BERPOLITIK
CARA MUSLIMAH
Oleh : Doni Riadi
Ada pelajaran yang menarik
dari prinsip hacking. Walaupun sepintas lalu aktivitas tersebut
terasa ilegal namun sang webmaster yang situsnya di-hack justru
diuntungkan. Karena hacker tersebut secara tidak langsung
membantunya membangun sistem proteksi yang lebih kuat dengan
memperbaiki titik lemah yang dijadikan 'pintu masuk' hacker.
Dengan analogi hacker
tersebut, kritik dan serangan pemikiran dari beberapa pihak
kepada umat Islam, sebenarnya dapat kita gunakan sebagai media
memperbaiki diri. Dalam terminologi SWOT, ini disebut change
weakness become strength. Beberapa 'titik lemah' itu menurut
frame Islam Liberal diantaranya adalah masalah hak-hak perempuan
alias keadilan gender, pluralisme, hukum waris, dan hukuman
balasan setimpal (qishas).
Kultur Politik Muslimah
Penulis mengambil satu saja isu klasik namun cukup relevan
dan mempengaruhi gerak aktivis dakwah sehari-hari, yaitu isu
pemberdayaan perempuan. Lebih spesifik lagi, adalah masalah
kultur politik muslimah. Politik yang dimaksud tentu saja
politik dalam makna luas bukan sekedar politiknya parpol tetapi
semua gerakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Ketika kita beraksi memperjuangkan
nasib umat, maka logikanya, kita harus memiliki dasar argumen
kuat yang membuat kita melakukan aksi. Penguasaan dan pemahaman
materi yang komprehensif atas sebuah isu dapat memperkuat
motivasi aksi, lebih dari sekedar ikut arus.
Disebut ikut arus, karena
muslimah seringkali hanya berperan sebagai penambah jumlah
massa atau untuk menciptakan kondisi sejuk yang non anarkis.
Karena itu, dalam berbagai kesempatan aksi, kita dapat menemukan
fenomena banyak muslimah yang menutup mukanya dengan saputangan.
Simbol bahwa ia ikut dengan keterpaksaan atau sekedar solidaritas.
Walaupun mungkin ada motivasi lain seperti takut panas, takut
dikenali sehingga ortu marah, atau takut diidentifikasi aparat.
Untuk dapat menguasai
materi, maka kita dituntut untuk mengakses banyak informasi
via berbagai media dan narasumber, adu wacana, sharing dan
diskusi interaktif, tidak menjadi peserta pasif an sich dari
seminar-seminar yang one way traffic atau forum doktrinasi
lainnya. Jadi, tuntutan untuk melek wacana itu murni untuk
penguatan pergerakan dan karakteristik diri sang muslimah
sendiri, bukan untuk mengejar status subyektif agar dicap
sebagai teman yang enak diajak bicara.
Kenyataannya, umumnya
para muslimah tak memiliki stamina kuat untuk dapat berpartisipasi
aktif dalam penguatan wacana sospol. Mereka cenderung untuk
mengandalkan orang lain dan menikmati hasil jadinya saja di
akhir sesi lalu mengucapkan kata sepakat atas kebijakan forum
atau pimpinan. Jika tidak diantisipasi, maka pelan namun pasti,
muslimah telah menciptakan budaya paternalistik yang dapat
membunuh potensi daya kritis.
Melawan Kodrati ?
Namun jika kita berpikir empatik, ada paradigma lain yang
mengatakan bahwa muslimah memang memilih pendekatan yang berbeda
dengan laki-laki sesuai dengan kecenderungan kodratinya. Walaupun
sama-sama mengkritisi kondisi sospol, muslimah lebih suka
menghadapinya lewat aksi-aksi yang mengeksplorasi perasaan
atau sindiran-sindiran lewat karya imajinasi ketimbang aksi
lugas. Itulah sebabnya secara umum, muslimah lebih banyak
membaca Annida daripada Saksi, dan lebih lihai dalam karya
dakwah tulisan fiksi ketimbang yang nonfiksi. Jadi, kita tak
dapat memaksa muslimah untuk berpolitik sesuai kacamata laki-laki.
Itu sama saja dengan meminta laki-laki untuk juga menguasai
materi kerumahtanggaan yang selama ini didominasi perempuan.
Ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa sistem patriarki-lah yang kurang memberi
kesempatan muslimah untuk tampil. Dalam rangka memperbesar
kesempatan itu muncul-lah ide kuota persentase perempuan dalam
setiap kerja dimana perempuan ada didalamnya. Bahkan, pernah
disebutkan dalam sebuah persyaratan bantuan dana join research
se-Asia, tertulis secara eksplisit kalimat bahwa proposal
yang diajukan seorang perempuan 'lebih diminati' untuk ditindaklanjuti
oleh sang funding.
Tapi, betulkah karena
faktor kesempatan ? Dalam banyak kasus justru musilmah sendirilah
yang menolak ketika diminta tampil sebagai pembicara atau
panelis untuk menyampaikan ide-idenya di depan publik multigender,
dengan dalih kurang etis dan kurang syari'i. Pada akhirnya,
hal ini menyebabkan masyarakat kurang mengenal pandangan tokoh-tokoh
perempuan dari kalangan aktivis dakwah. Padahal, umat membutuhkan
pencerahan mengenai apa dan bagaimana feminisme yang benar.
Sehingga jika kita sederhanakan,
ada dua cara pandang besar yang berbeda menyoal keterlibatan
politik muslimah. Pertama, yang menginginkan muslimah berpolitik
lebih lugas dan kedua, yang menginginkan peran politik muslimah
menurut cara muslimah sendiri. Cara pandang yang kedua ini,
mungkin mirip dengan istilah Ratna Megawangi menyoal feminisme
: Membiarkannya Berbeda.
Manakah yang terbaik ?
Jawabannya alami, tergantung pada muslimah itu sendiri melalui
renungan atas potensi diri. Muslimah yang satu mungkin cocok
dengan berpolitik secara lugas tapi tidak untuk yang lain.
Yang perlu dicarikan solusinya bersama adalah muslimah yang
tidak memilih satu pilihan pun, alias tetap seperti apa adanya.
Sekali lagi, untuk dicarikan solusinya bukan untuk dituding-tuding
sebagai penyebab image bahwa muslimah itu tak memiliki kompetensi.
Nah, jika akhirnya banyak
lahir muslimah pada umumnya yang memiliki karakter kuat, maka
tak ada alasan bagi rival perang pemikiran untuk mendeligitimasi
cara Islam dalam memperlakukan perempuan. Dari sisi ini, mereka
tak akan bisa meng-hack Islam lagi.
Waallahu a'lamubisshowab.
(Tulisan
versi edited dimuat di Kolom 1269 Male Majalah Annida, 28
Februari 2003)
|