TERORISME
MARITIM
MENGANCAM INDONESIA
Oleh : Imam Nur Azis
Tidak populer kedengarannya,
namun fakta Indonesia adalah negara dengan terorisme maritim
nomor wahid di dunia adalah tidak terbantahkan. Kecenderungan
terorisme maritim melesat ditandai banyaknya pembajakan dan
perompakan di berbagai perairan dunia. Dari 271 pembajakan
di laut dunia pada paruh tahun 2002, 72 diantaranya terjadi
di perairan Indonesia. Menurut laporan the International Maritime
Bureau's Piracy Reporting Center, beberapa tahun ini secara
konsisten pembajakan di laut RI meningkat menduduki posisi
puncak.
Data ini sangat kontras dibanding dengan rekor negeri jiran
kita. Tahun 2001, Malaysia dan Singapura mengeluarkan UU anti-pembajakan
yang mengurangi angka perompakan atau pembajakan di Selat
Malaka hingga 75 persen. Pada tahun yang sama, RI mencatat
31 persen dari total pembajakan di dunia dengan angka persis
kejadian pembajakan di laut sejumlah 91 insiden. Tidak heran
pada Agustus 2002 lalu, "The Asia Times" menjuluki
negeri ini sebagai " the undisputed global hotspot for
piracy" (daerah terpanas dunia untuk pembajakan). Ini
semacam stigma yang tidak 'fair' bagi kita, namun data yang
ada memang meyakinkan. Misalnya, pada tahun 2000, Indonesia
mencatat 119 pembajakan, sedangkan Malaysia hanya ada 21 insiden,
padahal di Filiphina hanya terjadi 9 kali.
Dampak Ekonomi
Meskipun pembajakan belum menjadi fokus utama kini, namun
ke depan ini akan menjadi problem serius bagi RI. Perkiraaan
kerugian akibat pembajakan di seluruh dunia mencapai Rp 25
Triliun per tahun, dan lagi-lagi dari jumlah ini Indonesia
menyumbang nilai terbanyak karena reputasinya sebagai "the
world's biggest piracy problem". Tentu ini makin menambah
citra negatif dan persepsi buruk RI di mata internasional.
Masalah utamanya adalah pembajakan sangatlah buruk bagi bisnis.
Ini menambah biaya beban yang tak perlu bagi perusahaan perkapalan,
fasilitas dermaga, pabrik atau produsen, distributor, pengecer
dan akhirnya ke pelanggan atau konsumen sendiri. Contoh, kapal
yang melaporkan adanya penyerangan pembajakan menghadapi biaya
asuransi yang tinggi sehingga mereka menjadi korban dua kali.
Pertama, mereka menderita akibat muatannya hilang dibajak.
Kedua, mereka kelak akan dikenai biaya asuransi lebih tinggi
dari umumnya. Perdagangan yang menanti barang-barang yang
dibajak harus merugi karena mencari barang pengganti, dan
dipaksa bersaing dengan perompak yang menjual dagangan mereka
di pasar gelap.
Pada saat yang sama, para investor potensial yang sadar dengan
biaya tinggi akibat pembajakan akan segan menanamkan uangnya
dalam situasi yang sulit diprediksi ini. Sedikit sekali informasi
bagaimana ancaman pembajakan memengaruhi keputusan nilai investasi
di sebuah negara. Namun jelas, pembajakan cenderung menghambat
laju investasi.
Angka pembajakan dan perompakan yang tinggi di Indonesia juga
dapat memberi dampak pada aspek klaim teritorial masa depan.
Terdapat sedikitnya 80 pulau kecil yang tak terurus di sepanjang
perbatasan RI yang sangat rawan digunakan dalam tiap operasi
bajak laut. Mereka para bajak laut bersembunyi di pulau-pulau
kecil ini dari tuntutan hukum negara tetangga. Sepanjang insiden
pembajakan di lakukan dari pulau-pulau kecil di wilayah RI,
masyarakat internasional nampaknya akan sulit membela kepentingan
kita ketika pulau ini disengketakan. Sehingga bagi sebagian
orang ini bisa ditafsirkan mengancam konsep NKRI kita, seperti
kasus lepasnya Ligitan dan Sipadan.
Ancaman Terorisme Maritim
Namun dibalik persoalan di atas, muncul ancaman potensial
yang lebih buruk. Situasi Indonesia khususnya di perairannya
sangat matang untuk memunculkan insiden yang disebut maritime
terrorism.
Lebih dari 30 persen perdagangan dunia melalui laut Asia Tenggara
khususnya Selat Malaka dan rute lain yang semuanya dekat wilayah
Indonesia. Kapal-kapal besar yang melewati jalur ini membawa
minyak dan bahan mentah lain yang penting bagi perekenomian
di Asia Timur dan kepentingan strategis AS. Jalur perairan
ini sebenaranya cukup sempit dan acapkali menimbulkan kemacetan
mengingat 50.000 kapal melewati Selat Malaka setiap tahun
(sama dengan 130 kapal per hari).
Pada saat yang sama, jumlah pelaut di tiap kapal cenderung
selalu menurun. Teknologi tinggi dan pengurangan berbagai
biaya menciptakan situasi dimana kapal besar dapat berlayar
hanya dengan beberapa gelintir orang kurang dari sepuluh ABK.
Dengan kondisi demikian dapat dikatakan mustahil mengawasi
keamanan keseluruhan dalam kapal dari jarahan pembajak. Terlebih
lagi, kapal dagang tidak diperbolehkan membawa persenjataan
sehingga mereka rawan terhadap penyerangan dan pembajakan.
Terorisme maritim menyerang dengan tiga cara: penyerangan
antar kapal (ship-to-ship-attacks), penyerangan kapal ke pantai
(ship-to-shore attacks) dan penyerangan kapal ke laut (ship-to-sea
attacks). Menurut Clive Williams, direktur Studi Terorisme
di Australian National University, penyerangan antar kapal
(ship-to-ship-attacks) sangatlah berbahaya sebagaimana dilakukan
di Yaman. Pembajak mengambil paksa kontrol atas sebuah kapal
dan menggunakannya untuk menghancurkan kapal induk AS. Jika
penyerangan seperti ini dilakukan dari wilayah RI, sangat
mungkin AS akan menyerang balik dengan misil pesawat tanpa
awak seperti "Predator" yang membunuh warga Yaman
yang dicurigai anggota Al Qaida.
John Brandon dari Center for International and Strategic Studies
di Washington, DC membuat pengamatan serupa. Ia menulis bahwa
kapal minyak dengan muatan penuh dapat menjadi mesin pembunuh
ribuan orang dan menyebababkan kerugian material jutaan dollar
di pihak AS yang negaranya menggantungkan diri dari import
minyak. Kapal minyak LNG jika dibajak dalam upaya penyerangan
oleh teroris memungkinkan terjadinya sejenis tragedi 11 September
di Asia Tenggara.
Penyerangan seperti digambarkan Brandon dimungkinkan terjadi
baik antar kapal atau penyerangan kapal ke pantai oleh teroris.
Salah satu dermaga tersibuk dan terbesar di dunia adalah Singapura.
Apabila kapal kargo dengan muatan gas alam cair (LNG) diledakkan
di pelabuhan ini, maka jutaan dollar fasiltas ini akan hancur
dan mengganggu seluruh jalur pelayaran dunia.
Penyerangan serupa demikian juga mungkin terjadi terhadap
berbagai pelabuhan Indonesia. Bahkan dermaga di Jakarta sekalipun
memiliki fasilitas yang sangat rawan dari penyerangan terorisme
maritim.
Penyerangan dari kapal ke laut ditujukan khusus kepada jalur
pelayaran. Penyerangan semacam ini dimaksudkan untuk mengganggu
atau merusak lingkungan regional ekonomi setempat. Penyerangan
terorganisir ke jalur perairan Selat Malaka berpotensi untuk
menutup bisnis perkapalan sekitarnya dan memicu pengusaha
kapal untuk mencari jalur alternatif yang lebih aman di luar
Malaka. Penyerangan seperti bentuk ketiga terorisme laut ini
dapat disengaja untuk tujuan meracuni lingkungan laut dengan
penghancuran misalnya kapal tangker minyak. Penyerangan kapal
tanker Prancis Limburg telah meluluhlantakkan industri perikanan
di sekitarnya akibat kontaminasi yang mencemari laut. Penumpahan
sengaja minyak di atas laut RI dapat memungkinkan terjadinya
musibah buruk bidang perikanan, turisme dan kesehatan umumnya
akibat serangan terorisme maritim ini.
Tentu saja setiap penyerangan pada jalur pelayaran akan segera
mendapat perhatian AS, Jepang, Cina dan Korea Selatan serta
masyarakat internasional mengingat mereka memiliki kepentingan
vital untuk menjaga keamanan di jalur pelayaran tersebut.
Indonesia akan mendapat berbagai tekanan yang ini membuat
posisi diplomatik kita semakin lemah sehingga kedaulatan RI
diragukan untuk dapat mengawasi wilayahnya sendiri.
Satu saja dari tiga macam penyerangan terorisme maritim ini
terjadi akan membahayakan masyarakat Indonesia, khususnya
penyerangan kepada pelabuhan di wilayah RI. Selain dampak
ekonomi dan lingkungan bagi Indonesia, mungkin saja dampak
ini meluas ke negara Asia Tenggara lain. Karena hampir semua
negara Asia Timur menggantungakan pendapatan mereka dari perdagangan
malalui jalur laut.
Tentu ini akan memperberat berbagai multi krisis yang sebelumnya
sudah menghinggapi Indonesia yakni persoalan politik. Secara
politik, bila terorisme maritim ini dibiarkan di perairan
tersibuk di dunia, kemarahan dunia internasional akan memuncak.
Akhirnya, masyarakat internasional akan menekan pemerintah
dan rakyat Indonesia untuk mencari figur pemimpin yang lebih
"kuat" meskipun otoriter, bahkan kedaulatan NKRI
bisa jadi terancam oleh infiltrasi negara asing yang ingin
memecah-belah.
Pembajakan laut terus menghantui terjadinya terorisme maritim
di perairan RI. Pemerintah yang tengah mengejar devisa lewat
Menteri Kelautan seyogianya lebih serius bekerja sama dengan
rakyat menangani kasus ini sebelum menjadi terlambat dan sulit
diberantas.[]
( dimuat
di Koran Tempo, edisi 17/02/2003)
|