai penulis?
Ada empat hal. Tetapi karena terbatasnya halaman, insya-Allah
kita akan berjumpa di An-Nida edisi depan. So, dont
miss it! OK?
Sebelum berpisah, jangan
lupa: Be the best, but not the better. Jadilah yang terbaik,
tapi bukan yang lebih baik. []
(Sumber
: Bengkel
Cerpen Annida)
|