IRONI
REFORMASI :
BUDAYA PERPLONCOAN MAHASISWA
Oleh : Doni Riadi
Adalah hal yang wajar
ketika reformasi yang digulirkan 1998 itu akhirnya menemui
kegagalan, penyebabnya bukan dari faktor eksternal tapi justru
dari internal sang arsitek reformasi sendiri, yaitu mahasiswa,
yang inkonsistensi dan nirtauladan dalam pelaksanaan reformasi.
Ketika mahasiswa menginginkan
pendekatan humanis dan mengkritik keras represifitas aparat
dalam penanganan aksi-aksi unjuk rasa, namun pada saat yang
bersamaan, justru ia menjadi pelaku tindak kekerasan -bahkan
telah menjadi budaya-- yang sulit terdekonstruksi atau dengan
kata lain telah menjadi kanker yang sulit diobati.
Ritual awal semester baru
itu yang mestinya sudah tidak ada, masih banyak ditemui pasca
1998. Berita kekerasan fisik atau mental atau gabungan keduanya
dari perploncoan mahasiswa senior kepada yuniornya masih menghiasi
headline surat-surat kabar, karena efek yang ditimbulkannya
masih mengusik nurani yaitu hilangnya nyawa manusia.
Secara legal formal, sebenarnya
perploncoan sudah dihapuskan sejak masih bernama Mapram atau
Mapras dengan SK Menteri P dan K No. 043 / 1971 yang melibatkan
23 instansi, dari Departemen P dan K hingga Bappenas. Mapram
kemudian bermetamorfosis menjadi POS (Pekan Orientasi Studi)
lalu berubah lagi menjadi OS (Orientasi Studi) dan terakhir
menjadi Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). Karena
masih banyaknya korban yang jatuh, maka keluarlah Surat Edaran
Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 1539/D/I/1999
yang dengan tegas melarang praktek perploncoan, dalam surat
yang distempel pada 17 Juni 1999. Dan akhirnya sejarah Ospek
berakhir dengan dikeluarkannya SK Dirjen Dikti No.38/Dikti/2000
pada bulan Maret yang menghapus Ospek dan menyerahkan prosesi
pengenalan itu pada kampus yang bersangkutan dan memberi warning
agar lebih menekankan pada kegiatan akademis.
Namun apalah arti sebuah
selembar kertas SK jika tak dibarengi dengan political will
dan semangat perubahan yang tinggi dari masyarakat kampus
khususnya mahasiswa, terbukti hingga saat ini perploncoan
itu masih terjadi juga. Faktor apa sebenarnya yang membuat
perploncoan sangat sulit diberantas ?
Alasan Klasik
Minimal ada 4 alasan klasik yang selalu menjadi jawaban andalan
ketika timbul pertanyaan yang mengkritisi perploncoan. Pertama,
untuk menghapus jarak antara mahasiswa baru dan lama. Kedua,
untuk meningkatkan solidaritas sesama mahasiswa baru. Ketiga,
untuk membangun kekuatan mental dan keempat agar lebih siap
dalam menghadapi tantangan zaman.
Asumsi-asumsi inilah yang
menjadi pegangan dalam praktek perploncoan, walaupun sebenarnya
belum pernah ada penelitian psikologi yang menelaah tingkat
kebenaran apakah mahasiswa yang sudah melalui ospek versi
teror mental dan fisik itu menjadi manusia yang lebih kuat
mental dan lebih siap dengan tantangan zaman dibandingkan
dengan mahasiswa yang sama sekali tak pernah mengalami proses
dehumanisasi seperti itu.
Analisa yang mendalam
justru malah memaparkan kerugian-kerugian dari kegiatan perploncoan
-ospek, pekik atau apaun namanya- ini. Beberapa diantaranya
adalah : pertama, tidak mendidik karena seringkali memerintahkan
para mahasiswa baru untuk mengerjakan tugas yang tidak bermanfaat,
tidak logis, melelahkan dan membuang waktu sia-sia.
Kedua, merendahkan martabat
para mahasiswa baru sebagai sesama manusia yang layak dihormati
dan dihargai. Ketiga, kental nuansa kekerasannya (violence),
yang sebenarnya cukup untuk dimasukkan sebagai bentuk pelanggaran
HAM atau crimes against humanity. Keempat, Ospek memupuk jiwa
pengecut dan balas dendam baik kepada si pelaku maupun korban.
Lembaga dan institusi menjadi tempat berlindung ketika telah
mulai jatuh korban dan bagi korban, ia akan bernafsu untuk
melakukan hal yang sama dengan apa yang diterimanya pada angkatan
berikutnya.
Kelima, nyata-nyata melanggar
hukum, etika, ajaran agama manapun, dan mencoreng budaya Indonesia
dengan mengkultuskan kekerasan dan penindasan. Keenam, melanggar
kaidah hidup berdemokrasi karena para mahasiswa tidak diberikan
kebebasan dalam banyak hal, seperti kebebasan bersuara, kebebasan
mengemukakan pendapat, kebebasan untuk menolak, dan kebebasan
untuk menyanggah pernyataan.
Paradigma atau pola pikir merupakan faktor yang perlu didekonstruksi
pertama kali dalam menghapus budaya perploncoan. Jikalau dicermati
maka terdapat kesamaan titik berangkat (starting point) dalam
setiap kegiatan perploncoan yaitu selalu berangkat dari sisi
negatif (dark side). Untuk melatih solidaritas misalnya, maka
mahasiswa baru diharuskan untuk rela mengunyah perment yang
sebelumnya sudah lebih dulu dikunyah oleh rekan sebelahnya.
Untuk membangun mental, mahasiswa baru harus mau mengenakan
seragam atau aksesoris yang njelehi, dicukur gundul dan pasrah
ketika dibentak-bentak secara massal oleh senior.
Bisa jadi target yang
hendak diraih benar-benar tercapai, tapi bagaimana dengan
eksesnya ? Justru ekses negatif inilah yang kemudian menjadi
persoalan besar. Prof Soedjono dari UGM bahkan menyebutnya
dengan 'psikosis perploncoan', kondisi dimana didapati gangguan
jiwa ringan seperti rasa takut dan rasa curiga yang berlebihan
pada mahasiswa baru.
Tawaran Alternatif
Ada metode yang lebih baik, yaitu berangkat dari sisi Godspot.
Ary Ginanjar Agustian (dalam ESQ 2001) mengatakan bahwa selalu
ada ruang yang dianugerahkan Sang Pencipta kepada manusia
berupa alam berpikir jernih dan suci, hati dan pikiran yang
bersifat merdeka serta bebas dari belenggu, yang disebut dengan
Godspot atau fitrah. Ia tidak hanya mengasah intelektual tetapi
juga kedewasaan emosional dan juga spiritual, hal yang tak
dimiliki oleh jalan non-fitrah. Fitrah membimbing ke arah
tindakan yang positif dan terbimbing suara hati. Ini sesuai
dengan pendapat Jalaludin Rumi, Danah Zohar, Ian Marshal atau
hasil riset para pakar SQ seperti Wolf Singer.
Maka, ketika orientasi
pengenalan kampus, pola seperti Outbond Training atau Outting
dapat menjadi alternatif pengganti perploncoan. Didalamnya
ada materi Ice Breaker atau meateri lainnya yang menggunakan
prinsip Godspot yang dapat memecah kebekuan antar mahasiswa
baru menjadi kondisi yang sangat hangat, akrab dan tanpa jarak,
dan yang terpenting tanpa ada pihak yang merasa dilecehkan.
Untuk melatih daya kritis, dapat digunakan metode andragogi,
dengan pelibatan langsung mahasiswa baru terhadap kondisi
realitas sosial masyarakat. Misalnya, dengan penyebaran pamflet,
poster dan selebaran tentang Anti Narkoba dan pesan moral
lainnya di jalan-jalan, perkampungan, maupun perkantoran.
Atau dengan menggunakan
metode pesantren, yang tentu aja tidak sekedar mendengar ceramah
tetapi interaktif karena materinya yang memang banyak mengeksplorasi
kemampuan para mahasiswa seperti materi potensi diri, thinking
positive dan lain-lain. Luaran yang diharapkan adalah profil
generasi penerus yang tidak hanya cerdas tetapi memiliki keseimbangan
emosi dan perilaku yang sehat, modal yang harus dimiliki dalam
rangka mendesain Indonesia masa depan.
Setelah memiliki landasan
legal penghapusan perploncoan dan metode alternatif dalam
orientasi pengenalan kampus maka tinggal satu faktor lagi
yang perlu disiasati, yaitu faktor sumber daya manusia. Perlu
ada sekelompok mahasiswa yang setekad dan seide serta mempunyai
networking di kampus-kampus Indonesia untuk menentang kegiatan
perploncoan dan menggantinya dengan metode yang lebih humanis.
Mereka inilah yang kemudian
akan berjuang keras termasuk berhadapan dengan sesama mahasiswa
yang primitif yang tetap mempertahankan perploncoan, baik
berhadapan secara wacana, argumentatif, maupun advokatif bahkan
memberikan perlindungan fisik. Di Malaysia sekelompok mahasiswa
anti perploncan ini dulu dipimpin oleh Anwar Ibrahim pada
dekade 70-an dan akhirnya berhasil menghapus perploncoan secara
gemilang.
Perploncoan sama seperti
halnya korupsi dan manipulasi, ia merupakan kanker berbahaya
dan cara yang paling efektif mengatasinya adalah dengan amputasi.
Sebuah langah pasti harus dilakukan dalam upaya menghapus
budaya perploncoan. Bukan saja karena kita tidak ingin lagi
mendengar berita duka dari ekses perploncoan di tahun depan
tetapi lebih dari itu, karena kita tidak ingin tekad reformasi
yang telah digalang dengan penuh pengorbanan, darah, dan air
mata menemui kegagalan hanya karena dikhianati oleh mahasiswa
primitif yang 'gagap perubahan'. []
(Tulisan
ini menjadi bahan dalam rangka penyiapan debat Tim Advokasi
dengan Panitia Ospek salah satu Fakultas di UNDIP pasca meninggalnya
seorang murid baru, September 2002)
|