Thursday, 8/05/03 20:02
In The Name of Allah The Most Gracious The Most Merciful
 


ISLAM MEMANG BUKAN
MONUMEN SEJARAH
(Kritik Untuk Ulil Abshar Abdalla)
Oleh : Imam Mardjuki

SAYA termasuk pembaca setia tulisan-tulisan Ulil Abshar-Abdalla. Saya menyukai tulisannya karena memang enak dibaca dan perlu. Enak dibaca, karena sistematis, intelek, segar dan mudah dipahami. Perlu, karena membuka cakrawala berpikir dan selalu menawarkan pemikiran "lain" yang baru di tengah keberagaman pemikiran keislaman di Indonesia.

Namun, saya sering menjumpai kesalahan-kesalahan yang sering diulang-ulang Ulil dalam tulisan-tulisannya. Kesalahan-kesalahan itu juga terulang lagi dalam tulisan Ulil di Harian Kompas (Senin, 18/11/2002) berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Dalam tulisan inilah saya ingin memberikan tanggapan sekaligus masukan kepada Ulil apa saja kesalahan itu, dengan mengambil contoh pada tulisannya tadi.

Kesalahan pertama Ulil adalah apriori dan menggeneralisasi kelompok revivalis Islam. Kelompok inilah yang selama ini menjadi sasaran kritik Ulil. Yang dia maksud sebagai pihak yang cenderung "me-monumen-kan" Islam --seperti terungkap dalam tulisan-tulisan Ulil selama ini-- tak lain adalah kaum revivalis, termasuk di dalamnya kelompok Islam garis keras. Dalam banyak tulisannya, Ulil secara apriori menilai kelompok yang bermaksud merujukkan kembali (revival) ajaran Islam kepada ajaran asli generasi pertama Islam itu sebagai orang-orang kolot yang antiperubahan. Kelompok revivalis dinilai Ulil tidak welcome terhadap modernitas dan perkembangan zaman.

Sampai-sampai, Ulil cs merasa perlu membangun Jaringan Islam Liberal (JIL) yang sengaja didedikasikan untuk menandingi pemikiran kelompok revivalis Islam. JIL secara positif diklaim Ulil cs sebagai bagian kelompok Islam subtantif, Islam kontekstual, Islam modernis, Islam kultural atau Islam moderat. Sebaliknya memandang miring kaum revivalis sebagai kelompok Islam formal, Islam tekstual-skriptualis, Islam tradisional, Islam politik atau Islam ekstrem-fundamentalis.

Padahal tidak demikian. Semangat kembali kepada ajaran salaf (generasi Islam terdahulu) yang diusung kelompok revivalis sama sekali tak menafikan perkembangan zaman di zaman khalaf (mutakhir). Revivalisme itu lahir dari semangat ingin mengambil ajaran Islam secara murni dengan merujuk langsung kepada otentitas dan orisinalitas Islam generasi pertama. Kemudian merealisasikannya di era modern dengan tetap mempertimbangkan aspek realitas, prioritas dan perkembangan zaman. Ulama kontemporer Syeikh Yusuf Qardhawi yang juga termasuk kelompok revivalis Islam, menyebut aspek-aspek itu sebagai fiqhul waqi'i, (pemahaman atas realitas), fiqhul aulawiyat (pemahaman atas prioritas kebutuhan) dan fiqhul muwazanat (pemahaman atas perkembangan zaman kontemporer) yang mutlak harus diperhatikan dalam penerapan ajaran Islam di era modern.

Banyak kelompok revivalis yang justru memandang Islam secara komprehensif. Mereka tidak mempertentangkan antara Islam formal atau Islam subtantif, Islam tekstual atau kontekstual, Islam tradisional atau modern, Islam politik atau kultural, Islam fundamentalis atau moderat. Bahkan mereka memandang semuanya itu sebagai satu kesatuan tak terpisahkan dan tidak semestinya dikotak-kotakkan.

Jadi tak benar, kelompok revivalis menganggap ajaran Islam sebagai dogma beku yang pantang menerima perubahan. Sebab Islam yang demikian memang berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri. Sebab ajaran Islam --sebagaimana juga diyakini kelompok revivalis-- selain memiliki ajaran yang tsabat (tetap) juga ajaran yang murunah (bisa berubah/fleksibel). Islam memiliki nilai-nilai kebenaran fundamental dan universal, sekaligus mengakui kebenaran yang lahir dari ekspresi budaya lokal partikular.

Kelompok revivalis juga memandang Islam sebagai "organisme" yang hidup, seperti mereka mendambakan iman di hati mereka hidup, yang selalu tergerak menegakkan kebenaran dan tak bisa tinggal diam menyaksikan kebatilan hadir tanpa perlawanan.

Kalau toh ada kesan kelompok revivalis itu melawan atau anti-Barat, maka itu tak lebih merupakan dampak psiko-sosiokultural. Akibat kuatnya dominasi sekularisme Barat terhadap dunia Islam, maka semangat keagamaan yang tumbuh di kalangan umat Islam seringkali dibarengi dengan semangat kritik terhadap sekularisme Barat. Dari sinilah, kesan anti-Barat itu bermula. Toh demikian, mereka tetap mengakui dan menghargai keunggulan positif yang dimiliki peradaban Barat.

Namun harus diakui memang ada satu dua kelompok revivalis Islam yang saklek, memandang Islam sebagai monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi yang tak boleh disentuh tangan sejarah, seperti yang dikhawatirkan Ulil. Inilah yang disebut revivalisme buta. Penulis sendiri pernah menjumpai pemikiran yang demikian dalam berbagai kesempatan diskusi dan beberapa penelitian mengenai gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Tapi sekali lagi, kesalahan Ulil adalah mengeneralisasi bahwa semua kelompok revivalis adalah dogmatis, kolot, menolak perubahan, antimodernitas, dan kontra-Barat.

Ceroboh
Kesalahan Ulil yang kedua adalah ceroboh dalam memberikan penilaian. Kecerobohan itu bisa dilihat pada penilaian Ulil soal jilbab dan hukum Tuhan. Dalam tulisannya di harian ini Senin (18/11/2002) lalu, Ulil menyebut jilbab hanya cerminan kebudayaan Arab. Penilaian ini salah fatal, baik secara normatif maupun historis.

Secara normatif, perintah memakai jilbab secara eksplisit termaktub dalam Al-Quran Al-Karim (sumber hukum pertama Islam). "Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan jilbab ke dadanya'." (QS 24: 31)
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang beriman: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS 33: 59)

Perintah Al-Quran di atas diperkuat oleh pemaparan istri Nabi Muhammad Saw, yakni Aisyah ra, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Nabi Saw dengan pakaian yang tipis, lantas Nabi berpaling darinya dan berkata, "Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini dan ini," kata Nabi Saw sambil menunjuk wajah dan telapak tangan." (HR Abu Daud dan Baihaqi)
Jumhur (mayoritas) ulama, khususnya imam madzab seperti Hanafi, Maliki dan Syafi'i, menyimpulkan bahwa wanita Islam wajib menutup seluruh badannya kecuali muka dan kedua telapak tangan.

Dua ulama tafsir, Imam Al-Jashshas dan Ibnu Katsir juga berpendapat serupa. Al-Jashshas berkata "Semua hal yang tersebut dalam ayat ini adalah petunjuk-petunjuk Allah bagi istri-istri Rasulullah Saw untuk menjaga mereka, dan semua itu juga ditujukan bagi wanita-wanita beriman." (Ahkamu Al-Qur'an). Ibnu Katsir pun berkomentar sama: "Ini adalah hal-hal yang diperintahkan Allah kepada istri-istri Nabi, dan seluruh wanita mukminah dalam hal ini harus mengikuti mereka." (Tafsir Ibnu Katsir)

Pendapat Ulil bahwa jilbab itu kebudayaan Arab juga terbantahkan secara historis. Aisyah ra menceritakan bahwa sesaat setelah turunnya ayat perintah menutup aurat, yaitu surat An-Nuur ayat 31, wanita-wanita Islam segera mengambil kain sarung mereka, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab." (HR Bukhari dan Hakim)

Cerita di atas menggambarkan bahwa perempuan Arab yang beragama Islam belum berjilbab saat perintah jilbab belum diturunkan, dan belum biasa mengenakannya. Buktinya, saat ayat QS 24:31 itu turun, mereka merobek kain sarung mereka untuk dialihfungsikan menjadi jilbab. Jika mereka sudah biasa memakainya tentunya jilbab itu telah tersedia dan tak perlu lagi menyulap kain sarung menjadi jilbab "darurat". Dari sini jelaslah, jilbab bukan tradisi dan budaya Arab, tetapi ajaran yang disyariatkan Islam.

Perintah jilbab juga berlaku tidak hanya untuk orang Arab saja karena Islam agama universal yang diperuntukkan bagi seluruh manusia, melampaui batas ruang dan waktu. "Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan." (QS 34: 28)

Kecerobohan serupa juga terulang ketika Ulil secara tegas menyatakan tak percaya adanya hukum Tuhan, tapi hanya mau mempercayai sunnah Tuhan dan nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia. Menurut Ulil, tidak ada hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya.

Pendapat Ulil itu tentu ganjil. Sebab Tuhan sendirilah yang menyatakan Dirinya memiliki hukum-hukum yang harus diikuti oleh manusia ciptaan-Nya. Berikut beberapa pernyataan Tuhan (kalamullah) mengenai hal itu, termasuk ancaman bagi yang mengingkarinya.
"Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya." (QS 5:1)
"Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. (QS 65:1)
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS 5:50)
"Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (QS 5:44,45,47)

Ayat-ayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa Tuhan telah mengikrarkan eksistensi hukum-hukumnya kepada manusia. Kesalahan Ulil adalah dia tidak mendefinisikan perbedaan hukum Tuhan dan sunnah Tuhan secara jelas. Mengenai ini, kita bisa merujuk pada pendapat Ibn Taimiyyah yang membagi takdir Tuhan menjadi dua, yaitu taqdir asy-syar'iyyah ad-diiniyyah (takdir syariat keagamaan) dan taqdir al-kauniyyah (takdir kesemestaan). Takdir pertama itulah yang disebut hukum Tuhan (Allah Swt) dalam bentuk syariat Islam. Sedang takdir kedua itulah yang disebut sunnatullah (sunnah Tuhan) yang berlaku di alam semesta. Atau Ulil memahaminya sebagai sunnah Tuhan dan nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia. Sunnah yang telah diletakkan Tuhan dalam setiap bidang masalah: politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.

Inkonsistensi
Sikap tidak konsisten adalah kesalahan Ulil berikutnya. Ulil selama ini selalu lantang gembar-gembor soal persamaan, kesederajatan dan kebersamaan. Tapi bebarengan dengan itu, dia menjelek-jelekkan, mendiskreditkan bahkan terkesan melecehkan sebagian umat Islam yang sering dia sebut sebagai kelompok Islam revivalis, garis keras, militan atau fundamentalis.

Beberapa kalangan umat Islam menilai sikap Ulil dan hampir semua pendukung Islam Liberal dikarenakan mereka terlalu terpukau oleh peradaban Barat dan tidak sabar menghadapi kekurangan umat Islam saat ini.

Semestinya Ulil, dengan pemikiran dan JIL-nya, menghadirkan diri sebagai bagian dari umat Islam secara keseluruhan. Menjadi kekuatan yang satu, saling bekerja sama dalam persamaan dan saling menghargai dalam perbedaan. Kalau Ulil berkeyakinan semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama, maka seharusnya keyakinan serupa harus lebih dimiliki menyikapi pluralitas pemikiran dan keberagamaan umat Islam. Bila itu tidak dilakukan berarti Ulil mendustakan keyakinannya.

Ulil menganggap misi Islam paling penting adalah menegakkan keadilan di muka bumi. Keadilan itu, menurut dia, tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan. Ini berarti, misi Islam itu tidak bisa tegak kecuali didukung oleh sistem dan perundang-undangan, yang notabene bagian unsur-unsur negara. Tapi anehnya, Ulil menolak syariat Islam diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Alasannya klasik: agama urusan pribadi, negara urusan negara. Bahkan dia menilai mengajukan syariat Islam sebagai solusi masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau cara lari dari masalah, serta sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Di sinilah, lagi-lagi Ulil menunjukkan inkonsistensinya.

Jika kesalahan-kesalahan seperti saya sampaikan di atas masih diulang-ulang, saya khawatir pemikiran Ulil yang sebenarnya menyegarkan, malah berubah menjadi virus yang mematikan. Sayang, khan.

Namun di atas itu semua, Ulil benar bahwa kita memang harus mencari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Kalau perlu, Islam yang selalu segar, selalu cerah, dan selalu memenuhi maslahat manusia. Tapi saya sendiri memahami bahwa kesegaran, kecerahan dan kemaslahatan sebuah agama bukan berada pada kelompok atau komunitas tertentu saja, tetapi pada setiap komunitas. Karena hakikat kesegaran, kecerahan dan kemaslahatan sebuah agama terletak pada bagaimana agama itu diamalkan dalam perbuatan nyata. Bukan pada tulisan atau perbincangan kata-kata.

Islam memang bukan monumen sejarah. Tapi Islam adalah sejarah itu sendiri. Sejarah kehidupan. Kehidupan manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam semesta, manusia dengan Tuhannya. []


"Sesungguhnya Allah menjadikan dunia menajdi tiga bagian : sebagaian bagi mukminin, sebagaian bagi munafik, dan sebgaian lagi bagi kafir. Maka orang mukmin menyiapakan perbekalan, orang munafik menjadikannya perhiasan, dan orang kafir menjadikannya tempat bersenang-senang."

(Abdullah bin Abbas)

All Rights Reserved © 2003, dedicated to godspot journalism, designed by bro_doni under Dreamweaver 4, Swish 2.0, and Photoshop 7.0
1