PENGUATAN
PARTISIPASI PUBLIK
DALAM PILKADA
Oleh : Doni Riadi
Dalam kacamata semangat
otda, pemilihan seorang kepala daerah (pilkada) tidak saja
merupakan kegiatan ritual eksklusif lima tahunan. Akan tetapi
juga menjadi cerminan potret kedewasaan berpolitik masyarakat
dalam lingkup wilayah yang bersangkutan.
Mekanisme dan atmosfer
yang tercipta dari pilkada tingkat propinsi merupakan representasi
utama dari pilkada tingkat kota /kabupaten bahkan juga desa,
RW dan RT di provinsi tersebut. Hal ini mengingat bahwa kultur
korupsi dan manipulasi birokrasi di Indonesia memang telah
sejak lama menjangkiti seluruh lapisan struktural birokrasi
dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi.
Itu artinya, jika pemilihan
seorang kepala desa dapat dilangsungkan tanpa adanya politik
uang (money politic) maka dalam pemilihan gubernur pun tidak
akan ada fenomena money politic, begitu juga sebaliknya. Hal
ini merupakan konsekuensi dari premis umum bahwa seorang pemimpin
adalah representasi atau mewakili karakteristik dari yang
dipimpin.
Namun sayangnya, nyaris
tidak ada pilkada di negeri ini yang menempatkan kandidat
dengan kejujuran 100 % tampil sebagai pemenang. Publik selalu
disuguhi fragmen negatif seputar pilkada yang membawa konsekuensi
lahirnya paradigma hipokrit bahwa orang harus memiliki kapital
yang banyak untuk menjadi kepala daerah karena besarnya cost
atau biaya yang diperlukan untuk membeli suara. Asumsi ini
diperkuat dengan realita di lapangan semisal terpilihnya kembali
Sutiyoso sebagai gubernur DKI. Padahal Sutiyoso adalah figur
yang sangat tidak populis dan tidak acceptable bagi publik
Jakarta selain ia diindikasi kuat melakukan penyuapan terhadap
anggota dewan.
Kasus Jakarta ini menjadi
bahan komparasi yang menarik bagi daerah lainnya yang juga
memiliki rencana 'hajatan' yang sama dalam waktu dekat, seperti
halnya Jawa Tengah. Normalnya adalah bahwa politik dagang
sapi di Jakarta tidak akan kita dapati lagi di komplek Gedung
Berlian.
Penguatan Partisipasi
Publik
Untuk mecegah hal tersebut terulang kembali, sehingga dapat
melahirkan sosok kepala daerah yang dapat dipercaya (kredibel),
maka kata kunci dalam pilkada adalah sociability berbentuk
penguatan partisipasi publik. Dari partisipasi publik ini
akan lahir derivat semacam keharusan adanya transparansi atau
mekanisme yang jujur, untuk mencegah praktek money politic
atau rent seeking (mencari keuntungan / aji mumpung).
Begitu pentingnya partisipasi
publik ini, hingga sebuah diskusi akademisi di Yogyakarta
pernah menyatakan bahwa kebijakan publik yang dibuat pemerintah
(eksekutif dan legislatif) tanpa melibatkan peran publik didalamnya
adalah sebuah kejahatan tersembunyi (hidden criminality).
Pada dasarnya, partisipasi
publik adalah salah satu implikasi nyata peran masyarakat
mewujudkan good governance dalam bingkai civil society. UNDP
merumuskan bahwa setidaknya ada tiga pihak yang berperan sebagai
pelaku dalam good governance yaitu negara atau pemerintah,
sektor private, dan civil society. Setiap pelaku tersebut
memiliki peran masing-masing demi terbentuknya good governance.
Secara umum pemerintah berperan untuk menciptakan lingkungan
politik dan hukum yang kondusif sedangkan sektor privat memiliki
peran untuk menggerakkan dunia usaha sehingga dapat memberikan
lapangan pekerjaan dan pendapatan. Sementara masyarakat sipil
berperan untuk memfasilitasi interaksi-interaksi sosial politik
dan memobilisasi kelompok-kelompok masyarakat untuk berpartisipasi
dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.
Dalam konteks pilkada
maka partisipasi publik paling optimum akan diraih melalui
mekanisme pemilihan langsung. Walaupun pemilihan langsung
ini juga memiliki kelemahan khususnya dalam menghadapi kultur
paternalistik bangsa yang kontraproduktif dengan ruh demokrasi.
Sayangnya, terjadi paradoksal antara semangat otda dengan
produk hukum otda. UU No.22/1999 yang mengatur otda secara
eksplisit telah menyatakan bahwa pemilihan gubernur tidak
dapat dilangsungkan dengan pemilihan langsung.
Dalam hal pemilihan kepala
daerah, pasal 34 sampai 39 secara eksplisit menegaskan bahwa
pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan
oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan (Pasal 34 ayat
1) dengan cara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal
40 ayat 1) yang dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang
dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD (Pasal
39 ayat 1). Dengan kata lain, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut
sudah jelas tidak memuat hal-hal yang berkaitan dengan pemilihan
gubernur secara langsung.
Konsekuensinya, publik
dihadapkan pada pilihan antara menuntut perevisian UU Otda
atau menyusun agenda dan strategi lainnya agar publik dapat
tetap berpartisipasi aktif dalam memilih kepala daerah. Alternatif
kedua ini nampaknya lebih realistis dilakukan, mengingat bahwa
merivisi UU Otda adalah kewenangan pusat dan membutuhkan energi
besar dan waktu yang tidak sedikit. Padahal paling lambat
Oktober 2003, rakyat Jateng diharapkan telah memiliki gubernur
untuk periode yang baru.
Partisipasi Semu
Pada dasarnya, partisipasi publik dalam pilkada juga telah
terbatasi secara legal formal dengan dikeluarkannya PP No.
151/2000 yang mengatur tahapan mekanisme pilkada. Dari 11
tahapan yang ada, publik hanya dapat dapat berperan pada 3
tahapan saja, yaitu saat menyusun tatib, penjaringan, dan
uji publik. Peran paling signifikan partisipasi publik adalah
pada tahapan penyusunan tatib. Penyusunan tatib ini akan dimulai
sekitar bulan februari atau awal maret oleh panitia pilkada
yang secara ex officio dipimpin oleh ketua DPRD.
Pada tahap ini, panitia
akan membuka kesempatan pada publik untuk menyampaikan aspirasinya
melaui public hearing, walaupun tetap saja kewenangan kebijakan
atau keputusan tetap berada di personal anggota dewan. Dengan
demikian, partisipasi masyarakat terasa semu, meminjam istilah
Gus Dur ini disebut seolah-olah partisipasi atau partisipasi
seolah-olah.
Pada tahap inilah, publik
harus dapat menekan dewan untuk menempatkan partisipasi publik
sebagai bagian dari elemen legitimasi suatu proses pilkada.
Dari hasil diskusi Penguatan Partisipasi Masyarakat dalam
Pilkada yang diselenggarakan FPMMS 15 Januari 2002 lalu, didapat
sebuah konklusi bahwa publik harus mendobrak partisipasi semu
yang ada. Dengan cara menawarkan premis-premis baru yang membuka
peluang publik untuk berpartisipasi lebih luas. Riilnya pertama,
publik dapat menuntut kepada dewan agar melaksanakan voting
secara terbuka bukan dengan tertutup seperti selama ini yang
dilakukan. Hal ini akan meminimalisasi peluang money politic
dan kebohongan publik para anggota dewan.
Kedua, kemudian publik
juga dapat membentuk tim independen dalam proses penjaringan
yang akan memverifiaksi calon gubernur. Publik dapat menuntut
agar fraksi-fraksi yang ada memberikan informasi seluasnya
mengenai cagub yang diusulkannya lewat media massa, lebih
dari sekedar memberi tahu Curriculum Vitae cagub dan daftar
kekayaannya secara tertutup.
Ketiga, uji publik dapat
menjadi blunder di kalangan masyarakat, karena adanya pembatasan
bahwa secara legal, bahwa LSM atau Ormas yang dapat melakukan
uji publik adalah mereka yang terdaftar di Pengadilan Tinggi
untuk pilkada provinsi dan di Pengadilan Negeri untuk pilkada
kota/kabupaten. Karenanya, publik dapat menuntut agar dewan
membuka semacam pos pengaduan. dan juga adanya mekanisme fit
and proper test. Dimana hak untuk ini berada di tangan publik
yang bisa saja diwakili oleh orang-orang yang berkompeten
didalamnya semisal para akademisi maupun praktisi.
Keempat, jika ternyata
cagub-cagub yang ada tak cukup menyuarakan aspirasi masyarakat,
maka publik dapat saja mengusulkan alternatif cagub versi
masyarakat yang dipandang memiliki karakter ideal cagub khususnya
dalam hal kejujuran untuk tidak melakukan KKN. Mekanismenya,
publik dapat membentuk tim khusus yang akan menyaring dan
membahas usulan-usulan nama dari masyarakat, dengan dimonitoring
oleh masyarakat juga agar tidak terjadi penyalahgunaan kepentingan.
Kelima, melakukan enlightenment
atau pencerahan massa grass root seputar hak-haknya dalam
pilkada dengan memperluas media informasi, seperti iklan layanan
masyarakat melalui poster, radio, TV, koran, pamflet atau
stiker.
Keenam, cara paling akhir adalah dengan melakukan aksi demonstrasi
jika ditengarai pilkada mengandung cacat hukum dan moral.
Aksi ini bisa ditindaklanjuti dengan aksi hukum, semisal memasukkan
pengaduan ke PTUN atau judicial review, seperti kasus DPRD
Klaten.
Publik sangat berkepentingan
dalam pilkada ini, karena publik sangat menginginkan profil
pemimpin yang yang dapat membawa masyarakat untuk bangkit
dari keterpurukan dan disharmoni sosial. Impian itu tidak
akan bisa tercapai dari pemimpin atau wakil rakyat yang melakukan
cara-cara curang atau politik dagang sapi untuk menjadi kepala
daerah. Masyarakat, khususnya Jateng, membutuhkan dan masih
menaruh harapan akan adanya pemimpin yang mengedepankan kejujuran,
teladan yang baik dalam kehidupannya sehari-hari dan peka
terhadap kondisi masyarakat lewat pilkada yang bersih. []
(Tulisan
ini menjadi Pemantik Diskusi Komunitas Wedangjae dengan Forum
Penguatan Masyarakat Madani (FPMS) menyambut Pemilihan Gubernur
Jateng 2003-2008 bebas Politik Uang, Januari 2003)
|