PRIVATISASI
DAN KORUPSI
Oleh : Imam Mardjuki
Privatisasi BUMN (dari
milik negara ke milik swasta/perorangan) yang dilakukan Pemerintah
seringkali menuai hujatan dan perlawanan. Termasuk privatisasi
dalam bentuk penjualan 41,9 persen saham (divestasi) PT Indosat
kepada Singapore Tecnologies Telemedia Pte Ltd (STT). Penentangan
bukan semata karena Indosat merupakan aset sangat penting
dan strategis serta menguasai hajat hidup rakyat banyak, namun
juga dikarenakan adanya dugaan terjadi praktik korupsi dalam
proses privatisasi BUMN yang bergerak di bidang teknologi
informasi itu.
Dugaan korupsi didasarkan pada ketidaksesuaian antara total
hasil divestasi dengan dana yang masuk ke kas negara. Deputi
Menteri Negara BUMN Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi,
Mahmudin Yassin melaporkan, dari total dana penjualan 41,94
persen saham Indosat senilai US$ 608.413.898,31 (Rp 5,6 triliun)
yang masuk ke kas negara hanya US$ 583,143 juta (Rp 5,2 triliun).
Laporan ini juga dibenarkan oleh Dirjen Anggaran Depkeu, Anshari
Ritonga (Suara Merdeka & detikcom, 3/1/2003). Ini berarti,
ada dana Rp 400 miliar yang "hilang" entah kemana.
Dugaan makin menguat ketika mantan Presiden KH Abdurrahman
Wahid menuding ada komisi 9 persen dari total hasil divestasi
masuk ke kantong orang-orang partai tertentu, dan dia mengaku
mengantongi nama-nama si penerima.
Privatisasi
Privatisasi BUMN yang dilaksanakan Pemerintah sejauh ini memang
dianggap bermasalah. Persoalannya barangkali tidak terlalu
krusial jika yang dijual kepada asing bukan aset-aset yang
penting dan strategis. Misalnya, aset-aset di bidang kontraktor,
atau BUMN-BUMN yang mau colaps untuk penyegaran. Alasan Menteri
Negara BUMN Laksamana Sukardi bahwa untuk aset seperti Indosat
"tidak harus ikut memiliki, yang penting dapat ikut menikmati
(memanfaatkan)", dipandang dari sudut manapun sangat
lemah. Memang, meskipun sahamnya dimiliki Singapura, masyarakat
masih dapat ikut memanfaatkan jasa-jasa Indosat. Tetapi ada
hal-hal yang bersifat strategis yang tak tergantikan oleh
prinsip "yang penting dapat ikut menikmati" tersebut.
Indosat adalah institusi yang bergerak dalam bidang teknologi
dan informasi. Sedangkan informasi adalah sesuatu yang sangat
sensitif untuk kepentingan bangsa dan negara. Kerahasiaaan
informasi bagi sebuah negara sangat perlu untuk dijaga. Seperti
dikhawatirkan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Erman Suparno,
dengan menjual saham Indosat kepada pihak asing, kerahasiaan
informasi negara RI tidak akan terjamin, alias akan gampang
diobok-obok negara lain. Kita tentu tak lupa pesan futurolog
Alfin Tofler: "Barang siapa menguasai informasi, ia akan
menguasai dunia". Tesis ini benar-benar diperhatikan
oleh negara-negara yang sadar informasi seperti Amerika Serikat
(AS), Inggris dan Singapura.
Sampai-sampai, ada pihak yang menyebut proses privatisasi
Indosat sebagai proses Singapuranisasi. Betapa tidak, STT
yang membeli Indosat melalui ICL adalah anak perusahaan yang
100 persen sahamnya dimiliki oleh Singapore Technologies,
sebuah BUMN milik Singapura. Sementara itu, Singapore Telecom
Mobile yang membeli 35 persen saham Telkomsel juga merupakan
anak perusahaan Singtel yang 67,5 persen sahamnya dimiliki
Temasek Holding, yang juga BUMN milik Singapura.
Dari perhitungan bisnis pun, menurut pengamat media Maria
A. Sardino (Republika, 28/12/2002), divestasi Indosat merugikan
negara triliunan rupiah. Menurut perhitungan Serikat Pekerja
(SP) Indosat, saham Indosat dihargai Rp 12.950 per saham lebih
rendah dibandingkan dengan nilai saham Satelindo (anak perusahaan
Indosat). Pada triwulan III 2002 saham Satelindo yang diambil
Indosat dari DeTe Asia sebesar US$ 350 juta untuk 25 persen
saham Satelindo atau ekuivalen dengan US$ 1,3 miliar untuk
100 persen saham Satelindo.
Sejak transaksi pembelian 25 persen saham Satelindo dari DeTe
Asia hingga 15 Desember 2002, Satelindo telah mengalami banyak
kemajuan sehingga nilai fundamentalnya akan lebih tinggi.
Karena itu, dari Satelindo saja diprediksi ada kontribusi
nilai minimal Rp 14 ribu per saham terhadap setiap lembar
saham Indosat. Dengan demikian, dalam perhitungan SP Indosat,
Meneg BUMN telah memberikan gratis seluruh bisnis dan lisensi
usaha Indosat berikut 20 lebih anak perusahaan lainnya. Sehingga,
diperkirakan negara mengalami kerugian lebih dari Rp 1,8 triliun
dari dua divestasi saham Indosat itu.
Selain kerugian di atas, divestasi Indosat dinilai beberapa
pengamat ekonomi, diantaranya Drajad Wibowo dan Revrisond
Baswir, juga melanggar hukum. Khususnya UU No 25/2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas), Tap MPR No II/2002
tentang Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan
Ekonomi Nasional, serta UU No 5/1999 tentang Monopoli. Bahkan
Wakil Ketua Komisi IV Erman Suparno menganggap divestasi Indosat
telah melecehkan DPR. Menurut Erman, saat rapat konsultasi
Menneg BUMN dengan Komisi IV, komisi sudah meminta agar rencana
divestasi ditunda dan dikaji ulang.
Korupsi
Dengan demikian, wajar bila kemudian divestasi Indosat mengundang
kecurigaan. Lebih-lebih ketika publik mengetahui bahwa adanya
perbedaan antara total nilai penjualan saham dengan dana yang
masuk ke kas negara seperti diungkap di awal tulisan ini.
Sebenarnya, dalam perkembangan wacana di dunia internasional
mengenai privatisasi, belakangan semakin banyak yang meyakini
bahwa privatisasi memang sarat dengan suap dan komisi. Dibandingkan
dengan mengutip komisi dari proyek infrastruktur, mengutip
komisi melalui penjualan BUMN memang lebih mengasyikkan. Selain
nilai transaksi cenderung berukuran besar, pertanggungjawabannya
pun terbatas berupa masuknya hasil penjualan BUMN ke kas negara.
Tidak perlu pertanggungjawaban fisik sebagaimana proyek infrastruktur.
Maka tidak aneh jika belakangan berkembang sebuah slogan baru
di dunia internasional, "privatisation is the mother
of corruption".
Pemerintah sendiri sebenarnya berada dalam posisi dilematis.
Sebab privatisasi BUMN merupakan salah satu poin kesepakatan
antara Pemerintah Indonesia dengan IMF sebagai bagian proses
recovery ekonomi. Akibatnya, banyak ekonom dan tokoh yang
menyarankan agar Indonesia memutuskan hubungan dengan IMF.
Sebab, Indonesia justru akan makin terpuruk di tangan lembaga
keuangan internasional yang lebih banyak disponsori AS itu.
Apalagi, banyak bukti bahwa negara-negara yang ditangani IMF
umumnya justru makin terpuruk ekonominya. Karena buruknya
resep IMF itu, sampai-sampai ekonom penerima Nobel yang juga
mantan Wakil Presiden Bank Dunia, Joseph Stiglitz, menyebut
konsep privatisasi BUMN versi IMF itu sebagai briberization
(rampokisasi). Dan, resep itulah yang kini sedang dicekokkan
kepada pemerintah Indonesia.
Perlawanan
Perlawanan terhadap privatisasi BUMN sebenarnya tidak hanya
terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia
sebagai bagian gerakan perlawanan terhadap neoliberalisme.
Penyelenggaraan sidang World Trade Organization (WTO) di Seattle
beberapa waktu lalu terpaksa dibatalkan karena didemo oleh
para aktivis pekerja/buruh. Demo-demo besar menentang neoliberalisme
(termasuk privatisasi) kemudian juga terjadi secara besar-besaran
di Washington DC, Praha, dan Italia.
Tak hanya para pekerja, perlawanan terhadap privatisasi juga
datang dari kaum intelektual seperti James Petras, JW Smith,
Susan Goerge, David Corten, Richard Dornbusch, atau Ali Faramzan.
Bahkan ekonom sekaliber Joseph Stiglitz, penerima hadiah Nobel,
juga menolaknya.
Sayangnya, kritik-kritik yang disampaikan kepada pemerintahan
Megawati agar menghentikan privatisasi BUMN justru ditanggapi
kurang proporsional. Misalnya Menneg BUMN Laksanama Sukardi
yang menyampaikan somasi kepada Ketua MPR RI Amien Rais karena
kritik kerasnya terhadap divestasi Indosat. Kemudian Laks
pun mengadukan Amien ke polisi dengan tuduhan mencemarkan
nama baik. Sebelumnya, Fraksi Reformasi juga telah mengadukan
Laks ke polisi.
Akhirnya, kita semua berharap masalah divestasi Indosat ini
tidak terlalu dibawa ke wilayah pertarungan politik. Sebab
kenyataan membuktikan, hampir setiap kasus yang dibawa ke
wilayah politik, tidak selesai secara tuntas, dan penyelesaiannya
juga kurang objektif dan transparan. Karena itu, bila divestasi
Indosat dinilai cacat hukum dan diduga terjadi korupsi maka
lebih baik diselesaikan secara jelas dan tuntas di pengadilan.
Dan pengaduan Laks terhadap Amien atau pengaduan Fraksi Reformasi
terhadap Laks ke polisi, dapat menjadi entry point untuk itu.[]
|