DARI
PECINAN MENUJU 'PECI-NAN'
Oleh : Doni Riadi
Pengantar
Membangun persepsi kebangsaan adalah sebuah keniscayaan bagi
sebuah komunitas manusia yang memiliki kesamaan historis dan
heroisme perjuangan melawan kolonialisme. Persepsi kebangsaan
itu dibutuhkan tidak saja untuk melahirkan semangat perjuangan
tanpa mengenal rasa lelah. Akan tetapi juga untuk menjalankan
fungsi perekat sekaligus pemersatu kekuatan bangsa, yang di
dalamnya terkandung heterogenitas etnis, ras, agama dan kelas.
Penulis mendesain judul
Dari Pecinan Menuju 'Peci-nan' ini, dimaksudkan untuk membangun
sebuah persepsi positif bahwa etnis Tionghoa di Indonesia,
yang diwakili dengan kata Pecinan merupakan komponen bangsa
yang tak berhak untuk didiskriminasi karena mereka juga 'peci-nan'
. 'Peci-nan', yang dalam bahasa Indonesia berarti mengenakan
peci (songkok) adalah representasi dari kebudayaan rumpun
melayu. Peci telah ditetapkan menjadi busana nasional sehingga
tidak menjadi identik dengan identitas Islam. Itu berarti
bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari kesatuan integral
pluralistik bangsa dan menempati posisi yang ekuivalen dengan
etnis-etnis lainnya di Indonesia.
Akar Perlakuan Diskriminatif
Namun, hingga hari ini diskursus tentang perlakuan diskriminatif
terhadap etnis Tionghoa masih terus menjadi topik pembicaraan.
Seiring dengan impian kesamaan status dan hak warga negara
yang tak kunjung menjadi kenyataan.
Sejarah membuktikan bahwa sebelum kedatangan kolonialis dari
daratan Eropa, kondisi kehidupan beragama dan suku-suku bangsa
di Indonesia berlangsung harmonis (peaceful coexistence) dan
tanpa adanya prasangka sosial (social prejudice). Menurut
Benny G. Setiono (2002), jauh sebelum Cornelis Houtman datang
ke Banten pada 23 Juni 1596, harmonisasi antara etnis Tionghoa
dengan penduduk dan penguasa setempat telah tercipta dengan
baik.
Bahkan, kedatangan Laksamana
Ceng Ho (Sam Po Kong) di bandar Simongan Semarang pada 1410
dan 1416 dengan ribuan pasukannya, tidak dengan misi menginvansi
tetapi murni untuk berdagang, menjalin hubungan dengan Majapahit
dan sekaligus menyebarkan agama Islam. Terlebih, para walisongo
yang termashyur itu pun konon juga merupakan keturunan Tionghoa,
termasuk Raden Patah yang menjadi Sultan pertama kerajaan
Islam Demak.
Dalam kacamata Indonesianis Prof. Ben Anderson, harmonisasi
itu kemudian menjadi hancur ketika kolonial Belanda datang
dan menjalankan politik Devide and Rule di tanah jajahannya.
Salah satu sistemnya yang berlangsung lama dan berdampak besar
adalah penerapan Pass and Zoning System.
Menurut catatan Siaw Tiong
Djin (1998), sistem yang diterapkan dari 1863 hingga 1930-an
itu memaksa orang-orang Tionghoa untuk tinggal dan beraktivitas
di daerah yang hanya dihuni oleh golongannya saja (wijkenstelsel),
sehingga timbullah komunitas Pecinan atau China Town. Eksesnya
adalah terciptanya 'dinding pemisah yang tebal' antara orang
Tionghoa dengan mayoritas penduduk Indonesia.
Kondisi ini diperparah
dengan strategi ekonomi Belanda yang membenturkan kepentingan
pedagang-pedagang Tionghoa dengan pedagang mayoritas penduduk
(Islam), sehingga meletupkan konflik-konflik horizontal dan
membangun image ekonomi negatif. Begitu juga strategi militer,
dengan mempersenjatai orang-orang Tionghoa yang berkiblat
ke Belanda (aliran Chung Hwa Hui) sebagai kekuatan garis depan.
Mereka sering dibenturkan melawan perjuangan anti kolonial
rakyat, sehingga membentuk image orang Tionghoa antek penjajah.
Etnis Tionghoa kemudian
menerima stigma negatif baru, ketika ditengarai temasuk dalam
kubu komunis bersama Soekarno dan PKI. Tionghoa dinilai oleh
Soeharto harus ikut bertanggungjawab dalam tragedi Gerakan
30 September 1965. Kedekatan etnis Tionghoa dengan Soekarno,
membuat Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia),
sebagai media aspiratif etnis Tionghoa paling populer saat
itu harus menerima kenyataan dibubarkan. Padahal, tokoh-tokoh
Baperki yang dipimpin oleh Siaw Giok Tjhan pernah terlibat
aktif dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan dan era
sesudahnya.
Sehingga praktis, orang-orang
Tionghoa harus mengemban tiga stigma negatif berat sekaligus
: antek penjajah, penjahat ekonomi, dan komunis. Kondisi inilah
yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Soeharto sebagai
penguasa rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya.
Untuk mendapatkan dukungan publik, banyak peraturan dan Undang-Undang
yang bersifat rasialis dikeluarkan pada era ini. Kebijakan
rezim penguasa saat itu menimbulkan penderitaan yang berat
bagi etnis Tionghoa, termasuk berakibat pada matinya geliat
kesusastraan melayu Tionghoa.
Pada saat yang sama, Soeharto
juga 'memelihara' segelintir elit Tionghoa kaya, yang digunakan
sebagai kambinghitam jika kemudian rakyat menggugat ketidakadilan
dari kebijakan ekonomi sang penguasa. Hasilnya, frekuensi
kerusuhan rasial terbanyak tercatat di era Soeharto. Kondisi
ini tidak saja menciptakan sikap inferiority complex, tetapi
juga melahirkan perasaan kecewa, dendam dan sakit hati sebagian
etnis Tionghoa terhadap kaum 'bumiputera'.
Jalan Panjang Menuju 'Peci-nan'
Di Indonesia, ada dua mazhab (metode) besar dalam usaha menghilangkan
perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Yang pertama
adalah "Integrasi Wajar" yang digagas oleh Baperki
pada masa Soekarno dan kedua, adalah "Asimilasi Total"
yang dikonsep oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa)
pimpinan K. Sindhunata.
Eksperimentasi "Asimilasi
Total" resmi dimulai sejak Soeharto berkuasa hingga ia
mengakhiri rezimnya pada 1998. Selama lebih dari 30 tahun,
varians-varians "Asimilasi Total" banyak diterapkan
di Indonesia. Perubahan nama tiga suku kata khas Tionghoa
menjadi nama Indonesia, anjuran kawin lintas etnis, pindah
agama ke salah satu agama resmi pemerintah, dan pelarangan
penggunaan bahasa Tionghoa, adalah sebagian dari varians tersebut.
Filosofi dari kebijakan ini adalah menghilangkan identitas
dan segala hal yang berbau Cina/Tionghoa dari pribadi seseorang
agar dapat lekas berbaur atau berasimilasi dengan identitas
ke-Indonesiaan.
Sedangkan "Integrasi
Wajar" adalah antitesis dari konsep "Asimilasi Total".
"Integrasi Wajar" lebih menekankan pada aspek ideologis
pluralistik kebangsaan, dimana agama, etnis, ras, keturunan,
warna kulit, dan status sosial bukanlah menjadi faktor utama
penentu kewarganegaraan. Melainkan sejauh mana sikap patriotik,
rasa kepemilikan, perasaan senasib sepenanggungan, solidaritas
sosial, dan pengorbanan dalam mengabdi kepada bangsa. Sehingga,
ciri khas yang menjadi identitas etnis seperti ciri biologis,
bahasa dan budaya adalah sebuah anugerah dari Allah dan menjadi
hak asasi manusia yang tidak perlu dieliminasi.
Terlepas dari pro dan
kontra mana metode yang terbaik, kedua metode tersebut sama-sama
memiliki kebenaran yang bersifat nisbi. Terlalu banyak faktor
yang dapat mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku seorang
individu. Contohnya, apresiasi masyarakat yang diberikan kepada
Soeripto, seorang etnis Tionghoa muslim dan mantan Sekjen
Dephutbun, sama nilainya dengan apresiasi kepada Kwik Kian
Gie yang tetap seorang Budhis. Akan tetapi berbeda dengan
Bob Hasan walaupun ia telah mengubah namanya dan memeluk agama
Islam.
Sehingga substansi solusi
permasalahannya bukan pada persoalan memilih salah satu dari
metode tersebut, tetapi terletak pada bagaimana mengintegralkan
segenap upaya untuk mengeliminasi perlakuan diskriminatif
terhadap etnis Tionghoa menjadi suatu solusi yang bersifat
sistemik dan holistik (menyeluruh).
Unsur yang bertanggungjawab
dalam hal ini setidaknya tiga pihak, pertama adalah pemerintah,
kedua etnis Tionghoa sendiri, dan ketiga masyarakat mayoritas.
Ketiga-tiganya harus memberikan kontribusi positif sesuai
dengan relevansi bidangnya masing-masing.
Kontribusi yang bisa diberikan
pemerintah adalah : pertama, menciptakan sistem dan
hukum yang kondusif dengan mengeluarkan kebijakan yang bersifat
antirasialisme atau lebih tepat lagi antisinicisme, sekaligus
memonitoring pelaksanaanya di lapangan. Pasca reformasi, usaha
itu telah dimulai dengan dikeluarkannya Inpres No. 26/1998
pada tanggal 16 September 1998 yang ditujukan kepada seluruh
jajaran birokrasi agar menghapuskan istilah "pribumi"
dan "non pribumi". Juga Inpres No. 4/1999 yang menegaskan
Kepres No. 56/1996 tentang pencabutan pemberlakuan SBKRI (Surat
Bukti Kewarganegaraan RI) bagi etnis Tionghoa.
Kedua, memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memanfaatkan fasilitas
publik tanpa diskriminasi etnis, termasuk dalam usaha meniti
karir di birokrasi (PNS), polisi, militer, BUMN, dan kuliah
di Universitas Negeri, yang selama ini masih sulit ditembus
oleh etnis Tionghoa.
Ketiga, melakukan
pendidikan antirasial secara sistemik kepada masyarakat, misalnya
lewat sekolah-sekolah melalui revisi buku-buku sejarah. Revisi
dimaksudkan untuk memberi apresiasi lebih terhadap peran warga
Tionghoa dalam historis perjuangan merebut kemerdekaan, ataupun
melalui media lainnya seperti penerbitan karya intelektual,
pembuatan buku, dan apresiasi seni budaya.
Keempat, me-reformasi
sistem dan mentalitas aparat penegak hukum dan keadilan. Sikap
independen dan profesional, antisuap dan antikorup mutlak
dibutuhkan sehingga dapat melaksanakan tugasnya tanpa diintervensi
penguasa untuk mengeruk keuntungan dari etnis Tionghoa seperti
yang dialami pada masa Orde Baru.
Bagi masyarakat Tionghoa
sendiri, mereka dapat berpartisipasi dengan : pertama,
mempertegas jati dirinya sebagai bagian integral bangsa Indonesia
dengan 'membongkar' ekslusivitas 'The Great Wall', yaitu Pecinan
maupun komunitas sejenis. Pilihan terbaik adalah dengan bertempat
tinggal menyatu dengan masyarakat yang lintas kultural, etnis
dan agama. Sehingga, dengan demikian etnis Tionghoa dapat
setiap saat berinteraksi, terlibat, dan berpartisipasi, dalam
dinamika kehidupan bermasyarakat.
Kedua, berpartisipasi
dalam bidang politik dengan mengirimkan wakilnya duduk di
parlemen melalui mekanisme Pemilu yang jujur dan demokratis.
Keterwakilannya di parlemen selain untuk memperjuangkan kepentingan
etnis Tionghoa, juga untuk mengemban misi yang lebih mulia
yaitu mengabdikan diri berjuang demi kepentingan tanah air
dan bangsa. Keterwakilan ini dapat diraih, baik dengan bergabung
dengan partai lain maupun dengan membentuk partai sendiri.
Dalam hal ini, orang Tionghoa harus meninggalkan perdebatan
mengenai pencantuman kata Tionghoa sebagai nama partai. Karena
kelak, proses seleksi alami akan menampilkan partai dengan
metode terbaik yang akan dapat terus eksis berkiprah.
Ketiga, menjalankan
ekonomi etis. Keuntungan ekonomi yang diperoleh dari keunggulan
berbisnis etnis Tionghoa khususnya dalam bidang distribusi,
retail, dan service, hendaknya juga didedikasikan untuk kepentingan
sosial. Sebagian keuntungan yang diperoleh dapat disumbangkan
untuk pembangunan sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, pengembangan
jalan dan industri di pedesaan, dan kebutuhan sosial lainnya.
Setidaknya dari sini akan lahir persepsi baru bahwa etnis
Tionghoa memiliki sikap filantropis (dermawan) dan kepekaan
sosial yang tinggi. Apalagi jika kemudian, aktivitas perekonomiannya
dilakukan dengan cara yang sportif dan jujur, akan menambah
empati publik terhadap pengusaha Tionghoa.
Sedangkan masyarakat pada
umumnya, dapat memberikan sumbangsih dengan memberikan dua
jaminan, yaitu jaminan keamanan dan jaminan keimanan, bagi
etnis Tionghoa. Jaminan keamanan adalah kebutuhan mendasar
setiap manusia, sehingga masyarakat harus dapat menciptakan
kondisi aman di lingkungan pemukimannya.
Sedangkan yang dimaksud
jaminan keimanan adalah masyarakat hendaknya tidak melakukan
intimidasi keimanan (akidah) sebagai kompensasi dari usaha
pembauran. Dalam Islam, dikenal terminologi Laa ikraha fiddien
yang berarti tidak ada paksaan dalam agama. Sehingga, justru
akan lebih memberi arti jika seseorang meyakini nilai-nilai
Islam bukan karena paksaan tetapi karena 'menemukan' atau
karena merasakan keindahan-keindahan Islam lewat akhlak dan
perilaku pemeluknya sehari-hari.
Harapannya, setelah dianggap
'mengenakan peci', etnis Tionghoa otomatis akan memiliki ikatan
emosional terhadap kampung halaman dimana ia tinggal. Soekarno,
seperti yang dikutip H.L Runtu (1998) memberi ilustrasi dengan
sangat baik : "Tak peduli, apakah kau punya rahang
Batak atau mata sipit, asalkan dihatimu ada perasaan rindu
akan tanah air ini sebagai kampung halamanmu, dan perasaan
senasib
itulah kebangsaan
". []
(Tulisan
ini menjadi Pemenang III Lomba Menulis Artikel Tingkat Mahasiswa
Se-Jateng-DIY yang diselenggarakan oleh Sinology Center Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Maret 2003)
|