STRATEGI
MENGHADAPI
SERBUAN PEMIKIRAN
Oleh : Doni Riadi
Sekali lagi, pil pahit
harus kita telan, menambah jumlah koleksi pil-pil pahit yang
telah kita telan sebelumnya. Kita terpaksa harus menerima
kenyataan bahwa sampai saat inipun, dinegeri ini, cara umara
memperlakuan ulama -sebagai parameter pemahaman umara terhadap
agama- masih seperti zaman-zaman sebelumnya, zaman para sahabat
dan salafussholeh, berjuang keras mengeluarkan ummat dari
kegelapan menuju cahaya.
Ulama, yang sejatinya
memiliki tingkat 'keseganan' kepada Allah paling tinggi diantara
manusia-manusia lainnya, karena mereka lebih mengetahui kekuatan
Allah yang sesungguhnya, telah diperlakukan dengan sangat
tidak santun dan tidak manusiawi atas dasar tuduhan-tuduhan
yang sesungguhnya masih diragukan tingkat validitasnya.
Namun, sebagaimana Islam
menghendaki umatnya agar bijak dan cerdas dalam mengambil
hikmah dari segala sesuatu dan mengambil kelapangan setelah
datangnya kesulitan, maka fenomena seperti diatas sebenarnya
memberikan pelajaran sebagai berikut : pertama, mengetahui
tingkat pemahaman umara terhadap dien ini. Kedua, mengetahui
seperti apa sejujurnya penilaian dan sikap umara selama ini
kepada ulama; ketiga, mengetahui tingkat kesungguhan atau
political will umara dalam melindungi rakyatnya, sekaligus
keempat, mengetahui sejauh mana tingkat patriotik pemimpin
bangsa ini terhadap negaranya. Dan kelima, mengetahui seberapa
besar dampak 'perang pemikiran' yang sedang melanda di negeri
ini.
Salah satu parameter dampak
'perang pemikiran' ini, menurut Dr. Irwan Prayitno (2002)
dapat kita lihat dari perspektif politik, termasuk didalamnya
adalah kebijakan-kebijakan publik umara. Karena, 'perang pemikiran'
memang menggunakan 3 dimensi kehidupan utama sebagai senjatanya,
yaitu : politik, ekonomi dan militer. Idealnya, setelah kita
mengetahui tingkat destruktivitas 'perang pemikiran' yang
kita rasakan saat ini, maka sebuah langkah sistematis harus
kita susun sebagai bentuk dari perlawanan. Harus sistematis,
karena 'perang pemikiran' itu sendiri juga merupakan sebuah
serangan pemikiran yang bertubi-tubi secara sistematis, teratur
dan terancang dengan baik yang dilakukan oleh umat yang kuat
terhadap umat yang lemah untuk merubah kepribadiannya sehingga
menjadi pengikut umat yang kuat tersebut [1].
Dalam konteks kekinian,
'perang pemikiran' yang sistematis itu sekarang menjelma pada
propaganda antiterorisme, sebuah isu klasik namun dikemas
dengan kemasan baru. Dimulai sejak naiknya Bush Yr sebagai
presiden AS dari Republiken yang mewarisi sifat hawkish alias
suka perang, maka banyak tempat-tempat di dunia kemudian menjadi
tidak aman. Momentum 'WTC' dan Bali Blast betul-betul dimainkan
dengan sangat cantik untuk menyudutkan umat Islam, walaupun
berkali-kali Bush dan sekutunya menyatakan bahwa mereka tidak
memburu umat Islam tetapi teroris.
Tapi, amalan perbuatan
selalu memiliki nilai lebih sahih dari manisnya perkataan.
Realitanya, umat Islamlah yang memang menjadi korban. Kehancuran
Afghanistan dan penangkapan ulama-ulama haraki di seluruh
dunia adalah sedikit contoh nyata sasaran sesungguhnya dari
propaganda antiterorisme ini. Selain kehancuran fisik, mereka
juga mengancam kehancuran mental umat Islam dengan menstigmatisasi
bahwa Islam adalah teroris, padahal justru Islamlah korban
teroris. Indikasi pelaku sesungguhnya dari teror-teror besar
didunia tidaklah menunjukkan Islam sebagai pelakunya, namun
lebih sebagai rekayasa agar dunia menuding Islam sebagai pelakunya.
Kehancuran Mental
Mereka sangat berkepentingan dengan hancurnya mental umat
Islam dengan munculnya rasa rendah diri atas statusnya sebagai
pemeluk agama Islam, karena dari sana paling tidak akan lahir
dua kondisi, yaitu : pertama, umat Islam akan terkagum-kagum
pada agama, ideologi, kebudayaan, bahasa, adat, gaya hidup
milik orang lain, dan kedua, umat Islam menjadi benci terhadap
apa saja yang menjadi miliknya. Dampak dari sifat seperti
ini adalah hilangnya immunitas, keteguhan jati diri, dan melahap
apa saja yang datangnya dari luar tanpa seleksi.
Inilah yang menjadi jawaban,
mengapa umara bangsa kita sedemikian mudahnya mengkloning
produk hukum antiterorisme milik AS dengan menamainya sebagai
Perpu No 1 Tahun 2002 Antiterorisme, bahkan mengajukannya
sebagai UU dengan memberikan draft rancangannya kepada DPR
untuk disahkan sesegera mungkin. Dari sana jugalah lahir tindakan-tindakan
yang tidak manusiawi terhadap ulama yang ditengarai sebagai
teroris, yang sejatinya adalah warga negaranya sendiri yang
mestinya negara wajib melindungi dari invasi tuduhan dan fitnahan
bangsa asing.
Cara yang paling jitu
melawan propaganda adalah juga dengan propaganda, namun dengan
kondisi perekonomian umat Islam dunia yang sedang tidak menguntungkan
maka melawan dengan propaganda lewat media membutuhkan energi
yang cukup besar walaupun itu bukanlah suatu hal yang tidak
mungkin. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah dengan memperkuat
pertahanan mental internal dan paradigmatik umat Islam.
Pengamat senior dari Universitas
Washington, Prof. Emeritus Daniels Lev turut memberikan advice
agar Indonesia tidak mudah hanyut terbawa arus keinginan negara-negara
barat dalam isu terorisme karena akan memberikan hasil yang
kontradiktif terhadap geliat pembangunan di Indonesia. Begitu
juga dengan Noam Chomsky yang menulis buku yang diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia sebagai Maling Teriak Maling untuk
menyebut bahwa AS-lah sesungguhnya teroris nomor satu dunia
dan bahkan mendapatkan support dari International for Human
Right Watch di New York yang menobatkan Amerika sebagai Pelanggar
HAM No. 1 di dunia.
Pertahanan internal itu
antara lain adalah dengan mengembalikan izzah dan harga diri
ke pangkuan umat Islam (3:139 dan 63:8). Hal ini dapat diperoleh
antara lain dengan cara : pertama, merubah dulu penguasa yang
tidak memperhatikan Islam dan umatnya menjadi penguasa yang
menerapkan Islam dan membela umatnya, karena didalamnya terkandung
kekuatan hukum, tentara, polisi, dan kewenangan mengatur perekonomian
negeri yang dapat dimanfaatkan sebagai bekal perlawanan.
Kedua, mengembalikan kemandirian
dan melepaskan ketergantungan khususnya ekonomi kepada lembaga-lenbaga
mereka seperti IMF. Penelitian Johnson dan Schaefer (1997)
selama tahun 1965-1995 menunjukkan bahwa perekonomian 48 dari
89 negara berkembang yang menerima bantuan IMF tidak menjadi
lebih maju. Bahkan 32 dari 48 negara tersebut justru menjadi
lebih miskin. Alih-alih recovery, IMF malah menimbulkan krisis
berulang-ulang (roller coaster), contohnya Mexico, Argentina,
dan Indonesia.
Kemandirian, dapat diperoleh
dengan sebuah kepercayaan diri bahwa potensi yang dimiliki
umat dapat menjawab permasalahan. Setidaknya, umat Islam memiliki
: Pertama, potensi sumber daya alam sangat besar yang mempengaruhi
jalannya urat nadi perekonomian dunia seperti bahan tambang
khususnya minyak, hasil hutan, dan lautan. Kedua, potensi
Sumber daya manusia yang menurut PBB, Islam adalah agama nomor
satu dalam kecepatan pertambahan jumlah pengikut, pada tahun
2000 jumlahnya telah mencapai 2 milyar atau 28 % dari jumlah
penduduk dunia, sehingga merupakan aset yang luar biasa baik
dari segi politik, ekonomi, dan militer.
Ketiga, potensi ideologis.
Islam adalah sebuah ideologi yang berdiri di atas akidah yang
lurus dan sahih, dengan akidah tersebut seorang muslim memiliki
ketangguhan ruhiah yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain.
Kepahlawanan syuhada Palestina adalah contohnya, atau semboyan
prajurit Islam yang legendaris yaitu " Anda sedang berhadapan
dengan pasukan yang mencintai mati seperti kalian mencintai
hidup kalian".
Namun, aset-aset itu memang
tidaklah mudah untuk sungguh-sungguh dapat dioptimalkan. Umat
Islam tidak saja menghadapi 'perang pemikiran' dari barat,
tetapi juga dari khianatan kawan seiring atau musuh dalam
selimut. Banyak stigma negatif ditujukan kepada usaha untuk
melaksanakan agama secara kaffah, sebagai radikalisme atau
fundamentalisme justru oleh sebagian umat Islam sendiri.
Sehingga, 'perang pemikiran'
nyata-nyata membutuhkan perhatian dan kontribusi penuh tidak
saja dari suatu bangsa tetapi juga bangsa-bangsa lain yang
memiliki kesamaan akidah Islamiyah di seluruh penjuru dunia.
Frame persatuan dan kesatuan menjadi prioritas dalam mengambil
sebuah kebijakan yang menyangkut eksistensi Islam di kemudian
hari. Dan hal yang bisa kita lakukan sebagai pemuda muslim
setidaknya adalah berani menjadi prajurit untuk berbenturan
terhadap pemikiran-pemikiran.
Berani menerima tantangan
? []
[1] lebih lengkapnya silahkan
membaca ma'raji dari Dr. Irwan Prayitno, Kepribadian Dai :
Al-Ghazw Al-Fikri, Pustaka Tarbiatuna, 2002, yang berisi Pengertian
'Perang Pemikiran', Tahapan-tahapan, Sarana yang digunakan,
Bahayanya, Sebab-sebab Jahiliyah, dan opini Abu Ridho yang
berjudul Makna di Tengah Kegalauan Serbuan Peradaban.
(ditulis sebagai bahan diskusi Rohis MIPA UNDIP pada indahnya
bulan Ramadhan 1423 H
di Masjid Arridho Bukit Kencana, November 2002)
|