DIBALIK
PENAHANAN SOERIPTO
Oleh : Doni Riadi
Hingga saat ini, Soeripto,
masih ditahan di Polda Metro Jaya. Menurut petinggi Polda,
yang dikutip berbagai media di Indonesia, penahanan Soeripto
tidak ada hubungannya dengan Bom Bali tapi semata-mata karena
ia menjadi tersangka mark up tender pembelian helikopter semasa
Soeripto masih menjabat sebagai Sekjen Dephutbun di masa pemerintahan
Gus Dur.
Dalam konteks jurnalisme
Indonesia, yang cukup lama terpasung dalam kultur jurnalisme
tiran selama Soeharto berkuasa, maka ucapan petinggi atau
pejabat negara masih merupakan referensi utama sebagai sumber
berita. Dalam perspektif ide jurnalisme perdamaian, kebiasaan
tersebut dikenal dengan sebutan jurnalisme pejabat atau jurnalisme
omongan dan merupakan antiklimaks dari jurnalisme akar rumput
(grass root journalism) .
Diluar parameter kevalidan
berita, sesungguhnya jurnalisme pejabat, khususnya di negara
yang hendak mereformasi diri seperti Indonesia, adalah potret
langkah mundur dari besarnya usaha untuk membentuk masyarakat
yang lebih kritis dan cerdas. Ketergantungan terhadap omongan
pejabat oleh media dan akhirnya juga oleh masyarakat, terkadang
menafikan nilai kebenaran yang terjadi sesungguhnya, apalagi
jika kebenaran itu 'kebetulan' sedang berada di sisi rakyat.
Kasus penahanan Soeripto
setidaknya mencerminkan hal itu. Beruntung kemudian, kuasa
hukum Soeripto bersama Menhutbun semasa Soeripto menjadi Sekjen
(Nurmahmudi Ismail, red) melakukan konferensi pers memberikan
klarifikasi sekaligus mempertanyakan alasan aparat sesungguhnya
melakukan penahanan terhadap Soeripto, yang menurut mereka
lebih berbau politis.
Beberapa hal berikut memang
menguatkan anggapan bahwa Soeripto ditangkap karena alasan
politis;
Pertama, Statusnya sebagai wakil ketua tim investigasi Bom
Bali yang dibentuk oleh MUI. Dengan kemampuan intelejennya,
Soeripto menjadi core atau inti dari aktivitas tim investigasi
independen itu dengan berperan sebagai thinktank, yang hasilnya
dipublikasikan MUI pada hari Rabu (27/11).
Penangkapan Soeripto ditengarai
merupakan kesengajaan untuk dapat sedikit menghambat laju
kemajuan pengumpulan fakta tim independen itu. Tim inilah
yang diharapkan masyarakat menjadi parameter pembanding dari
Tim Investigasi Polri yang dipimpin I Made Mangku Pastika.
Pemikiran ini menjadi logis, karena hingga saat ini, semua
para tersangka yang baik yang tertangkap maupun yang masih
buron adalah sosok yang 'biasa-biasa' saja, yang dianggap
tidak cukup punya kemampuan untuk melakukan peledakan setaraf
mikronuklir sebagai bahan utama bom yang diledakkan di Bali.
Modus penangkapan ini
jika dianalisis mempunyai kemiripan dengan modus penangkapan
pelaku peledakan WTC, yang dapat dilakukan dengan waktu cepat
dan terarah oleh agen federal AS. Disebut terarah, karena
Bush waktu itu langsung menuding Islamic terrorism sebagai
dalangnya. Padahal aksi-aksi bom di Indonesia sebelumnya jarang
dapat terungkap oleh polisi Indonesia.
Ditambah dengan keanehan-keanehan
lain, seperti hilangnya jenazah warga Australia, yang memberikan
indikasi adanya upaya untuk menjauhkan proses investigasi
dari keterlibatan pihak asing dan mendekatkannya dengan pihak-pihak
tertentu yang di sebut sebagai JI, yang menurut AS adalah
kepanjangan tangan Al-Qaidah di Asia tenggara.
Kedua, aktivitas dan kebijakannya
yang meng-counter opini pemerintah soal pelaku peledakan Bom
Bali, yang dipublikasikannya melalui forum-forum ilmiah di
banyak universitas di kota-kota besar Indonesia dan juga di
media. Dengan data yang dimilikinya, Soeripto adalah tokoh
yang pertama kali meragukan Amrozy dkk sebagai pelaku utama
Bom Bali. Ia menjuluki Amrozy dkk sebagai 'agen yang dikorbankan'
dari sebuah jaringan besar kerja intelejen.
Propaganda yang dilakukan
oleh Soeripto ini nampaknya terbaca oleh pihak-pihak tertentu
yang merasa bahwa propaganda yang dilakukan Soeripto akan
memberikan hasil kontradiktif dengan propaganda yang telah
dirancang sebelumnya, sehingga tak ada jalan lain untuk mengeliminasinya
selain menahannya secara legal formal. Dan kebetulan Soeripto
pernah mempunyai 'batu sandungan' berupa dugaan mark up tender
helikopter, yang sedianya akan digunakan sebagai alat mobilitas
dalam menangkap para penjarah hutan. Titik lemah Soeripto
inilah yang kemudian dijadikan alasan utama untuk menjadikannya
sebagai seorang tahanan.
Kartu Truf
Ketiga, Soeripto memiliki banyak 'kartu truf' tentang kebusukan-kebusukan
pejabat negara. Ketika penulis berjumpa dengannya pada sebuah
diskusi terbatas di Purwokerto, saat ia menjadi nominasi Jaksa
Agung, Soeripto mengatakan bahwa banyak pihak yang tidak menghendaki
dirinya memegang suatu institusi penegakan hukum, karena dikhawatirkan
nanti penjara dipenuhi dengan 'orang-orang besar dan populer'
sehingga berpengaruh signifikan terhadap roda perekonomian
dan dapat mengganggu kestabilan negara.
Salah satu diantaranya
adalah Soeripto pernah menolak mentah-mentah tawaran dari
orang dekat presiden yang berjanji akan menjadikannya Jaksa
Agung dengan catatan tidak mengutak-atik konglomerat hitam.
Presiden akhirnya menetapkan MA Rachman sebagai Jaksa Agung
yang belakangan ketahuan menyembunyikan sebagian kekayaannya
yang seharusnya ia laporan kepada KPKPN sebagai kewajiban
seorang aparatus negara. Bahkan perkembangan terbarunya, para
konglomerat itu sedianya akan dibuatkan surat R&D (Release
and Discharge) yang akan menghapuskan kewajibannya membayar
hutang kepada negara, dimana wewenang penandatanganan R&D
itu ada di Menko Ekuin atau Jaksa Agung dengan seizin Presiden.
Soeripto juga pernah mengeluh,
karena tekadnya untuk tidak berkompromi sedikitpun dengan
pelaku KKN, tidak didukung oleh sistem. Dari empat berkas
lengkap yang ia masukkan ke Kejakgung, hanya berkas Bob Hasan
yang ditindaklanjuti, sehingga hanya Bob Hasanlah yang menerima
vonis bersalah dari pengadilan. Menurutnya, mengapa pilihan
kejaksaan jatuh pada Bob Hasan, karena saat itu Bob Hasanlah
yang paling powerless atau yang paling lemah posisi tawarnya
terhadap rezim saat itu, selain juga alasan untuk sekedar
memuaskan publik atau membangun image bahwa kejaksaan Agung
telah berkerja dengan sungguh-sungguh.
Bahkan tekadnya untuk
menggulung habis mafia hutan yang melibatkan aparat Dephutbun
mendapatkan perlawanan dari dalam Dephutbun sendiri. Maka,
ia pun banyak menerima fitnah, dari isu nepotisme dengan Menhutbun
hingga tuduhan rencana makar terhadap presiden Gusdur. Belakangan
Gusdur akhirnya meminta maaf pada Soeripto setelah Soeripto
membawa kasusnya ke pengadilan. Bahkan, isu mark up ini pada
awalnya juga merupakan hasil konspirasi dari internal oknum-oknum
Dephutbun yang ingin mengenyahkan Soeripto.
Keempat, Bukti yang prematur.
Aparat sebenarnya tidak harus menunggu waktu hingga sekarang
ini jika memang telah memiliki bukti yang kuat atas keterlibatan
Soeripto, penahanan bisa dilakukan sejak dulu-dulu. Penahanannya
yang berbarengan dengan penanganan aparat terhadap kasus Bom
Bali memperkuat kecurigaan banyak pihak, bahwa ia memang sengaja
ditahan untuk 'mengunci mulutnya', karena Soeripto memang
tidak mempan suap.
Apalagi, menurut kuasa
hukumnya, sebenarnya proposal pembelian helikopter itu sudah
melalui sepengetahuan Menhutbun dan bahkan disetujui oleh
DPR, walaupun juga diakui adanya disinformasi yang mengakibatkan
adanya perbedaan harga helikopter di proposal dengan harga
pasaran.
Terlepas dari adanya konspirasi
yang membuat Soeripto ditahan, maka kemungkinan skenario yang
akan dijalankan aparat dalam menghadapi tekanan dari publik
adalah pertama, tetap menahan dengan menolak surat penangguhan
penahanan dari kuasa hukumnya, dan kedua, melakukan penangguhan
penahanan. Pada alternatif pertama, aparat kemungkinan akan
mempersulit dan memperlama prosesnya baik di level penyidikan
maupun di kejaksaan hingga Tim Investigasi Pastika menyelesaikan
tugasnya. Sedangkan pada alternatif kedua, aparat akan memainkan
propaganda berikutnya yang bertujuan untuk mendelegitimasi
Soeripto sehingga kepercayaan publik kepadanya menjadi berkurang.
Belajar dari fenomena
penahanan tokoh kritis seperti Soeripto, menyusul penahanan
tokoh-tokoh berpengaruh sebelumnya seperti Habib Rizieq dan
Abu Bakar Ba'asyir, maka kita akan merasakan adanya sebuah
sindrom yang sedang diidap oleh pemerintah saat ini. Sindrom
itu adalah rasa ketidakberdayaan negara ini terhadap konspirasi
tekanan internasional yang bersinergi dengan kepentingan domestik
politik dan tingginya tingkat ketergantungan negara ini terhadap
bantuan internasional.
Menurut Faudzil Adhim
(2002) yang mengutip Selligman, sindrom itu disebut Learned
Hopelessness yang berarti ketidakberdayaan yang dipelajari,
karena tetap melakukan sesuatu yang tidak berdaya dengan basis
ketidakberdayaannya. Sehingga parameter kebijakan pemerintah
tidak lagi berpijak pada bagaimana meraih kecintaan rakyatnya,
tetapi berpijak pada bagaimana meraih pujian dari negara-negara
adidaya.
(Tulisan
ini menjadi pemantik diskusi internal Kajian Strategis (Kastrat)
KAMMI Daerah Semarang, Desember 2002)
|