KONTES
MISS WORLD DAN
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Oleh : Doni Riadi
Pernyataan menarik dilontarkan
Azra Akin sesaat setelah menjadi Miss world 2002 di London
(8/12), bahwa ia bahagia dan merasa terhormat dengan gelar
yang disandangnya dan ia berharap dapat mewakili kaum perempuan
dunia untuk melakukan banyak kebaikan. Sebuah pertanyaan kritis
segera saja terlontar, betulkah Kontes Miss World merupakan
bentuk dari pemberdayaan perempuan ?
Dengan menyisakan sekitar
175 orang tewas di Nigeria, Kontes Miss World 2002 ini mendapat
kritikan pedas yang bertubi-tubi. Reuter (25/11) sempat mengabadikan
kecaman dari para feminis internasional semisal Glenda Jackson
dari UK yang menuntut pembatalan kontes tersebut. Novelis
Kathy Lette menganalogikan kontes itu "seperti kargo
bermuatan sampah nuklir yang dijauhi oleh semua orang"
dan Muriel Gray yang menyindir dengan mengatakan para kontestan
mengenakan fashion terbaru yaitu 'bloody bikini' atau bikini
yang bersimbah darah.
Jika kita menilik sisi
historis kultural masyarakat Nigeria, maka kerusuhan bernuasa
ideologis itu menjadi dapat dimengerti. Kontes kecantikan
an sich itu tidak saja mengusik kaum muda namun juga dinilai
merendahkan nilai perjuangan kaum perempuan Nigeria.
Menurut Edith Nkwazema,
seorang wartawati Nigeria yang tulisannya dimuat di dalam
Handbook for Third World Journalist Albert L Hester (1997),
perjuangan perempuan Nigeria memang telah dimulai sejak zaman
kolonial. Sebut saja seperti Ratu Amina dari Zaria, Fumilayo
Olukoye Ransome-Kuti, juga perempuan Aba di Nigeria Timur
yang berdemonstrasi pada 1929 karena menolak membayar pajak
kepada rezim kolonial, dan di Opobo dimana 50 orang perempuan
ditembak mati karena berkonfrontasi fisik dengan tentara kolonial.
Sehingga semangat para pendahulu mereka itu tentu saja masih
membekas pada perempuan Nigeria sekarang yang diaktualisasikan
dalam bentuk suara-suara kritis terhadap keadaan, walaupun
terkadang mereka juga menghadapi lawan sesama perempuan.
Indonesia pun pada dasarnya
juga memiliki sejarah perjuangan kaum perempuan. Tidak hanya
terlibat secara non fisik, banyak sejarah perjuangan fisik
melawan imperialis juga diisi oleh kaum perempuan. Yang legendaris
diantaranya adalah Cut Nya' Dien dan Cut Meutia dari Aceh,
Nyi ageng Serang di Banten, dan Martha kristina di Maluku
hingga perempuan seperti RA. Kartini yang memberikan inspirasi
ideologis kaum pergerakan perempuan Indonesia kekinian.
Sehingga, apa yang terjadi
di Nigeria mestinya melahirkan banyak pemikiran bagi perempuan
Indonesia dan negara lainnya, berkaitan dengan kebijakan terhadap
bentuk-bentuk aktivitas yang dapat membawa perempuan kembali
diperlakukan seperti di zaman batu.
Esensi permasalahannya,
sebenarnya bukan terletak pada siapa yang bersalah pada kerusuhan,
karena itu hanyalah sebuah kausa dari hukum sebab akibat.
Tetapi pokok permasalahannya terletak pada kontes Miss World
2002 itu sendiri.
Naluri untuk selalu tampil
cantik adalah fitrah bagi seorang perempuan, bahkan dunia
pun mengakuinya. Dalam Islam contohnya, terdapat terminologi
populer bahwa perempuan adalah perhiasan (keindahan) dan perhiasan
yang paling indah itu adalah perempuan yang sholehah. Namun,
dorongan untuk melakukan komparasi kecantikan antarperempuan
yang diformalkan, seperti kontes kecantikan, itu bukanlah
sebuah fitrah. Artinya, jika tetap nekad diselenggarakan maka
manusia akan menanggung konsekuensinya berupa fenomena disharmoni
sosial atau keguncangan sosial, seperti yang terjadi di Nigeria
maupun dampak lainnya yang bersifat laten.
Menghapus Kontes Miss
World ?
Beberapa pemikiran berikut setidaknya menguatkan alasan bahwa
Miss World bersifat kontraproduktif terhadap usaha pemberdayaan
perempuan.
Pertama, pada dasarnya Miss world adalah icon pelecehan perempuan
paling utama, namun tidak semua perempuan menyadari hal ini
bahkan terkadang perempuanlah yang menjadi penggagas utamanya,
seperti Julian Morley yang menjadi ketua panitia Miss World
2002 atau Azra Akin yang merasa dirinya menjadi perempuan
terhormat. Sejak proses seleksi hingga nominasi finalis, parameter
kecantikan yang digunakan adalah dominan kecantikan badani,
kalaupun ada embel-embel juga mengukur tingkat kecerdasan
dan pengetahuan, itu hanyalah komplemen dan lips service belaka
yang didesain untuk meraih dukungan publik.
Kenyataan tidak mengatakan
demikian, ada saat-saat dimana para kontestan harus mempublikasikan
tubuh 'wilayah privasinya' kepada publik dan bahkan faktor
inilah yang menjadi alasan kemenangan. Dalam konteks pemuliaan
perempuan, hal ini sangatlah kontradiktif. Semakin perempuan
banyak menggunakan kecantikan badani sebagai kekuatan andalan,
maka semakin ia menjadi budak zaman dan semakin jauh ia mencapai
derajat persamaan hak dengan laki-laki.
Kedua, rentan dengan tindakan
kekerasan. Komparasi kecantikan antar perempuan tidak saja
melahirkan kekerasan diantara sesama peremuan, tetapi juga
bagi perempuan itu sendiri yang diterimanya dari dunia di
sekelilingnya dan bagi lingkungan yang disebabkan oleh perempuan.
Menurut Pierre Bourdieu yang dikutip Triyono Lukmantoro (Wawasan,
26/11), terkadang kekerasan yang timbul tidaklah berupa kebrutalan
fisik, tetapi kekerasan simbolik (symbolic violence) yaitu
kekerasan dalam bentuk kelembutan (soft) yang menyangkut kehormatan
(honor) dan gengsi (prestige) seorang perempuan.
Termasuk dalam tindakan
kekerasan ini adalah pemaksaan suatu rezim untuk melucuti
pakaian perempuan yang telah menjadi konsesi ke perspektif
pakaian a la rezim tersebut yang dilegitimasi alasan kemajuan
(progress) dan rasio. Fenomena ini didapati pada masa Kemal
Atatturk, yang mengatakan bahwa jilbab adalah kebudayaan barbar
dan tak beradab.
Ketiga, bentuk prostitusi
perempuan terhadap dunia industri. Salah satu dampak revolusi
industri adalah terlibatnya kaum perempuan dalam pergulatan
industrial dengan menyekunderkan peran luhur domestiknya di
keluarga. Pada awalnya menurut Braun (1901) yang dikutip Bryan
S. Turner (2000) dalam Modernitas dan Postmodernitas, kondisi
ini adalah kondisi keterpaksaan mengingat banyak para istri
kehilangan suami akibat perang dan revolusi pada paruh kedua
abad 18, sedangkan tuntutan untuk menghidupi keluarga menjadi
keniscayaan. Namun lama kelamaan, perempuan benar-benar terlibat
penuh dalam dunia industri dengan segala macam ketidakadilan
yang diterimanya akibat kesenjangan akhlak dan peradaban laki-laki
terhadap perempuan.
Hingga saat ini, teriakan
untuk persamaan hak perempuan dalam dunia indsutri terus dikumandangkan,
tanpa disadari bahwa semakin ia larut dalam industrial baik
sebagai subyek maupun obyek maka semakin ia kehilangan kesucian
jati diri atau fitrahnya sebagai perempuan yang berperan dalam
menjaga keutamaan fungsi klasik keluarga.
Dalam konteks pemilihan
Ratu Sedunia, jelas perempuan menjadi obyek dan tidak memiliki
banyak pilihan untuk memuliakan dirinya selain rasa kepuasan
diri dengan terpaksa menuruti aturan main dari korporasi yang
profit oriented. Kita dapat belajar banyak dari kasus Oxana
'Miss Universe 2002' Fedorova, yang ditarik kembali gelar
dan mahkotanya hanya karena ia gigih mencintai perannya sebagai
seorang istri dan ibu, status bagi panitia kontes yang dianggap
tabu bagi seseorang yang dianggap tercantik di dunia. Kondisi
inilah yang oleh Dierde Silverman (1981) disebut sebagai 'paradigma
prostitusi' yaitu sistem sosial dimana laki-laki -yang empunya
kekuasaan organisatoris- bersedia menawarkan uang, komoditi,
order, dan pekerjaan, sepanjang perempuan bersedia merelakan
kehormatannya.
Revolusi Paradigma
Untuk dapat melakukan suatu perubahan sosial, dibutuhkan kerja
tandem yang baik antara laki-laki dan perempuan. Kontes Miss
World dan sejenisnya tidak akan hilang hanya dengan melarang
kaum perempuan untuk menjadi kontestan atau membubarkan korporasi
yang mewadahinya, karena itu hanya akan bersifat temporer.
Revolusi paradigma adalah
hal yang tak terelakkan untuk dilalui pertama kali. Perempuan
mestinya menyadari bahwa pemberdayaan perempuan berbeda artinya
dengan (maaf) prostitusi. Pemberdayaan tidaklah bisa lepas
dari etika dan agama agar ia tetap terjaga dengan fitrahnya.
Asumsi menyanjung tinggi kebebasan mutlak yang dibungkus dengan
tuntutan kesetaraan dan kesamaa hak, justru dapat menjadikannya
'buih' dan sarat akan penindasan. Bagi laki-laki pun, ia harus
merevolusi kebiasaannya menjadikan perempuan sebagai alat
kepentingannya, akan tetapi yang lebih mulia adalah menyediakan
ruang yang luas agar perempuan dapat mendedikasikan dirinya
bagi peradaban tanpa harus kehilangan fitrahnya sebagai perempuan.
Menurut Al Maududi, perempuan
dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama dalam menjalankan
peran 'makro' yaitu menciptakan peradaban akan tetapi masing-masing
pihak juga memiliki peran 'mikro' yang berbeda berdasarkan
perbedaan struktur akal, jiwa, dan fisiknya.
Sehingga tugas manusia,
meminjam istilah Ratna Megawangi, bukanlah menggugat perbedaan
yang diberikan oleh Allah itu sebagi sebuah ketidakadilan
tetapi berpikir bagaimana caranya agar perbedaan yang ada
melahirkan sebuah tatanan peradaban universal yang harmoni.[]
(Tulisan
ini menjadi pemantik diskusi internal Kajian Strategis (Kastrat)
KAMMI Daerah Semarang, Desember 2002)
|