Saturday, 10/05/03 8:26
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


IRONI REFORMASI :
BUDAYA PERPLONCOAN MAHASISWA

Oleh : Doni Riadi

Adalah hal yang wajar ketika reformasi yang digulirkan 1998 itu akhirnya menemui kegagalan, penyebabnya bukan dari faktor eksternal tapi justru dari internal sang arsitek reformasi sendiri, yaitu mahasiswa, yang inkonsistensi dan nirtauladan dalam pelaksanaan reformasi.

Ketika mahasiswa menginginkan pendekatan humanis dan mengkritik keras represifitas aparat dalam penanganan aksi-aksi unjuk rasa, namun pada saat yang bersamaan, justru ia menjadi pelaku tindak kekerasan -bahkan telah menjadi budaya-- yang sulit terdekonstruksi atau dengan kata lain telah menjadi kanker yang sulit diobati.

Ritual awal semester baru itu yang mestinya sudah tidak ada, masih banyak ditemui pasca 1998. Berita kekerasan fisik atau mental atau gabungan keduanya dari perploncoan mahasiswa senior kepada yuniornya masih menghiasi headline surat-surat kabar, karena efek yang ditimbulkannya masih mengusik nurani yaitu hilangnya nyawa manusia.

Secara legal formal, sebenarnya perploncoan sudah dihapuskan sejak masih bernama Mapram atau Mapras dengan SK Menteri P dan K No. 043 / 1971 yang melibatkan 23 instansi, dari Departemen P dan K hingga Bappenas. Mapram kemudian bermetamorfosis menjadi POS (Pekan Orientasi Studi) lalu berubah lagi menjadi OS (Orientasi Studi) dan terakhir menjadi Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus). Karena masih banyaknya korban yang jatuh, maka keluarlah Surat Edaran Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 1539/D/I/1999 yang dengan tegas melarang praktek perploncoan, dalam surat yang distempel pada 17 Juni 1999. Dan akhirnya sejarah Ospek berakhir dengan dikeluarkannya SK Dirjen Dikti No.38/Dikti/2000 pada bulan Maret yang menghapus Ospek dan menyerahkan prosesi pengenalan itu pada kampus yang bersangkutan dan memberi warning agar lebih menekankan pada kegiatan akademis.

Namun apalah arti sebuah selembar kertas SK jika tak dibarengi dengan political will dan semangat perubahan yang tinggi dari masyarakat kampus khususnya mahasiswa, terbukti hingga saat ini perploncoan itu masih terjadi juga. Faktor apa sebenarnya yang membuat perploncoan sangat sulit diberantas ?

Alasan Klasik
Minimal ada 4 alasan klasik yang selalu menjadi jawaban andalan ketika timbul pertanyaan yang mengkritisi perploncoan. Pertama, untuk menghapus jarak antara mahasiswa baru dan lama. Kedua, untuk meningkatkan solidaritas sesama mahasiswa baru. Ketiga, untuk membangun kekuatan mental dan keempat agar lebih siap dalam menghadapi tantangan zaman.

Asumsi-asumsi inilah yang menjadi pegangan dalam praktek perploncoan, walaupun sebenarnya belum pernah ada penelitian psikologi yang menelaah tingkat kebenaran apakah mahasiswa yang sudah melalui ospek versi teror mental dan fisik itu menjadi manusia yang lebih kuat mental dan lebih siap dengan tantangan zaman dibandingkan dengan mahasiswa yang sama sekali tak pernah mengalami proses dehumanisasi seperti itu.

Analisa yang mendalam justru malah memaparkan kerugian-kerugian dari kegiatan perploncoan -ospek, pekik atau apaun namanya- ini. Beberapa diantaranya adalah : pertama, tidak mendidik karena seringkali memerintahkan para mahasiswa baru untuk mengerjakan tugas yang tidak bermanfaat, tidak logis, melelahkan dan membuang waktu sia-sia.

Kedua, merendahkan martabat para mahasiswa baru sebagai sesama manusia yang layak dihormati dan dihargai. Ketiga, kental nuansa kekerasannya (violence), yang sebenarnya cukup untuk dimasukkan sebagai bentuk pelanggaran HAM atau crimes against humanity. Keempat, Ospek memupuk jiwa pengecut dan balas dendam baik kepada si pelaku maupun korban. Lembaga dan institusi menjadi tempat berlindung ketika telah mulai jatuh korban dan bagi korban, ia akan bernafsu untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang diterimanya pada angkatan berikutnya.

Kelima, nyata-nyata melanggar hukum, etika, ajaran agama manapun, dan mencoreng budaya Indonesia dengan mengkultuskan kekerasan dan penindasan. Keenam, melanggar kaidah hidup berdemokrasi karena para mahasiswa tidak diberikan kebebasan dalam banyak hal, seperti kebebasan bersuara, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan untuk menolak, dan kebebasan untuk menyanggah pernyataan.

Paradigma atau pola pikir merupakan faktor yang perlu didekonstruksi pertama kali dalam menghapus budaya perploncoan. Jikalau dicermati maka terdapat kesamaan titik berangkat (starting point) dalam setiap kegiatan perploncoan yaitu selalu berangkat dari sisi negatif (dark side). Untuk melatih solidaritas misalnya, maka mahasiswa baru diharuskan untuk rela mengunyah perment yang sebelumnya sudah lebih dulu dikunyah oleh rekan sebelahnya. Untuk membangun mental, mahasiswa baru harus mau mengenakan seragam atau aksesoris yang njelehi, dicukur gundul dan pasrah ketika dibentak-bentak secara massal oleh senior.

Bisa jadi target yang hendak diraih benar-benar tercapai, tapi bagaimana dengan eksesnya ? Justru ekses negatif inilah yang kemudian menjadi persoalan besar. Prof Soedjono dari UGM bahkan menyebutnya dengan 'psikosis perploncoan', kondisi dimana didapati gangguan jiwa ringan seperti rasa takut dan rasa curiga yang berlebihan pada mahasiswa baru.

Tawaran Alternatif
Ada metode yang lebih baik, yaitu berangkat dari sisi Godspot. Ary Ginanjar Agustian (dalam ESQ 2001) mengatakan bahwa selalu ada ruang yang dianugerahkan Sang Pencipta kepada manusia berupa alam berpikir jernih dan suci, hati dan pikiran yang bersifat merdeka serta bebas dari belenggu, yang disebut dengan Godspot atau fitrah. Ia tidak hanya mengasah intelektual tetapi juga kedewasaan emosional dan juga spiritual, hal yang tak dimiliki oleh jalan non-fitrah. Fitrah membimbing ke arah tindakan yang positif dan terbimbing suara hati. Ini sesuai dengan pendapat Jalaludin Rumi, Danah Zohar, Ian Marshal atau hasil riset para pakar SQ seperti Wolf Singer.

Maka, ketika orientasi pengenalan kampus, pola seperti Outbond Training atau Outting dapat menjadi alternatif pengganti perploncoan. Didalamnya ada materi Ice Breaker atau meateri lainnya yang menggunakan prinsip Godspot yang dapat memecah kebekuan antar mahasiswa baru menjadi kondisi yang sangat hangat, akrab dan tanpa jarak, dan yang terpenting tanpa ada pihak yang merasa dilecehkan. Untuk melatih daya kritis, dapat digunakan metode andragogi, dengan pelibatan langsung mahasiswa baru terhadap kondisi realitas sosial masyarakat. Misalnya, dengan penyebaran pamflet, poster dan selebaran tentang Anti Narkoba dan pesan moral lainnya di jalan-jalan, perkampungan, maupun perkantoran.

Atau dengan menggunakan metode pesantren, yang tentu aja tidak sekedar mendengar ceramah tetapi interaktif karena materinya yang memang banyak mengeksplorasi kemampuan para mahasiswa seperti materi potensi diri, thinking positive dan lain-lain. Luaran yang diharapkan adalah profil generasi penerus yang tidak hanya cerdas tetapi memiliki keseimbangan emosi dan perilaku yang sehat, modal yang harus dimiliki dalam rangka mendesain Indonesia masa depan.

Setelah memiliki landasan legal penghapusan perploncoan dan metode alternatif dalam orientasi pengenalan kampus maka tinggal satu faktor lagi yang perlu disiasati, yaitu faktor sumber daya manusia. Perlu ada sekelompok mahasiswa yang setekad dan seide serta mempunyai networking di kampus-kampus Indonesia untuk menentang kegiatan perploncoan dan menggantinya dengan metode yang lebih humanis.

Mereka inilah yang kemudian akan berjuang keras termasuk berhadapan dengan sesama mahasiswa yang primitif yang tetap mempertahankan perploncoan, baik berhadapan secara wacana, argumentatif, maupun advokatif bahkan memberikan perlindungan fisik. Di Malaysia sekelompok mahasiswa anti perploncan ini dulu dipimpin oleh Anwar Ibrahim pada dekade 70-an dan akhirnya berhasil menghapus perploncoan secara gemilang.

Perploncoan sama seperti halnya korupsi dan manipulasi, ia merupakan kanker berbahaya dan cara yang paling efektif mengatasinya adalah dengan amputasi. Sebuah langah pasti harus dilakukan dalam upaya menghapus budaya perploncoan. Bukan saja karena kita tidak ingin lagi mendengar berita duka dari ekses perploncoan di tahun depan tetapi lebih dari itu, karena kita tidak ingin tekad reformasi yang telah digalang dengan penuh pengorbanan, darah, dan air mata menemui kegagalan hanya karena dikhianati oleh mahasiswa primitif yang 'gagap perubahan'. []

(Tulisan ini menjadi bahan dalam rangka penyiapan debat Tim Advokasi dengan Panitia Ospek salah satu Fakultas di UNDIP pasca meninggalnya seorang murid baru, September 2002)

"Janganlah kamu bersedih hati, kecuali karena sesuatu yang akan mencelakakanmu esok di akhirat, dan jangnalah pula kamu bersenang hati keculai karena sesuatu yang akan menyenangkanmu di alam keabadian nanti."

(Abdullah bin Khubaiq, sufi)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1