TERORISME,
STANDAR GANDA AS
DAN SIKAP ISLAM
Oleh : Muhammad Badaruddin*
Dewasa ini, terma
“terorisme” menjadi terma yang memiliki
kompleksitas makna tiada banding. Meski banyak terma
baru juga bermunculan, tapi tak ‘sekaya’
“terorisme”. Ia menjadi bahan klaim, tuduhan
dan tarik menarik kepentingan yang melibatkan hampir
seluruh pemain percaturan dunia saat ini. Terma tersebut
sudah bukan lagi sekadar konsep, melainkan sebuah diskursus
baru yang ramai diperbincangkan khalayak dunia dan mempunyai
dampak besar bagi tatanan global.
Bahkan dalam perkembangannya,
“terorisme” telah melampaui batas-batas
daripada sekadar diskursus, menjadi sebuah disiplin
kajian tersendiri yang pelik. Ia pun menjadi perhatian
semua kalangan karena representasinya sebagai sebuah
gerakan yang berskala global yang hinggap di mana pun
dan kapan pun. Namun harus juga kita ingat, bahwa terma,
diskursus, dan gerakan terorisme mampu mengglobal seperti
dewasa ini karena tak lepas dari konteks globalisasi
yang melanda setiap jengkal wilayah di dunia dengan
tanpa terbendung.
Realitas kehidupan
manusia yang kini berada dalam borderless world, dunia
tanpa batas, menjadikan semua pihak menjadi mungkin
untuk mengglobal. Tinggal masalahnya, apakah peluang
untuk memiliki peran global pada setiap entitas tersebut
selalu bermakna positif bagi dirinya sendiri? Ternyata
tidak. Padahal harusnya, globalisasi memberikan ruang
dan kesempatan yang adil untuk semua pihak yang ada
dalam ruang global. Namun realitas globalisasi berbicara
lain, globalisasi telah didominasi oleh negara-negara
kuat dan kaya serta kaum kapitalis multi-nasional. Saat
ini globalisasi tak lebih dari sekadar alat bagi Amerika
dan kekuatan modal multi-nasional untuk memperkuat cengkeraman
kekuasaannya.
Pun demikian dengan
terorisme, ia kini eksis mengglobal karena tak lepas
dari pergulatan antar pemain global yang menjalankan
agenda-agendanya. Pihak-pihak yang dituduh sebagai pelaku
terorisme pun, juga tak lebih dari sekadar kambing hitam
yang dibuat oleh kekuatan ekonomi dan politik global
untuk dituduh sebagai pihak jahat yang bersalah. Pengkambinghitaman
ini dipakai untuk memunculkan kesan bahwa mereka sedang
diserang, sehingga memberi pengabsah bagi manuver-manuvernya
dalam menjajah dan mengeksploitasi bahkan menghancurkan
pihak lain.
Munculnya
Terorisme
Sebagaimana kita tahu, istilah terorisme kian mencuat
(baca: diprovokasikan) ke permukaan secara massif dan
dramatis saat frustasi tengah melanda sebagian masyarakat
dunia pasca peledakan gedung kembar pencakar langit,
World Trade Center (WTC) di New York dan Markas Departemen
Pertahanan Amerika Serikat, Pentagon. Peristiwa itu
secara dramatis diprovokasikan oleh jaringan media massa
global yang dimiliki oleh Amerika dan sekutunya serta
kekuatan kapitalis multi-nasional. Berita tentang peristiwa
itu kemudian dikomodifikasi sedemikian rupa sehingga
menjadi konsumsi wajib bagi setiap warga ‘desa
dunia’ (‘global village’), dimana
semua individu wajib berduka, setiap pihak wajib mengutuk
peristiwa itu, dan semua kekuatan dunia wajib berkoalisi
dalam pakta besar untuk memerangi apa yang mereka sebut
sebagai “terorisme”.
Media massa sangat
sibuk melaporkan peristiwa dan mempertontonkan gambar
gedung-gedung yang hancur lebur karena konon diserang
oleh sebuah kelompok teroris, yang sampai detik ini
masih misterius. Berbagai analisis tentang keterlibatan
kelompok-kelompok tertentu bermunculan, sampai Amerika
menuduh jaringan internasional al-Qaeda sebagai pihak
yang harus bertanggungjawab di balik aksi penyerangan
tersebut. Pada titik ini, terorisme kian dipertanyakan
dan dipersoalkan. Apa sih sebenarnya terorisme itu?
Bagaimanakah mata rantai sebab akibat sehingga terjadi
peristiwa itu?
Menilik sejarah,
terorisme sebenarnya bukan gejala baru. Ia sudah ada
sejak adanya masyarakat manusia. Perasaan diteror atau
rasa gentar mencekam merupakan salah satu kelemahan
manusia, dan terorisme adalah cara dan sarana untuk
mencapai tujuan dengan mengeksploitasi kelemahan itu.
Bentuk teror dapat berupa pembunuhan, penganiayaan,
pemboman, peledakan, pembakaran, penculikan, intimidasi,
penyanderaan, pembajakan dan lain sebagainya. Semuanya
itu dapat menimbulkan perasaan panik, ngeri, khawatir
dan ketidakpastian. Praktik ini secara sistematis pernah
dilakukan oleh Attila, seorang raja bangsa Hun yang
berkuasa antara tahun 434 sampai 453M. Ia terkenal dalam
sejarah sebagai salah seorang yang secara luas melakukan
terorisme dengan sangat efektif dalam rangkaian petualangan
perangnya di berbagai wilayah Eropa bagian timur dan
tengah.
Namun secara istilah,
terorisme baru muncul dalam dunia modern untuk pertama
kalinya ketika digunakan dalam pemerintahan Kaum Jacobins
dalam Revolusi Perancis pada tahun 1789 yang dengan
bangga menamakan dirinya ''Kaum Teroris''. Aksi-aksi
teror yang mereka lakukan berkembang menjadi suatu sistematika
aksi yang mengeksploitasi rasa gentar/ngeri manusia
terhadap serangan berupa kekerasan fisik dengan maksud
menimbulkan perasaan tidak berdaya atau memancing tindak
balas yang dapat mencetuskan situasi yang menguntungkan
bagi kelompok teroris (huru hara, kekacauan sosial,
pemberontakan dan revolusi).
Pada mulanya, banyak
pendapat yang menganggap terorisme sebagai suatu gejala
sementara yang akan hilang dengan sendirinya. Dan pelakunya
dianggap gila, kurang waras atau kriminal. Gejala itu
dianggap akan lenyap dengan meningkatnya peradaban dan
melihat kenyataan bahwa terorisme tidak pernah dan tidak
akan berhasil mencapai tujuan atau menyelesaikan persoalan.
Tetapi kenyataan menunjukkan terorisme terus berlangsung,
bahkan berkembang dan meluas serta dikelola dengan semakin
sistematis. Lebih tragis lagi telah menjadi bagian integral
dari kebijakan resmi sebuah pemerintahan untuk mencengkeramkan
kekuasaan atau mengarsiteki eksistensi sebuah negara
yang sebelumnya tidak ada, semisal Israel.
Aktor terorisme;
individu, kelompok dan negara
Bila terorisme secara potensial bisa dilakukan oleh
siapa saja, maka perdebatan tentang siapa yang lebih
memiliki potensi untuk mendzalimi pihak lain melalui
praksis terorisme menjadi hal yang signifikan. Hal ini
telah menjadi perhatian Noam Chomsky, seorang profesor
linguistik dari MIT Cambridge, Massachusetts yang mengurai
paradigma yang banyak dipakai oleh para penguasa dalam
menghadapi realitas “terorisme” dengan mengambil
analog cerita Alexander Agung ketika akan menangkap
komplotan bajak laut yang beroperasi di wilayah kekuasaannya.
Dalam sebuah cuplikan
dialog antara Alexander Agung dengan pimpinan komplotan
pembajak, diceritakan bahwa Alexander bertanya kepada
pimpinan bajak laut; "Mengapa kamu berani mengacau
lautan? Mengapa kamu berani mengacau dunia?" yang
kemudian spontan dijawab oleh pimpinan pembajak dengan,
"Karena aku melakukan hanya dengan sebuah perahu
kecil, Aku disebut maling, tapi jika kalian yang melakukan
dengan kapal besar, kalian disebut kaisar” Alexander
kemudian berkomentar atas jawaban itu, "Sangat
bagus dan tepat"
Chomsky memaknai
kutipan cerita ini sebagai potret aktual dari hubungan
antara pihak yang memiliki kekuatan besar dan lawannya
yang lemah, dijadikan sebagai gambaran hubungan antara
Amerika sebagai aktor besar terhadap berbagai aktor
kecil di panggung terorisme internasional dewasa ini,
seperti Kuba, Libya, Irak, Korea Utara, dll. Kisah ini
mengungkapkan adanya sindroma yang dimiliki oleh para
penguasa besar dalam menghadapi kekuatan yang lebih
kecil darinya.
Menguraikan lebih
lanjut paradigma dan sindroma penguasa besar terhadap
terorisme, dalam buku "International Terrorism
in Real World" (Menguak Terorisme Internasional).
Konsep terorisme pada akhir abad ke-18, disebutkan oleh
Chomsky sebagai konsep tentang aksi-aksi kekerasan yang
dilakukan oleh pemerintah dengan maksud untuk menjamin
ketundukan rakyatnya. Para pelaku terorisme negara atau
pemegang kekuasaan mengontrol sistem pikiran dan perasaan
rakyatnya. Dalam perkembangannya, makna terorisme dibelokkan
menjadi "pembalasan" oleh individu dan kelompok-kelompok.
Dengan catatan, "Terorisme yang bisa masuk kitab
undang-undang, hanya jika dilakukan oleh, "pihak
mereka" (bangsa arab) bukan oleh "pihak kita"
(Amerika dan sekutunya)"
Standar pendefinisian
makna terorisme dengan cara demikian, sangat berbeda
dengan realitas kehidupan yang dialami ooleh banyak
kalangan yang menjadi korban dari keganasan Amerika
dan sekutu-sekutunya. Sebab korban-korban utama terorisme
internasional adalah rakyat Palestina, Afghanistan,
Bosnia, Irak, Mindanao, Indonesia, Kuba, Amerika Tengah
dan masih banyak lagi. Atau ketika pasukan militer dan
kelompok milisi Israel membombardir kamp-kamp pengungsi
Palestina yang menewaskan ribuan wanita, orang tua dan
anak-anak serta masyarakat sipil (civilians), itu dikatakan
bukan terorisme. Bukan pula terorisme ketika pasukan-pasukan
paramiliter yang bergerak dari pangkalan AS dan dilatih
oleh CIA membombardir hotel di Kuba, menenggelamkan
kapal ikan, meracun hasil panen dan lumbung pangan,
dan mencoba membunuh Castro.
Khusus yang dilakukan
oleh Israel saja, sejarah telah mencatatnya memiliki
rekor yang sangat spektakuler. Sebut saja peristiwa
pembantaian di kamp Shabra dan Syatila, yang dilakukan
oleh pasukan milisi al-Numur pimpinan Presiden Kamil
Shamon dan kelompok Haras al-Ruz (Phalangis) pimpinan
Enal Shaqar. Mereka melakukan pembantaian dengan diback
up penuh oleh angkatan bersenjata pemerintah zionis
Israel yang bertugas melakukan blokade penutupan terhadap
pintu-pintu kamp pengungsi dan menembakinya sepanjang
malam untuk memudahkan tugas pembunuhan dari kelompok-kelompok
teroris tersebut. Pasukan Israel juga membekali senjata
dan amunisi. Dalam perkemahan Shabra Syatila terus-menerus
dibombardir dengan meriam-meriam dan senjata-senjata
berat, selain dilempari bom-bom yang telah meratakan
ratusan rumah. Pembantaian berlangsung selama 40 jam
secara terus-menerus. Jumlah korban antara 16,17,18
September 1982, sekitar 3.000-3.500 orang terutama wanita,
orang tua dan anak-anak.
Apalagi, setelah
berdirinya negara zionis Israel pada 1948, pemerintahan
zionis menjadikan terorisme sebagai jalan untuk melakukan
ekspansi wilayah guna mengusir rakyat Palestina dan
merampas tanah-tanah mereka untuk kemudian membangun
pemukiman-pemukiman bagi orang-orang Yahudi baru, terutama
bagi orang-orang yahudi yang ‘diimpor’ dari
berbagai penjuru dunia. Politik dan kebijakan umum pemerintah
dan militer Zionis pun diarahkan untuk menghimpun seluruh
kelompok-kelompok teroris Yahudi. Di bawah perlindungan
kekuatan mandat Inggris, Zionis telah melakukan tindakan
kejahatan antara tahun 1948-1967 dalam jumlah besar.
Selama kurun waktu ini, PBB mencatat paling tidak terjadi
21.000 kejadian terorisme.
bersambung
ke bagian 2
*Ketua
Umum Badan Permusyawaratan KAMMI Pusat 2002-2004,
Ketua Umum PP KAMMI 2001-2002,
Peneliti bidang Sosial dan Politik pada Center for Indonesian
Reform (CIR)
|