Judul |
Pemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun; |
|
Studi Analitis, Observatif,
dan Dokumentatif |
Penulis |
Prof. Dr. Taufiq
Yusuf Al-Wa'iy |
Penerjemah
|
Wahid
Ahmadi dan Arwani Amin, Lc |
Penyunting |
Tim Penyunting Era
Intermedia |
Penerbit |
Era Intermedia, Solo |
Tahun
Terbit |
1, Januari 2003 |
Tebal |
316
halaman |
|
|
MEMANDANG
LEBIH JERNIH
POLITIK GERAKAN ISLAM
|
Oleh
: Doni Riadi
|
Ditengah-tengah tudingan
terorisme dan carut marutnya perpolitikan di negara-negara
umat Islam, buku ini tampil menyeruak membawa angin segar
laksana kehadiran oase di tengah padang pasir. Berisi analisis
komprehensif tentang bagaimana seorang muslim berpolitik seharusnya,
di racik dengan contoh-contoh konkret kekinian dan dalil-dalil
syari'i yang dikupas secara empatik dan mendalam.
"Tidak akan sempurna
keislaman seorang muslim sebelum ia menjadi seorang politikus".
Prinsip Hasan Al-Banna, pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimin itu
barangkali terdengar janggal bahkan radikal untuk kalangan
orang awam. Tetapi, ia tak asal bicara. Karena, pengertian
politik dalam kacamata -meminjam istilah Dr. Yusuf Qardhawi-'gerakan
Islam terbesar abad 14 H' ini memang berbeda dengan definisi
politik yang dipahami oleh orang kebanyakan.
Bagi sebagian orang, politik
mungkin diartikan sebagai tipu muslihat dan identik dengan
kekuasaan. Akan tetapi bagi Al-Banna, setiap kali berbicara
politik maka yang dimaksudnya adalah politik mutlak. Yaitu
politik yang menaruh perhatian pada kepentingan umat secara
keseluruhan, dalam atau luar negeri tanpa terikat sedikitpun
oleh sistem politik.
Sehingga konsekuensi logisnya,
politik Islam mencakup semua sisi bidang kehidupan. Al-Banna
mengkritik pemikiran yang memberi garis demarkasi antara Islam
di satu sisi dengan politik di sisi lain. Menurutnya (hal.
39), jika Islam itu agama yang tidak menangani masalah politik,
sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, lalu apa gunanya Islam
itu ? Apakah pengertian Islam itu hanya terbatas pada jumlah
raka'at kosong dan konsentrasi hati mengingat Allah semata?
Atau ia hanyalah susunan kalimat istighfar seperti yang menurut
istilah Rabi-ah Al-'Adawiyah sebagai "istighfar yang
membutuhkan istighfar". Hanya untuk tugas itukah Al-Quran
diturunkan sebagai sistem yang pasti, universal, sempurna,
dan terperinci ?"
Ketika Al-Banna ditanya
tentang misi pergerakannya, dengan tegas ia menjawab bahwa
yang ia perjuangkan adalah sesuatu yang pernah diperjuangkan
oleh Rasulullah SAW lima belas abad lampau. Perjuangan Al-Ikhwan
semenjak awalnya adalah perjuangan menegakkan Islam. Karenanya,
setiap sepak terjangnya selalu harus merupakan sepak terjang
yang bisa dipertanggungjawabkan secara syariat. Ia melanjutkan
bahwa negara Islam (daulah Islamiyah) bukanlah "negara
agama" (daulah diniyah) sebagaimana dipahami keliru oleh
masyarakat. Akan tetapi, negara Islam adalah sebuah "negara
sipil" (daulah madaniyah) yang menerapkan syariat, pemimpinnya
bukan imam yang maksum (terjaga dari dosa), dan rakyatnya
bukan orang-orang suci. Mereka adalah manusia biasa, terkadang
salah disaat lain benar, terkadang baik di saat lain buruk,
dan terkadang taat di saat lain maksiat.
Pemikiran inilah yang
kemudian turut menjadi salah satu faktor penyebab gerakan
Al-Ikhwan berkembang pesat. Dari kedai kopi pada awal didirikannya
hingga mempunyai pengaruh signifikan terhadap perikehidupan
internasional, melalui cabang gerakannya di lebih dari 70
negara di lima benua dalam kurun waktu 75 tahun sejak didirikan
pada tahun 1928. Empat tahun setelah Kemal Pasya Atatturk
menghapus sistem kekhalifahan pada 3 Maret 1924.
Penulis buku ini, Prof.
Dr. Taufiq Yusuf Al-Wa'iy, dengan gigih kemudian mencermati
pola gerakan politik Ikhwan dari masa-masa awal hingga bagaimana
ia menjawab berbagai persoalan politik, sistem pemerintahan,
dan masalah-masalah realitas kekinian dipandu dengan dalil-dalil
syari'i yang mendalam. Kompetensi penulis dalam menganalisis
dunia pergerakan memang tidak diragukan lagi. Sebagai salah
seorang tokoh terkemuka Al-Ikhwan, ia banyak terlibat dalam
pengambilan kebijakan pergerakan dakwah Al-Ikhwan. Tulisan-tulisannya
pun tersebar diberbagai media massa negara-negara Arab, semisal
Al-Mujtama' di Kuwait.
Menurutnya, buku ini dilahirkan
untuk memenuhi kebutuhan para aktivis pergerakan dalam melakukan
pencerahan terhadap realitas politik yang menyedihkan. Beberapa
tulisannya berasal dari sejumlah kajian ilmiah spesifik para
pakar dan juga dari kumpulan pengalaman lapangan para aktivis
Islam di ladang politik di seluruh dunia. Di dalamnya juga
terdapat jawaban komprehensif atas berbagai kritik dan pertanyaan
oleh sesama gerakan Islam yang memiliki visi serupa, yakni
menegakkan syariah Islam menjadi sistem negara. Khususnya,
mengenai toleransi Al-Ikhwan untuk masuk ke sistem suatu negara
sebagai konsekuensi strategis penyebaran dakwahnya., terutama
dalam sistem kepartaian, parlemen, demokrasi, dan keterlibatan
perempuan.
Karena buku ini mengupas
kebijakan kontemporer, maka agar didapati pemahaman yang komprehensif
terhadap pemikiran politik Al-Ikhwan, pembaca diharapkan telah
membaca atau paling tidak memahami pemikiran politik periodisasi
awal Al-Ikhwan atau semasa Al-Banna masih hidup. Buku karangan
Dr. Ustman Abdul Muiz Ruslan yang dalam bahasa Indonesia berjudul
"Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin" dapat dimasukkan
pembaca dalam daftar referensi utama.
Secara keseluruhan buku
ini terdiri atas 3 bagian, yaitu deskripsi jihad bagi gerakan
Islam dan semangat membebaskan diri dari imperialisme (pada
Pengantar dan Pendahuluan), delapan permasalahan kontemporer
utama (Bab 1 s.d. Bab 8), dan evaluasi kilas balik (pada Penutup).
Delapan permasalahan, yang selama ini memang menjadi bidang
garap utama Al-Ikhwan adalah : Islam dan HAM, prinsip-prinsip
reformasi politik, demokrasi dan syuro', partai dan multipartai
di negara Islam, Al-Ikhwan dan gerakan parlemen, keterlibatan
dalam pemerintahan, muslimah dalam pemilu, keanggotaan dewan
dan jabatan publik, dan fenomena politik kekerasan. Sedangkan
kilas balik pada bagian penutup merupakan pidato muhasabah
Mursyid Am, Ustadz Musthafa Masyhur pada Ramadhan tahun 1999
(3 tahun sebelum ia meninggal dunia) saat acara "Mengenang
70 Tahun Dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun".
Spirit perjuangan Al-Ikhwan
begitu kentara ditemui pada hal.56 bab Islam dan HAM, yang
menyatakan bahwa sesungguhnya Islam telah dan akan terus menjadi
contoh model pemikiran dan politik tiada dua, yang memuliakan
manusia dan kemanusiaan. Berbagai kezaliman dahsyat yang terjadi
di zaman sekarang hanyalah menimpa umat islam, dan bukan ulah
umat Islam. Kaum intelektual dan orang-orang beriman di setiap
tempatnya hendaknya meneriakkan suara mereka untuk menyerukan
kesetaraan dalam menikmati kemerdekaan dan hak-hak asasi manusia.
Kesetaraan inilah yang merupakan jalan sesungguhnya menuju
kedamaian sosial, stabilitas nasional, dan 'tatanan dunia
baru', dalam rangka memerangi kezaliman, kejahatan, dan permusuhan."
Konsep yang jelas terhadap
tuntutan umat dalam reformasi dijabarkan dengan jelas oleh
penulis dalam dua bab (Bab 2 dan 5). Dimulai dari 15 point
"Piagam Nasional" reformasi politik, hukum, pemilu,
dan ekonomi, hingga pendidikan dan penelitian ilmiah, perbaikan
Al-Azhar, pemberantasan kemiskinan, perbaikan Sosial, keperempuanan,
persaudaraan dengan umat minoritas (nasrani Qibthi), kebudayaan,
politik luar negeri, dan strategi menghadapi zionisme. Salah
satu konsep diantaranya yang menarik adalah bahwa polisi dan
juga perangkat internal negara harus pegawai sipil dan dibatasi
kewenangannya dalam rangka menjaga keamanan negara dan masyarakat
secara keseluruhan. Ia tidak boleh diarahkan untuk melindungi
eksistensi pemerintah yang berkuasa, atau menjadikannya untuk
menekan lawan politik. Sebuah tuntutan yang sangat relevan
dengan kondisi umat saat ini, dimana penguasa umat Islam memanfaatkan
aparatusnya justru untuk memata-matai dan mengintimidasi masyarakatnya
semdiri.
Penulis pun mengupas habis
tinjauan syariat dan fiqih termasuk pertimbangan maslahah
dan mafsadat (kebaikan dan kerusakan) berparlemen. Selain
memuat fatwa ulama-ulama terkenal, termasuk Syeikh Abdul Aziz
bin Baz di hal.151 tentang keterlibatan gerakan Islam di parlemen,
buku ini juga merekam praktik berparlemen Al-Ikhwan termasuk
contoh-contoh pidato politik anggota dewannya. Begitu juga
dengan keterlibatan dalam pemerintahan (eksekutif), pembahasan
pro dan kontra juga disertai dengan contoh historis keterlibatan
Nabi Yusuf AS dalam pemerintahan Fir'aun, dan sikap Raja Najasyi
setelah menjadi seorang muslim.
Dipilihnya seseorang menjadi
anggota parlemen acapkali bukan karena masalah kredibilitas
namun karena 'kendaraan politiknya' setelah ia melakukan deal-deal
tertentu sehingga acap kali abai terhadap masalah akhlak dan
moralitas. Pada hal. 94, Al-Ikhwan --mengutip Imam Al-Mawardi-
menggariskan kriteria standar kelayakan seseorang beraktifitas
di parelemen. Diantaranya yaitu : jujur kata-katanya (shadiq
al-lahjah), tampak fenomenal amanahnya (zhahir al-amanah),
menahan diri dari yang haram ('afif'an al-maharim), melindungi
dari dari dosa-dosa (mutawaqiyam al-maatsim), jauh dari sikap-ragu-ragu
(ba'idan 'an ar-raib), dan dapat dipercaya dalam keridhoan
dan kemarahan (ma'munan fi ar-ridha wa al-ghadhab).
Setelah memaparkan beberapa
pendapat yang menolak dan dalil-dalil yang membolehkan, termasuk
syubuhat perempuan "Menetap di rumah" dan "Kepemimpinan
perempuan", pada Bab 7, Al-Ikhwan mengambil ijtihadiy.
Yaitu mendukung perempuan untuk memiliki hak dan kewajiban
yang sama untuk berkiprah di parlemen dan pemilu juga beberapa
jabatan publik dengan beberapa catatan (hal 261). Catatan
tersebut diantaranya bahwa amanah imamah kubra (kepemimpinan
tertinggi) -dalam konteks kekinian setara dengan pemimpin
negara-- tak dapat dijabat oleh perempuan.
Walaupun demikian, seperti
ditulis pada pengantarnya, seluruh kesimpulan hukum yang ditetapkan
dalam buku ini atas berbagai persoalan, bersifat kesimpulan
ijtihadiy. "Pintu jtihad selalu terbuka", demikian
ulama menandaskan. Karenanya, pintu diskusi memang dibukakan
lebar-lebar oleh penulis, bahkan untuk mengkritisinya, selama
mampu menunjukkan dalil-dalil syari'i yang lebih mendalam
dan lebih meluas.
Pada bab terakhirnya,
buku ini juga membahas adakah manfaatnya penggunaan kekerasan
dalam upaya untuk menegakkan pemerintahan Islam.. Dengan mengutip
kritik sosiolog besar Islam, Ibnu Khaldun (hal. 270) terhadap
penggunaan kekerasan, Al-Ikhwan berpegangan pada prinsip bahwa
kekuatan pertama kali yang harus dimiliki adalah kekuatan
akidah dan iman, berikutnya kekuatan persatuan dan ikatan,
sesudah keduanya barulah kekuatan tangan dan bersenjata. Dalam
risalah "Kepada Pemuda", Al-Banna melengkapi uraiannya
dengan menggariskan sarana perubahan dimulai dari "membentuk
pribadi Muslim, keluarga Muslim, lalu masyarakat Muslim, dan
barulah pemerintahan Muslim." Penulis kemudian mencantumkan
data kekinian contoh beberapa negara dan aliran pemikiran
yang menggunakan kekerasan dan nonkekerasan.
Yang menarik adalah, satu-satunya
partai di Indonesia yang ikut disebut buku ini (hal. 289)
sebagai contoh sebuah arus pemikiran, lebih dari sekedar partai
politik, dan merepresentasikan aliran yang menolak penggunaan
kekerasan adalah Partai Keadilan (PK). Karena itulah, Anda
akan menemukan relevansi bahwa penulis pengantar buku ini
adalah salah satu ketua DPP Partai Keadilan, yaitu Ahmad Firman
Yusuf. Positioning PK ini menjadi semakin jelas saat Dr. Yusuf
Qardhawi dalam bukunya yang berjudul "Ummatuna Baina
Qarnain (Islam di Abad 21)" menyebutkan bahwa PK adalah
kepanjangan tangan Al-Ikhwan di Indonesia.
Diluar kandungannya, buku
ini memiliki beberapa kelemahan. Seperti kebanyakan buku-buku
luaran Timur Tengah lainnya, buku ini minus bibliografi (daftar
pustaka) dan index. Sehingga satu-satunya sarana pemandu pembaca
untuk mengetahui kandungan buku ini secara sekilas adalah
Daftar isi, yang oleh penyuntingnya dibuat cukup mendetail
hingga mencakup sub-sub bab kecil. Namun sayangnya, diawali
dari Bab V, pencantuman nomor halaman di Daftar Isi tidak
match dengan nomor halaman sesungguhnya. Misalnya, pada Bab
Keterlibatan dalam Pemerintahan ditulis terletak pada halaman
195, padahal sesungguhnya berada di halaman 187.
Warna hitam yang dipilih
sebagai warna background pada cover justru tidak menunjukkan
citra kontemporer malah menimbilkan citra muram dan klasik.
Sehingga dengan melihatnya sekilas terkesan buku ini bukan
buku baru yang dicetak tahun 2003. Pemilihan gambar gedung
DPR/MPR-RI sebagai representasi politik memang berhasil merangsang
pembaca untuk berasumsi. Sayangnya, bahan gambar gedung yang
di-scan berasal dari kertas berdasar pori-pori besar (contoh:
kertas koran ) sehingga menjadi tidak padu dengan logo Al-Ikhwan
yang nampak orisinal.
Namun, sebagai sebuah
wacana politik melawan arus, buku pergerakan yang padat berisi
panduan untuk melakukan perubahan ini layak dibaca oleh seluruh
khalayak, khususnya para cendikiawan muslim, politikus, anggota
dewan, birokrat penyelenggara negara, aktivis perempuan, akademisi
kampus maupun aktivis gerakan mahasiswa []
|