Judul |
Competitive Intelligence : |
|
Piranti
Strategis Memenangkan Persaingan Global |
Penulis |
Taryanto,
Farid Aulia, Kadarsyah Suryadi, Taridi |
Editor |
Muhammad
Badarudin dan Imam Nur Azis |
Penerbit |
Multi Utama Indojasa |
Tahun
Terbit |
1, Februari 2003 |
Tebal |
xiii
+ 106 halaman |
|
|
MEMENANGKAN
PERSAINGAN DENGAN KEKUATAN INTELEJEN
|
Oleh
: Doni Riadi
|
Jarang ada buku yang mengupas
dunia intelejen di Indonesia. Karenanya, buku ini bisa jadi
termasuk istimewa, mengingat bahwa buku tentang intelejen
kompetitif yang ditulis dalam bahasa Indonesia masih sangat
sulit ditemui dalam khasanah literatur Indonesia. Apalagi
buku ini bukanlah produk dari sebuah terjemahan melainkan
karya orisinil dari kolaborasi empat penulis yang kesehariannya
berkecimpung dalam dunia intelejen kompetitif.
Intelejen kompetitif sering
dianggap sebagai hal yang baru dan menakutkan. Dunia gelap
dan suram dimana terdapat praktek-praktek, penyuapan, spionase
industri, pencurian informasi dan sebagainya. Semua hal itu
terlanjur melekat pada intelejen. Imej negatif itu terbangun
terutama berasal dari kosakata intelejen itu sendiri yang
memiliki arti luas dan multitafsir. Setiap negara akan mendefinisikan
intelejen dalam terms sesuai dengan standar etis yang berlaku
di negara tersebut.
Pada bab-bab awal buku
ini, penulis memberikan pencerahan tentang bagaimana seharusnya
memandang intelejen, khususnya intelejen kompetitif. Dengan
menyitir pendapat pakar intelejen kompetitif, Jim Underwood
(2002) dan Larry Kahener (1996), penulis menegaskan bahwa
perbedaan krusial antara inteljen dengan spionase industri
adalah pada pertimbangan etis dan legal. Intelejen kompetitif
meliputi pengambilan dan pengumpulan informasi secara legal,
analisis dan penyajian informasi. Intelejen kompetitif juga
didefinisikan sebagai program sistematik untuk mengumpulkan
dan menganalisis informasi tentang kegiatan para pesaing dan
kecenderungan-kecenderungan bisnis umum untuk mewujudkan tujuan
perusahaan (hal. 5). Kemampuan yang jeli dalam menganalisis
itulah dikatakan sebagai inti makna "intelejen kompetitif"
(intelejen = informasi + creative analysis).
Definisi ini terdengar
lebih etis dan legal, meski pada prakteknya diketahui beberapa
perusahaan yang melakukan praktek pelanggaran hukum dalam
mengumpulkan informasi tentang kegiatan pesaing. Aktifitas
seperti pencurian informasi, penyadapan, perampokan kantor
dan penyuapan pada dasarnya telah mengubah prinsip intelejen
menjadi spionase industri.
Dibanding dengan beberapa
negara lain, seperti Jepang, Amerika, Perancis, Uni Eropa,
Australia, dan bahkan Malaysia, apresiasi pemerintah Indonesia
terhadap intelejen kompetitif masih sangat rendah. Kesadaran
akan perlunya intelejen yang kuat telah tumbuh namun penerapannya
masih terbatas pada bidang militer dan keamanan saja, seperti
lembaga BIN dan BAIS (hal 86). Sehingga terjadi kesenjangan
pengelolaan informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Berkaca dari kebijakan
pemerintah ini dan pengalaman kemajuan ekonomi dari negara-negara
lain, maka masyarakat bisnis Indonesia menurut saran buku
ini harus proaktif untuk menumbuhkembangkan dan mensinergikan
intelejen militer, intelejen ekonomi dan intelejen kompetitif
lainnya menjadi sebuah alat kekuatan dalam membangun perekonomian
bangsa. Leading-nya Indonesia sebagai negara dengan pemeluk
muslim terbesar memiliki nilai strategis tersendiri secara
ekonomi dan sosial politik di kawasan Asia Tenggara bahkan
Asia Pasifik.
Contoh negara yang mengapresiasi
tinggi intelejen kompetitif adalah Jepang. Negara dengan sedikit
sumber daya itu mampu memasok 18 % produk bruto dunia, menghasilkan
sepertiga mobil dunia, dua pertiga chip komputer di seluruh
dunia. Salah satu kunci keberhasilan Jepang adalah adalah
intelejen. Keberhasilan Jepang ini membuktikan kebenaran sebagian
pakar yang mengatakan bahwa "keberhasilan dan kekuatan
suatu negara adalah berbanding lurus dengan penguasaan negara
tersebut dalam bidang intelejen kompetitif".
Keberhasilan Jepang dalam
bidang ini bahkan menjadi motto dan motivasi intelejen ekonomi
di Eropa, khususnya Perancis, yang mengatakan bahwa dasar
kebutuhan terhadap intelejen ekonomi adalah kebutuhan mutlak
untuk inovasi serta bukti kemajuan Jepang.
Tidak hanya dalam lingkup
negara, buku ini juga memaparkan manfaat intelejen kompetitif
bagi sebuah organisasi maupun perusahaan. Dari aktifitas intelejen
kompetitif ini, seorang pengambil kebijakan setidaknya dapat
memahami lingkungan bisnisnya dengan lebih baik. Bahkan dapat
mengantisipasi strategi dan riset bisnis pesaing, meramalkan
kesempatan dan ancaman terhadap perusahaannya, memahami dampak
perubahan politik, legislatif, dan perundang-undangan, melakukan
validasi terhadap rumor-rumor hingga membantu dalam proses
akuisisi atau merger.
Bagian terpenting buku
ini adalah terletak pada Bab 3 dan seterusnya yang merupakan
jawaban rinci atas beberapa pertanyaan krusial. Semisal, jika
intelejen kompetitif merupakan sesuatu yang hebat lalu apa
yang harus kita lakukan sekarang ? Bagaimana cara memulainya
? Bagaimana implikasinya terhadap organisasi perusahaan kita
?
Penulis memulai jawabannya
dengan memaparkan alternatif Model Intelejen Kompetitif yang
berisi fase atau tahapan-tahapan mekanisme aliran informasi
menjadi data intelejen siap saji. Disusul kemudian dengan
pembentukan Struktur Intelejen Kompetitif yang kesemuanya
itu berlandaskan pada kekuatan analisis.
Analisis menurut buku
ini memegang peranan kunci dalam pengambilan suatu keputusan
khususnya dalam era unpredictable ini. Analisis dibaca sebagai
proses pengujian dan evaluasi dari informasi-informasi yang
relevan utnuk mendapatkan tindakan yang paling baik atas beberapa
alternatif (hal. 40). Dalam dunia intelejen kompetitif, analisis
itu terbagi menjadi 5 bagian yaitu : analisis strategi, analisis
berorientasi produk, analisis berorientasi konsumen, analisis
keuangan, dan analisis perilaku.
Setiap praktisi intelejen
kompetitif memiliki diferensiasi tersendiri dalam melakukan
aktifitasnya. memperoleh data dan informasi. Perkembangan
teknologi khususnya TI (Teknologi Informasi) yang sering disingkat
dengan "e" adalah salah satu tolok ukurnya, bahkan
telah melahirkan cara pandang baru yang disebut e-intelejen
kompetitif (cyber).
Intelejen kompetitif cyber
memiliki kekhasan terutama dalam proses transfering data dan
informasi. Termasuk didalamnya akses GPRS (General Packet
Radio system) dan WAP (Wireless Aplication Protocol) pada
piranti handphone, PDA, personal digital asistance, dan PC
Tablet). Buku ini pun membantu anda memperoleh data-data yang
diperlukan dengan memberi beberapa alamat referensi situs
yang relevan dengan bisnis, seperti informasi pasar dan informasi
sensus.
Namun demikian, buku ini
memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya adalah judul buku
yang ditulis dalam bahasa Inggris terasa kontraproduktif dengan
semangat untuk mencari padanan dalam bahasa sendiri. Walaupun
mungkin ada faktor pertimbangan orisinalitas istilah, tetapi
ternyata di bagian dalam penulis konsisten menggunakan istilah
inteljen kompetitif bukan Competitive Intelligence..
Demikian juga dengan kesalahan cetak berupa halaman ganda
(hal 15-18) dan beberapa kesalahan editing, seperti lalainya
pengalihbahasaan istilah asing ke dalam bahasa yang lebih
mudah dimengerti (hal. 31) dan ketidakcermatan dalam mengemas
gambar model (hal. 22). Pemberian margin icons yang dimaksudkan
untuk mempermudah pembaca dalam memetakan materi yang dibahas,
sebenarnya menjadi mubazir karena buku ini termasuk tipologi
buku berukuran kecil dan tipis, sehingga mudah untuk dipahami
tanpa memerlukan kehadiran icons apapun.
Secara keseluruhan, buku
ini enak dibaca. Walaupun temanya termasuk berat, tetapi dengan
kemasan bahasa yang lugas dan mengalir, membaca buku ini seperti
layaknya kita membaca buku fiksi, dapat kita selesaikan dengan
sekali duduk. Bahkan jika anda memiliki keinginan untuk menindaklanjuti
beberapa saran yang terdapat di buku ini, maka seperti penulis
tegaskan di pengantarnya, buku ini telah menjadi buku yang
customized dan spesial dalam menerapkan inteljen kompetitif
di organisasi Anda. []
(Dimuat
di harian Republika, 27 April 2003,
English Version-nya
dimuat di The Jakarta Post, Minggu 6 April 2003)
|