Judul |
Kontroversi Ba'asyir : |
|
Jihad Melawan
Opini "Fitnah" Global |
Penulis |
Idi Subandy
Ibrahim dan Asep Syamsul M. Romli |
Penerbit |
Nuansa, Bandung |
Tahun
Terbit |
1, Januari 2003 |
Tebal |
168
halaman |
|
|
MENGENAL LEBIH
ARIF
SOSOK "SANG IMAM"
|
Oleh
: Doni Riadi
|
Ustadz Abu Bakar Ba'asyir
nampaknya masih harus memendam harapannya untuk dapat segera
menghirup udara bebas. Perppu No.1/2002 yang saat ini telah
menjadi UU Antiterorisme, sebagai dasar hukum penahanan, memungkinkan
polisi untuk memperpanjang masa penahanannya.
Aparat nampak meyakini
betul bahwa Ba'asyir-lah "Sang Imam" yang harus
bertanggungjawab atas serangkaian tindakan teror dan peledakan
bom di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, ia juga dituding melakukan
percobaan pembunuhan RI-1 (pasal 104 KUHP) dan makar terhadap
pemerintahan Indonesia (pasal 107 KUHP).
Ustadz Ba'asyir mungkin
tak pernah menduga, jika di usia senjanya saat ini, ia harus
menghadapi cobaan sangat berat : dituduh sebagai teroris internasional.
Potretnya menghiasi media nasional dan internasional. Kini
ia di cap sebagai teroris dan bahkan dianggap sebagai most
wanted No.2 oleh AS setelah Usamah bin Ladin. Lebih dari sosok
Saddam Hussein yang 'hanya' merepresentasikan bentuk pembangkangan
pemerintah Irak terhadap AS (hal.32).
Buku ini, menawarkan perspektif
yang berbeda. Dengan menyitir pendapat Herbert Strentz dalam
News Reporters and News Sources (1989), "Terorisme bukanlah
fenomena yang mewarnai abad ke-20, tetapi tindakan ini kian
menonjol karena liputan media berita" (hal. 28). Penulis
ingin menegaskan bahwa media massa juga turut andil besar
dalam stigmatisasi seseorang sebagai teroris atau tidak.
Dalam konteks Ustadz Ba'asyir,
disadari atau tidak, media dapat masuk "perangkap"
sumber berita tertentu yang punya "hidden agenda"
(agenda tersembunyi) lebih luas. Dengan sumber berita yang
terbatas dan sulit diakses biasanya media cenderung memanfaatkan
sumber berita resmi, baik yang bersumber dari agen-agen resmi
pemerintah maupun agen-agen yang sedang menekan atau berkolaborasi
dengan pemerintah.
Konsekuensinya, media
seperti ini cenderung mengembangkan budaya jurnalisme yang
dikenal sebagai jurnalisme pispot (hal 29). Yakni media dan
para jurnalisnya menerima informasi bergitu saja dari sumber
berita tanpa mengecek kembali kebenaran dan keabsahannya,
sehingga menjadi alat propaganda praktis. Kritikus media Edwind
Diamond (1985) menyebutnya sebagai Terrorvision atau Terorisme
Media.
Berlatar belakang kesamaan
pengalaman sebagai jurnalis dan editor buku-buku Islam, dua
penulis ini melakukan penelitian literatur dan analisis media
terhadap propaganda yang memojokkan Ba'asyir. Hasil penelitiannya
itu kemudian diklasifikasikan kedalam empat bab utama, yaitu
sosok pribadi Ba'asyir, penghancuran karakter Ba'asyir, misteri
yang menyelimuti Ba'asyir, dan skenario Ba'asyirisasi tokoh-tokoh
umat. Dan sebagai penutup, buku ini dilengkapi dengan paparan
visioner pergulatan batin penulis sebagai pekerja media, berupa
ide Media Literacy atau Melek Media.
Seperti apa sesungguhnya
sosok Ba'asyir ? Buku ini melukiskan, bahwa orang-orang dekat
Ba'asyir menyebut sosok Amir MMI ini sebagai pribadi yang
sederhana, bahkan sangat sederhana, lembut, namun tegas dalam
berpendirian. Bisa dikatakan, Ba'asyir tidak memiliki harta
berharga apa-apa. Rumah minus kursi tamu, yang ia diami pun
adalah aset ponpes Al-Mukmin. Barang berharga yang dimilikinya
barangkali hanya kitab-kitab agama dan seperangkat komputer
sebagai alat vitalnya berdakwah.
Alumnus Gontor ini juga
terkenal akan kelembutannya. Ia dikenal sebagai kyai yang
tidak pernah mengajarkan radikalisme atau melakukan aksi kekerasan.
Santrinya bahkan pernah mengira Ba'asyir seorang penakut karena
terlalu halus dan jauh dari kekerasan (hal 33).
Lalu, mengapa ia menjadi
target perburuan ? Banyak motif. Salah satunya menurut ZA
Maulani, Ba'asyir hanyalah kambing hitam dari skenario AS
menghegemoni dunia Islam. Dan kebetulan Ba'asyir mempunyai
bad record dalam data intelejen Indonesia, saat ia melawan
rezim Orde baru yang memaksakan azas tunggal Pancasila. Ia
menganggap penerapan azas tunggal itu merupakan suatu kezhaliman.
Menurutnya, kalau sesuatu dipaksakan, dimana letak kebebasannya
?
Dalam perspektif Ba'asyir
sendiri, seperti yang sempat terrekam pada jumpa pers 18 Oktober
2002, ia mengatakan, " Oleh karena itu, saudara boleh
lihat bahwa definisi teror dimonopoli oleh AS. Yang disebut
teror oleh mereka adalah semua penegak, mujahid yang akan
menegakkan syariat Islam. Termasuk diri saya ini. Jadi saya
akan dikorbankan itu bukan karena memerintahkan orang mengebom.
Saya jadi korban karena saya ingin menegakkan syariat Islam
dengan sempurna." Bahkan, ia menilai bahwa Al-Qaidah
adalah organisasi buatan AS yang digunakan sebagai kamuflase
teror untuk menyudutkan kelompok Islam (hal.45).
Ba'asyir kemudian menjadi
bulan-bulanan komentar, pemberitaan, dan analisis jurnalis
media massa internasional. Tidak hanya bagi publik AS, di
Indonesia sendiri, Ba'asyir dicitrakan sebagai sosok seorang
teroris. Sebuah media yang cukup disegani di Indonesia bahkan
mampu menggiring opini publik untuk mengatakan iya ketika
menurunkan cover "Diakah Sang Imam ?" Maka, terjadilah
trial by the press (pengadilan oleh media massa) yang merupakan
salah satu kasus paling menonjol di dunia pers.
Kesaksian kontroversial
Al-Faruq yang dipublikasikan Time dan menjadi bahan rujukan
banyk media pada akhirnya mengakibatkan penghancuran karakter
Ba'asyir hingga titik nadhir. Prinsip azas praduga tak bersalah
sudah tak lagi menjadi relevan. Begitu juga dengan pemberitaan
miring media lainnya. Seperti The Washington Post (11/01/2002)
yang menurunkan tulisan intelejen AS, Rajiv Chandrasekaran
yang mensinyalir adanya keterkaitan Al-Qaidah, Laskar Jihad,
dan kelompok Ba'asyir sebagai jaringan terorisme di Indonesia.
Pendeknya, seperti yang
tercantum dalam subjudul buku ini, Ba'asyir berada dalam opini
"fitnah" global dari jaringan konspirasi media dunia.
Pertanyaanya adalah, siapakah yang bermain dibalik semua itu
?
Presiden EURO (European-American
Unity and Rights Organization), David Duke dalam artikelnya
Who Runs The Media (2001) memberikan jawaban dengan mensinyalir
bahwa media-media paling berpengaruh di AS dan menjadi rujukan
dunia : The New York Times, The Washington Post, dan The Wall
Street Journal dibawah pengaruh Yahudi. Termasuk juga tiga
majalah utama : Time, Newsweek, dan US News and World Report
dan media penyiaran utama Amerika seperti Time-Warner dan
Disney, serta jaringan berita ABC, CBS, dan NBC, yang lalu
merger dengan MSN menjadi MSNBC.
Karena itulah, sebagai
alat perlawanan, penulis merekomendasikan agar Media Literacy
atau Melek Media menjadi salah satu program pencerahan masyarakat
di masa mendatang. Melek Media dimaksudkan untuk mendidik
khalayak supaya senantiasa bersikap kritis terhadap informasi
apapun yang diperoleh dari media. Ia juga memiliki agenda
yang jelas yaitu untuk melakukan perlawanan terhadap agenda
yang terselubung dibalik media. Merujuk pada Chomsky, filter
untuk mengontrol pesan media itu, dimulai dari kekritisan
terhadap ukuran media, orientasi profit, kepemilikan media,
para pengiklan, sumber-sumber media, dan kelompok penekan,
serta ideologi.
Secara keseluruhan, walaupun
buku ini tak mewancarai Ba'asyir secara langsung sebagai subyek
utama pembahasan buku ini, dapat dikatakan buku ini berhasil
melakukan misinya. Yaitu memberikan wacana alternatif agar
khalayak lebih kritis dan arif dalam menilai Abu Bakar Ba'asyir
dan isu-isu terorisme pada umumnya. []
|