MULTIHARAPAN
DARI MULTIPARTAI
Oleh : Doni Riadi
Judul
yang dipilih penulis ini mungkin terasa ambigu. Di satu sisi
ia bisa mewakili harapan jujur dari warga negara yang masih
memiliki optimisme pulihnya keadaan, dan di sisi lainnya terdengar
seperti nada skeptis yang pesimis terhadap kontribusi partai
politik dalam penuntasan perubahan. Apalagi harapannya (paling
tidak menurut panitia lomba) adalah dua hal fundamental yang
menjadi syarat terciptanya Indonesia baru, yaitu pendewasaan
atau pendidikan politik rakyat dan perilaku good governance.
Jangan-jangan harapan itu nantinya tetap berupa harapan alias
tak dijumpai sebagai kenyataan. Tetapi yang jelas, kedua asumsi
saling kontradiktif inilah yang memang merupakan representasi
dari kondisi rakyat Indonesia saat ini.
Good
Governance & Pendidikan Politik
Pasca
Pemilu 1999, yang diikuti 48 kontestan setelah KPU menyisihkan
96 partai yang tidak lulus verifikasi, melahirkan banyak harapan
untuk dimulainya sebuah tatanan baru yang tak lagi kental
dengan budaya korup, kolutif dan nepotis. Akan tetapi, ternyata
hingga saat ini tatanan baru yang diharapkan tersebut nampaknya
masih sebatas wacana, belum menjadi visi sehari-sehari penyelenggaraan
negara.
Tatanan
baru itu ada yang menyebutnya good governance, termasuk variansnya yang disebut good
public governance ataupun good government. Secara
singkat UNDP mendefinisikan good governance sebagai
hubungan yang sinergis dan konstruktif antara negara, sektor
swasta dan masyarakat. Dan domain pemerintah memegang peranan
penting dalam mewujudkan good governance, secara khusus
pemerintah sangat berperan dalam memfasilitasi sektor swasta
dan masyarakat dalam rangka menciptakan kegiatan produktif
dan mendistribusikan pendapatan.
Dalam suasana keterbukaan dan kepastian hukum, elemen-elemen
good governance memainkan perannya masing-masing dengan
profesional. Negara berfungsi menciptakan lingkungan politik
dan hukum yang kondusif; sektor swasta menciptakan pekerjaan
dan pendapatan; dan masyarakat mewadahi interaksi sosial dan
politik, memobilitasi kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.
Pada
konteks partisipasi inilah, lahirnya partai-partai politik
dari rahim masyarakat, berapapun jumlahnya, sebenarnya merupakan
bentuk dukungan masyarakat dalam hal pendewasaan atau
pendidikan politik warga negara. Di lini ini pula,
mayarakat akan menyeleksi secara alami mana partai politik
yang berorientasi pada pelayanan dan mana yang berorientasi
pada kekuasaan
semata.
Pendidikan politik yang benar menjadi sebuah prasyarat yang
tak bisa ditawar dalam proses good governance. Pendidikan
politik akan mempengaruhi cara masyarakat dalam memandang
dan bersikap terhadap adanya perbedaan atau permasalahan-permasalahan
sosial politik yang ada. Masyarakat dalam good governance
menjadikan perbedaan sebagai hal yang konstruktif dalam pembangunan
sedangkan masyarakat
primitif menjadikan perbedaan sebagai permasalahan
berkepanjangan bahkan terkadang sebagai lawan , sehingga ia
menjadi salah satu faktor penyebab konflik horizontal.
Kontribusi
Multipartai
Pada
dasarnya, tugas pendidikan politik tidak cukup hanya dimainkan
oleh partai politik saja,
tetapi juga kontribusi dari kepemimpinan pemerintahan,
media massa, institusi pendidikan, dan lembaga-lembaga swadaya
masyarakat. Walaupun demikian, keberadaan partai-partai yang
menjadi manifestasi sosial politik masyarakat ini, merupakan
parameter utama untuk mengukur tingkat kedewasaan politik
masyarakat itu sendiri.
Diluar kelemahan multipartai, yaitu membingungkan voter
(pemilih) karena banyaknya kemiripan nama dan lambang, sesungguhnya
sistem multipartai memberikan banyak kelebihan. Selain
cocok dengan kultur politik bangsa,
adanya multipartai dapat saling berperan sebagai alat monitoring
sekaligus oposan (penyeimbang) antarpartai, menciptakan transparansi,
antitirani, dan menjadi saluran alternatif apabila ditemukan
penyalahgunaan kepercayaan masyarakat
pada partai-partai mayor.
Untuk dapat profesional dalam melaksanakan..tanggungjawabnya
memberikan pencerdasan politik masyarakat, partai-partai setidaknya
melakukan hal-hal berikut ini :
Pertama, mengembalikan pengertian
makna orisinil politik ke publik. Baik pemikiran politik barat
maupun pemikiran politik Islam,
keduanya memberikan pengertian bahwa politik adalah
investasi kepercayaan yang diberikan untuk mengatur perikehidupan
masyarakat
, sehingga politik adalah sebuah usaha luhur dalam rangka
mengurusi persoalan atau hajat hidup masyarakat
. Karenanya
politik lebih dari sekedar bagaimana caranya untuk menjadi
gubernur atau presiden, apalagi jika didalamnya sarat akan
kolusi, jegal-menjegal, dan money politics, karena
itu akan berakibat pada apatisme masyarakat terhadap politik.
Dengan usaha
sinergi multipartai untuk memberi pengertian makna luhur politik
kepada masyarakat, setidaknya masyarakat akan mengalami
pencerahan paradigma dalam memandang politik sehingga akan
meningkatkan peran partisipatif masyarakat sebagai konsekuensi
good governance.
Kedua, berperilaku politik yang
sehat, lebih dari sekedar visi misi, platform dan program
kerja yang memukau. Aktivis partai politik sebaiknya menghindari
perilaku politik murahan dengan menggunakan teror, kekerasan
dan ancaman terhadap rival politik, tidak melakukan money
politics dalam proses pengambilan kebijakan, dan melakukan kebohongan
publik untuk menutupi kejahatannya. Kasus-kasus seperti penculikan,
bentrokan, dan penyerbuan di Brebes dan Pemalang oleh aktivis
PDIP, suap di balik terpilihnya kembali Sutiyoso yang melibatkan
separo lebih anggota DPRD DKI Jakarta, atau kebohongan publik
yang dilakukan Akbar Tanjung dalam kasus Buloggate II, memberikan
pencitraan buruk terhadap politik dan menambah keyakinan publik
bahwa politik adalah aktivitas yang penuh dengan kekuasaan
dan keculasan. Aktivis partai seharusnya menampilkan
perilaku politik yang etis, jujur dan anti suap, berorientasi
pengabdian bukan kepentingan pribadi,
dan sportif mengakui jika melakukan kesalahan.
Ketiga, meningkatkan intelektualitas
SDM, khususnya caleg yang menjadi representasi partai,
termasuk kepekaan sosial, sense of crisis, dan kemampuan
administratifnya. Partai seharusnya mempersembahkan kader
terbaik untuk memainkan peran legislasi nantinya, agar dapat
memberikan kerja terbaik sebagai partner eksekutif dalam melayani
masyarakat. Caleg yang berkualitas ini dapat diperoleh dari
masyarakat yang lebih obyektif dan kritis dalam memilih partai
politik dengan memperhatikan sepenuhnya kualifikasi caleg
dari partai tersebut. Dengan stock terbaik ini nantinya
akan melahirkan hasil kerja yang baik pula, sehingga kita
tidak akan lagi menemukan kesenjangan intelektualitas antara
eksekutif dan legislatif dan masyarakat yang diwakili oleh
anggota legislatif ini tidak akan mudah untuk dimanipulatif
oleh penguasa.
Tugas multipartai yang cukup berat itu akan menjadi semakin
terbantu ketika kemudian terbentuk media pengawasan internal
masyarakat seperti legisatif or parliement watch untuk
memonitoring kinerja partai dalam lembaga legislatif, sehingga
meminimalisasi kesalahan.
Tantangan
Namun,
semua itu akan mendapat tantangan serius dari : 1)
kultur paternalistik bangsa Indonesia yang sulit untuk berubah
dalam memilih partai dan apatisme masyarakat terhadap politik
setelah penampilan partai-partai mayor yang mengecewakan pasca
Pemilu 1999, 2) adanya money politics menjelang
pemilu yang meluluhantakan konstruksi yang telah dibangun
sebelumnya dengan susah payah, apalagi menurut peneliti LIPI
Syamsuddin Haris RUU Pemilu belum memuat sanksi bagi yang
melakukan money politics, 3) etika politik yang
tak lagi diperhatikan sebagai aturan main dan hanya berpedoman
pada aspek hukum tanpa memeperhatikan aspek moral, dan 4)
konsep desentralisasi atau otonomi daerah yang belum seratus
persen kelar dipahami oleh masyarakat.
Sebagai action pertama, untuk membuktikan bahwa sebuah
partai layak untuk menjadi investasi kepercayaan masyarakat,
maka setidaknya partai harus lolos dulu dalam verifikasi yang
dilakukan oleh KPU untuk berhak ikut Pemilu. Dengan draft
RUU Pemilu 2004 yang meningkatkan tingkat kesulitan partai
untuk ikut Pemilu, maka dari 204 partai yang saat ini terdaftar di Depkeh dan HAM,
mungkin hanya 10-15 partai saja yang benar-benar memenuhi
persyaratan untuk ikut Pemilu.
Apabila Electoral Treshold (ET) 2 % ditetapkan sebagai
syarat, maka partai
yang layak Pemilu diantaranya adalah 6 kontestan Pemilu 1999
yaitu PDIP,
Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. PK, yang berada diambang limit
tentunya akan mengikuti Pemilu 2004 dengan sportif menggunakan
nama baru sebagai konsekuensi rule of the game. Walaupun
menurut Eep Saefullah Fatah dan pengamat lainnya, PK adalah
penjelmaan idealisme partai masa depan,
tak lantas menjadikannya ‘spesial’ untuk diberikan hak khusus
perlakuan dari tim verifikasi. Sedangkan sisanya, akan diisi
oleh gabungan dari beberapa partai-partai minor baik partai
lama maupun baru.
Akan tetapi, walaupun sebuah partai tidak dapat mengikuti
Pemilu karena hambatan konsesus dan adminstrasi, idealisme
dan kontribusi pendidikan politik partai tersebut harusnya
tetap dapat dijumpai di masyarakat dan tidak ikut menjadi
mati. Karena jika tidak, maka akan terlihat dengan jelas bahwa
motivasi pembentukan partai tersebut adalah untuk sekedar
menjadi penampung dana pemerintah dan bukan sebagai media
pelayanan atau pengabdian kepada masyarakat
--------------------------
(Tulisan
ini memenangkan Lomba Karya Tulis Tingkat Mahasiswa Se-Semarang
yang
diselenggarakan oleh Surat Kabar Nahasiswa 'AMANAT' IAIN Walisongo,
Oktober 2002)
|