AGAMA
TAK MUNGKIN DISEKULERKAN
Oleh : Doni Riadi
Tulisan ini sebenarnya
lahir karena didasari pada kepedulian terhadap saudara saya,
Muhammad Nasih yang merasa jenuh dengan stagnasi perubahan
bangsa ini dan ingin mencari sebuah perangkat alternatif yang
lebih menjanjikan dari perangkat-perangkat yang sudah ada,
hatta yang dipilihnya adalah Islam liberal.
Menurutnya, wawasan tentang
sekularisasi agama belakangan ini telah mulai dapat dipahami
dan diterima oleh masyarakat luas bahkan membumi, tak seperti
beberapa dasawarsa yang lalu ketika wacana ini memperoleh
gelombang besar kritik dan kecaman. Masyarakat sudah dapat
menerima alasan sekulerisasi agama yaitu agar senantiasa ada
sentuhan baru pada agama sehingga ia tak usang oleh perubahan
ruang dan waktu maupun agar agama tetap mampu memberikan kontribusi
bagi perubahan global dan pembangunan peradaban modern.
Namun, sungguhkah demikian
? Jawaban dua dimensi sekaligus, subyektif dan obyektif tentu
saja boleh dikedepankan sebagaimana pernyataan atau klaim
Nasih tentang populisme ide Islam Liberal yang juga mengandung
unsur subyektifitas.
Empat dekade yang lalu,
wacana sekulerisasi dan liberalisasi memang hanya populer
dikalangan tertentu saja, karena memang sang pemilik ide merupakan
tokoh elitis masyarakat. Bahkan menurut Farid Achmad Okbah
(2001) yang mengutip hasil penelitian Dr. Greg Barton , di
Indonesia penarik gerbong liberal Islam di Indonesia hanya
ada empat yaitu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur, mantan presiden
RI ke-4), Dr. Nurcholis Majid (ketua yayasan Paramadina),
Johan Efendi (sekertaris Gus Dur di istana) dan Ahmad Wahid
(telah wafat). Penelitian (1960-1990) yang sekaligus gerakan
pemikiran ini ternyata telah mempelopori perkembangan lslam
Liberal yang disebut Neo-Modernisme Islam.
Gerakan ini cukup mendapatkan
sambutan dilingkungan para intelektual yang memiliki latar
belakang modern yang dikombinasikan dengan pendidikan Islam
klasik, terutama kelas menengah kota. Walaupun pada perkembangannya,
justru kelas inilah yang menjadi pengkrtitik paling tajam
paham-paham Islam liberal, seperti yang dilakukan Dr. Daud
Raasyid terhadap pemahaman definisi ahlul kitab ala Cak Nur
pada tahun 1993.
Belakangan ini, khususnya
setelah diwadahi dalam bentuk kelompok Kajian Islam Utan Kayu
(KIUK), penyebaran fikroh Islam Liberal dilakukan dengan sangat
profesional. Didukung pasokan dana dari The Asia Foundation,
KIUK mampu merambah penjuru-penjuru kota lewat jaringan siaran
radio 68H diseluruh Indonesia, sempat menikmati jaringan 40
kota koran Jawa Pos, dan membuat media publikasi sendiri seperti
brosur dan situs www.islamlib.com . Kontributor aktifnya pun
semakin beragam, dari akademisi seperti Azyumardi Azra, wartawan
seperti Goenawan Mohammad, maupun anak-anak muda seperti Ulil
Absar Abdalla dan Masdar F Mas'udi dan tak ketinggalan dari
kalangan NU seperti Said Agil Siradj.
Walaupun demikian, sesungguhnya
paradigma Islam Liberal hanya laku pada segmen-segmen yang
itu-itu juga, yaitu kaum terdidik menengah ke atas dan minoritas
gereja dan sulit merakyat sebab pada akar bawah komunitas
Islam masih anti-Baratisme, anti-Kristenitas, sungguh-sungguh
tidak toleran kepada apa saja yang dipandang sebagai non-Islamik
(Lihat: R. William Liddle, Islam, Politik, dan Modernisasi,
Pustaka Sinar Harapan, 1997, h. 37). Faktor lainnya, karena
pada saat yang bersamaan di kelas yang sama, di Indonesia
menggeliat pula gerakan neo-revivalisme -meminjam istilah
John L. Esposito-- , yaitu kaum muda yang bangkit, berkarakter
tidak anti modernisme tetapi tetap konsisten dengan nilai-nilai
klasik (sunnah).
Mereka inilah yang kemudian
menjadi lawan tangguh dari liberalisasi dan sekulerisasi agama,
yang menajdi cita-cita dari Islam Liberal. Karena cita-cita
kaum neo-revivalis ini adalah tegaknya hukum syariah, suatu
hal yang menjadi phobia atau nightmare bagi Islam Liberal.
Berbagai counter kemudian dilakukan walaupun tidak secara
jor-joran dalam menghadapi Islam liberal, lewat diskusi-diskusi
lintas aliran hingga aksi massa, seperti yang dilakukan MMI
pada saat menuntut dihentikannya penayangan Islam Warna-Warni
buatan KIUK di dua stasiun TV besar beberapa waktu lalu yang
dianggap menyesatkan. Dan seperti orang yang kebakaran jenggot,
para aktivis Islam Liberal kemudian dengan begitu saja memberi
stempel kepada mereka ini dengan sebutan picik, apriori, berotak
dangkal, otoritarian, tidak canggih, dan tidak demokratis.
Konsep Sekularisasi
Islam Liberal
Nasih masih berpegangan pada Cak Nur ketika beranggapan bahwa
dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme
dan merobah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan
untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat
duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrowikannya.. Kalimat kampanye sekulerisasi pada tahun
1970 itu kemudian dilengkapi dengan pernyataan Cak Nur ketika
diwawancarai Kompas (1970) bahwa orang yang menolak sekularisasi
lebih baik mati saja. Karena sekularisasi adalah inherent
dengan kehidupan manusia sekarang di dunia ini (saeculum berarti
jaman atau keadaan sekarang, juga berarti dunia ini).
Dalam sekulerisasi, negara
adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah
rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan
yang dimensinya spiritual dan pribadi, sehingga negara tak
perlu campur tangan dalam urusan setiap pribadi. Dengan kata
lain, "Render unto Caesar the things which are caesar'
and unto God the thing which are God's"
Dan akhirnya, polemik
sekulerisasi dan sekulerisme ini diakhiri sendiri oleh Cak
Nur. Menurut Dr Syafii Maarif, kepada Jurnal Ulumul Quran
(No 1, Vol 1 tahun 1993), pada tahun 1980-an Cak Nur mengirimkan
surat ke Tempo tentang pengakuan kerancuan istilah "sekularisasi"
dan "sekularisme" yang digunakannya., dan menyebutnya
sebagai "misconception".
Sebelumnya, Endang Syaifuddin
Anshari menyatakan bahwa berbicara tentang sekularisasi, mau
tidak mau mesti mengacu pada sekularisme. Secara historis,
sekularisme timbul di Barat sebagai reaksi terhadap Kristianisme.
Sekularisme adalah paham yang menyingkirkan nilai-nilai Ilahi
(agama wahyu) dalam persoalan dunia, negara, dan masyarakat.
"Baik sekularisasi (menurut rumusan Nurcholish dan yang
dianjurkannya itu) maupun sekularisme (yang ditentangnya itu)
sama-sama mau membebaskan diri dari `tutelage' (asuhan) agama.
Padahal, ketika Allah
telah menyempurnakan agama Islam sekaligus meridhoinya (QS.
Al-Maidah : 3), maka konsekuensinya adalah Islam merupakan
sebuah petunjuk yang mengatur seluruh perikehidupan manusia.
Imam Hasan Al-Banna dalam Syarah Ushul Isyrin megemukakannya
dengan sangat baik bahwa Islam adalah sistem menyeluruh yang
menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah
air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang
dan keadilan, peradaban dan undang-undang. ilmu dan peradilan,
materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad
dan dakwah, pasukan dan pemikiran.
Kembalilah ke Jalan
yang Lurus
Selain sekularisasi, isu utama Islam liberal yang dstruktif
adalah masalah inklusivitas dan pluralitas agama. Aktivis
JIL, Budhy Munawar Rachman (2000) mengajukan pemikiran bahwa
kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama
menganut dan mengembangkan teologi pluralis atau teologi inklusif.
Sebaliknya, teologi eksklusif tidak kondusif dan menjadi akar
munculnya konflik agama (SARA). Inklusifisme mengandung pengertian
bahwa agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama,
saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar,
jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita
saja yang benar. Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu
menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama,
hanya beda teknis.
Tak perlu menggunakan
nash atau dalil Al-Quran, cukup menggunakan logika sederhana
saja, paradigma yang demikian itu langsung bisa dipatahkan.
Kalau memang mereka konsisten dengan apa yang dikatakannya,
tentunya kita akan mendengar kabar bahwa hari ini aktivis
JIL beragama Islam, besoknya Kristen, lusa Zoroaster dan seterusnya,
toh semua agama itu sama, tapi realitanya kita tak pernah
mendengar hal yang demikian. Godspot (fitrah) -meminjam istilah
ESQ Ari Ginanjar Agustian- setiap hamba Allah pastilah mengatakan
bahwa hanya ada satu Dzat saja yang berhak disembah dan meyakini
bahwa jalan yang sedang diikutinyalah yang (paling tidak)
mendekati kebenaran, karena jikalau tidak maka untuk apa Allah
mengizinkan syetan menggoda manusia selain karena dia ingin
melihat sejauh mana seorang manusia mengaku mencintai-Nya.
Kelemahan utama JIL ini
sesungguhnya terletak dari keengganannya menggunakan referensi
agama secara benar, terjebak pada orbit Western-oriented serta
tak muncul dari kajian ilmiah historis dengan sumber-sumber
otentik, fenomena itu -meminjam istilah Adian Husaini-- disebut
'Arogansi Intelektual'. Argumentasi yang mereka kemukakan
lebih banyak menggunakan logika-logika dangkal, dan suka mengembalikan
arti kata kepada terminologinya untuk kemudian dimaknai berdasar
rasional yang diyakininya.
Contohnya Islam yang diartikan
sebagai agama, bukan sebagai sebuah dien yang memiliki arti
lebih komplek, lalu mencari terminologi agama berdasar bahasa
Sansekerta seperti yang ditulis Nasih, yang mengadopsi tulisan
Haryo Sasongko yang berjudul "Agama dan Pluralisme Demokrasi".
Melekatkan Islam dengan
Liberalisme jelas sama sekali tidak menjunjung Islam, malah
sebaliknya. Islam diturunkan bukan sebagai pengekor, sebab
ia berasal dari Allah, Sang Pencipta langit dan bumi. Islam
seharusnya hanya tercermin melalui Allah dan Rasul Muhammad
SAW saja dan para mujtahid yang memang memiliki kualifikasi
untuk itu; bukan melalui pemikiran destruktif liberal seperti
Fatima Mernissi, Arkoun, Charles Kurzman, Abdurrahman Wahid,
atau Nurcholis Madjid.
Last, kehati-hatian dan
kepedulian untuk mencegah seorang saudara agar tak jauh larut
dalam kesalahan adalah hal yang paling utama dilakukan dalam
prinsip persaudaraan dan tulisan ini dimaksudkan untuk itu.
Sikap terbaik dalam menghadapi pendapat yang berbeda dengan
kita termasuk gagasan islam Liberal ini sebenarnya adalah
sebatas menjadikannya sebagai wacana dan sparing partner dalam
memperkuat keimanan kita menuju jalan yang lurus, karena jika
lebih dari itu maka kita berarti telah berani menggadaikan
keimanan kita dengan hal yang sesungguhnya masih sangat absurd.
Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
(Dimuat
di harian WAWASAN, 21 September 2002, sebuah Catatan Untuk
Tulisan Mohammad Nasih
"Agama Perlu Disekulerkan, Mungkinkah ?" , WAWASAN
Sabtu / 14 September 2002)
|