NASIB
KAUM MISKIN KOTA PASCARAMADHAN
Oleh : Doni Riadi
Masih hangat dalam ingatan,
di bulan Ramadhan kemarin, banyak organisasi dan lembaga bahkan
artis tiba-tiba berubah menjadi sosok yang dermawan dengan
'melibatkan' kaum fakir (miskin) dalam berbagai acara yang
dikemas baik berupa buka puasa bersama maupun kunjungan ke
yayasan dan panti sosial. Semakin mendekati lebaran, masyarakat
pun disuguhi fenomena melonjaknya jumlah anak di bawah umur
mencari nafkah dengan mengamen di bus kota, lampu merah maupun
persimpangan jalan. Para peminta-minta juga banyak menghiasi
tempat ibadah, pusat keramaian dan di sudut-sudut kota lainnya,
termasuk para pemohon sumbangan atas nama yayasan yang dilakukan
door to door di komplek-komplek perumahan.
Terlepas dari keyakinan
akan tingginya nilai kemuliaan bulan Ramadhan sehingga memotivasi
orang untuk berlomba-lomba beramal, sesungguhnya masyarakat
kota dihadapkan pada sebuah realita bahwa kemiskinan di sekitar
lingkungannya telah sedemikian kronis. Sehingga konsekuensi
logisnya, masyarakat kota akan turut menerima dampak dari
ekses kemiskinan itu, baik dampak psikologikal maupun material,
jika tidak memberikan respon dan kepedulian serius.
Menurut PBB, yang mencanangkan
tahun 1997-2006 sebagai dasawarsa pertama program pengentasan
kemiskinan, dari 6 milyar penduduk bumi sekitar 1,2 milyar
berpenghasilan kurang dari satu dolar setiap harinya, atau
dengan kata lain hidup dalam kemiskinan absolut. Sedangkan
2,8 milyar orang memiliki penghasilan kurang dari 2 dolar
perhari. Artinya, sekitar 4 milyar penduduk bumi hidup dalam
kemiskinan.
Indonesia, menurut Bank
Dunia (2001) 'menyumbang' sekitar 40 juta rakyat miskin atau
10-20 persen dari keseluruhan jumlah penduduknya. Dan potret
kaum miskin kota dalam bentuk pemukiman kumuh, premanisme,
anak jalanan, pekerja anak, pengemis, dan tuna wisma adalah
parameter sosial paling mudah dalam mengukur keberhasilan
usaha pengentasan kemiskinan sekaligus sebagai alat ukur keseimbangan
pembangunan wilayah.
Beragam Paradigma Menyikapi Kemiskinan
Pelbagai metode pendekatan dalam pengentasan kemiskinan sebenarnya
telah banyak dilakukan tidak saja oleh pemerintah tetapi juga
dari masyarakat sendiri melalui beragam aktifitas dari pola
rumah singgah, pendampingan, hingga tindakan represif aparat
seperti razia kaum miskin kota. Namun, nampaknya eksperimentasi
tersebut belum menampakkan hasil yang cukup signifikan untuk
mengentaskan kemiskinan.
Beragam pendekatan memang
menjadi keniscayaan dalam program pengentasan kemiskinan,
atau dengan kata lain kita memang harus 'mengepung' kemiskinan
dari semua lini. Akan tetapi, paradigma yang digunakan sebagai
dasar pendekatan itu sebenarnya merupakan paradigma klasik
yang dapat kita jadikan sebagai sebuah pelajaran yang berharga
agar tak menuai kegagalan yang sama di kemudian hari.
Dr. Yusuf Qordhowi (1996)
menganalisis setidaknya ada 5 paradigma besar yang memberikan
hasil kontraproduktif dalam pengentasan kemiskinan. Pertama,
pemikiran bahwa kemiskinan adalah hal yang suci. Sehingga
baginya, kemiskinan bukanlah suatu keburukan yang perlu diatasi
dan problem yang harus dipecahkan. Kemiskinan bagi penganut
pemikiran ini adalah karunia Allah kepada hamba-Nya karena
akan semakin mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta, suatu
hal yang sulit didapatkan jika dirinya bergelimang dengan
harta. Pemikiran ini menafikan fakta bahwa tidak ada halangan
bagi orang kaya untuk menjadi shalih dan dekat dengan Allah.
Demikian juga tidak ada alasan bagi orang miskin untuk tidak
mendekat kepada Allah karena kemiskinannya. Pemikiran ini
tidak saja populis di kalangan penganut animisme namun juga
di sebagian penganut agama samawi (langit) khususnya yang
menjalani prosesi kerahiban dan sufi.
Kedua, pemikiran fatalis,
yang memandang kemiskinan sebagai suatu bencana atau ujian
dan merupakan takdir dari Allah sepanjang masa yang tidak
dapat diganggu gugat, sehingga kontribusi pemikiran ini dalam
menghadapi kemiskinan adalah sebatas seruan atau himbauan
agar kaum miskin sabar dan rela atas takdir kemiskinan yang
dideritanya.
Ketiga, pemikiran yang
mengandalkan kebajikan individu. Tidak ada batasan dan mekanisme
yang jelas dalam membantu orang miskin dalam pemikiran ini.
Sehingga, kaum miskin tidak mempunyai hak dan bagian yang
pasti ukurannya selain berharap kepada apa-apa yang didermakan
oleh orang-orang saleh dan baik hati atau dengan kata lain
kaum miskin tergantung pada kesukarelaan dan kebajikan individu-individu.
Keempat, pemikiran kapitalisme,
yang berpendapat bahwa kaum miskin bertangungjawab atas kemiskinannya
sendiri dan tidak lantas menjadi beban negara atau orang kaya
karena setiap orang memiliki kebebasan mempergunakan hartanya
yang didapat dari usaha dan kerja keras masing-masing. Varians
dari pemikiran ini adalah adanya jaminan sosial dimana pemerintah
an sich yang memberi bantuan kepada kaum miskin yang biayanya
diambil dari Anggaran Belanja Negara.
Kelima, pemikiran sosialisme
Marxis, yang berpendapat bahwa kemiskinan tidak akan pernah
lenyap selama kapitalis dan sumber penghasilannya belum dimiliki
oleh kaum miskin atau proletar melalui perjuangan kelas. Konsekuensinya,
pemikiran ini menolak prinsip kepemilikan individu khususnya
aset yang bersifat produktif dan memiliki pengaruh luas terhadap
publik.
Penanganan Terpadu
Berkaca pada paradigma kontraproduktif diatas, maka akan sangat
disayangkan jika pada pascaramadhan, kedermawanan individu
itu kemudian lenyap tak berbekas tergantikan kembali oleh
sifat acuh tak acuh terhadap kaum miskin. Justru, di bulan
Syawal yang notabene-nya berarti bulan peningkatan, maka sikap
kepedulian terhadap kaum miskin seharusnya juga mengalami
peningkatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Artinya,
penyantunan yang diberikan tidak hanya sebatas sedekah temporer
dan sukarela seikhlasnya tetapi santunan yang sistemik, terukur,
dan terorganisasi, sehingga tidak hanya memberikan kepuasan
sementara tetapi juga menjadi jaminan bahwa santunan yang
diberikan akan mengangkat kaum miskin dari kemiskinannya melalui
rancangan program-program pengentasan .
Sebuah pengentasan kemiskinan
yang dilaksanakan secara terpadu dapat memberikan hasil lebih
signifikan. Keterpaduan itu meliputi SDM dan lembaga pelaksana
yang mensinergikan antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat
dan kaum miskin kota itu sendiri. Juga meliputi strategi dan
mekanisme pengentasan, yang termasuk didalamnya analisis berbagai
perspektif tentang akar kemiskinan, klasifikasi kaum miskin
dan karakteristik penanganan berdasarkan klasifikasi tersebut.
Pengalaman empirik membuktikan
bahwa bekerja adalah solusi yang paling jitu dalam mengurangi
angka kemiskinan. Namun ada hambatan klasik untuk dapat bekerja,
karena dalam Teori Pembangunan Neo-Klasik menurut Nugroho
SBM (2002) kemiskinan juga lahir karena kurangnya modal dan
keterampilan kerja. Sehingga dalam hal ini, sebuah pemerintah
kota seharunya tidak usah ragu-ragu untuk membentuk satuan
khusus yang bertugas untuk mengentaskan kemiskinan dan memberikan
pos dana besar dalam APBD-nya untuk memfasilitasi kaum miskin
dalam merintis enterpreunership-nya, dengan mengucurkan bantuan
modal dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan atau dengan
menggandeng sektor swasta dalam memberi peluang kaum miskin
kota bekerja. Sedangkan pengawasan dan pendampingan dapat
dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya
masyarakat.
Dana santunan tersebut,
dapat juga diperoleh dari lembaga yang dipercaya dalam mengumpulkan
dana dari masyarakat. Setelah DPR-RI mengesahkan Undang-Undang
yang mengatur tentang Zakat Nasional, maka pemerintah telah
memberi lisensi dan rekomendasi kepada organisasi pengelola
zakat yang dipandang memiliki kredibilitas dan profesional
dalam mengelola dana masyarakat yang didedikasikan kepada
kaum miskin tanpa memandang suku, agama, rasa dan golongan.
Lembaga tersebut diantaranya adalah Dompet Dhuafa, BAZNAS,
PKPU, YDSF, DSUQ, BMM, LAZIS, BAZIS, dan MER-C. Dukungan juga
diperoleh dari dompet-dompet kepedulian yang digalang oleh
media massa, organisasi nirlaba dan yayasan-yayasan sosial
lokal serta LSM yang mengkhususkan diri pada pendampingan
kaum miskin kota, seperti anak jalanan.
Apabila pemerintah dan
masyarakat kota telah menunjukan kerja optimal dan bersungguh-sungguh
dalam menjalankan kewajibannya mengentaskan kemiskinan secara
humanis, namun geliat kaum miskin kota tetap nampak dominan
di jalan-jalan dan penjuru kota, barulah dipilih pendekatan-pendekatan
yang kurang humanis.
Sebagai pembanding, pemerintah
New Delhi di India memasang kamera di perempatan lampu merah,
untuk memantau para pengendara yang memberi tip kepada pengemis.
Mereka yang ketahuan memberi akan dikenai hukuman kurungan
beberapa hari. Shock terapy ini didesain untuk menciptakan
lingkungan yang tidak kondusif bagi kaum miskin kota untuk
tidak mencari nafkah dengan meminta-minta, khususnya di jalan-jalan.
Namun sekali lagi, jika pemerintah dan masyarakat kota belum
menunjukkan political will yang baik dalam mengentaskan kemiskinan,
maka kaum miskin kota sama sekali tidak berhak untuk dikenai
tindakan-tindakan non humanis, dari siapapun datangnya.[]
(Tulisan
versi edited dimuat di Buletin 'Mutiara Keadilan Semarang
Edisi Desember 2002)
|