ISLAM
MEMANG BUKAN
MONUMEN SEJARAH
(Kritik
Untuk Ulil Abshar Abdalla)
Oleh : Imam Mardjuki
SAYA termasuk pembaca
setia tulisan-tulisan Ulil Abshar-Abdalla. Saya menyukai tulisannya
karena memang enak dibaca dan perlu. Enak dibaca, karena sistematis,
intelek, segar dan mudah dipahami. Perlu, karena membuka cakrawala
berpikir dan selalu menawarkan pemikiran "lain"
yang baru di tengah keberagaman pemikiran keislaman di Indonesia.
Namun, saya sering menjumpai kesalahan-kesalahan yang sering
diulang-ulang Ulil dalam tulisan-tulisannya. Kesalahan-kesalahan
itu juga terulang lagi dalam tulisan Ulil di Harian Kompas
(Senin, 18/11/2002) berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam. Dalam tulisan inilah saya ingin memberikan tanggapan
sekaligus masukan kepada Ulil apa saja kesalahan itu, dengan
mengambil contoh pada tulisannya tadi.
Kesalahan pertama Ulil adalah apriori dan menggeneralisasi
kelompok revivalis Islam. Kelompok inilah yang selama ini
menjadi sasaran kritik Ulil. Yang dia maksud sebagai pihak
yang cenderung "me-monumen-kan" Islam --seperti
terungkap dalam tulisan-tulisan Ulil selama ini-- tak lain
adalah kaum revivalis, termasuk di dalamnya kelompok Islam
garis keras. Dalam banyak tulisannya, Ulil secara apriori
menilai kelompok yang bermaksud merujukkan kembali (revival)
ajaran Islam kepada ajaran asli generasi pertama Islam itu
sebagai orang-orang kolot yang antiperubahan. Kelompok revivalis
dinilai Ulil tidak welcome terhadap modernitas dan perkembangan
zaman.
Sampai-sampai, Ulil cs merasa perlu membangun Jaringan Islam
Liberal (JIL) yang sengaja didedikasikan untuk menandingi
pemikiran kelompok revivalis Islam. JIL secara positif diklaim
Ulil cs sebagai bagian kelompok Islam subtantif, Islam kontekstual,
Islam modernis, Islam kultural atau Islam moderat. Sebaliknya
memandang miring kaum revivalis sebagai kelompok Islam formal,
Islam tekstual-skriptualis, Islam tradisional, Islam politik
atau Islam ekstrem-fundamentalis.
Padahal tidak demikian. Semangat kembali kepada ajaran salaf
(generasi Islam terdahulu) yang diusung kelompok revivalis
sama sekali tak menafikan perkembangan zaman di zaman khalaf
(mutakhir). Revivalisme itu lahir dari semangat ingin mengambil
ajaran Islam secara murni dengan merujuk langsung kepada otentitas
dan orisinalitas Islam generasi pertama. Kemudian merealisasikannya
di era modern dengan tetap mempertimbangkan aspek realitas,
prioritas dan perkembangan zaman. Ulama kontemporer Syeikh
Yusuf Qardhawi yang juga termasuk kelompok revivalis Islam,
menyebut aspek-aspek itu sebagai fiqhul waqi'i, (pemahaman
atas realitas), fiqhul aulawiyat (pemahaman atas prioritas
kebutuhan) dan fiqhul muwazanat (pemahaman atas perkembangan
zaman kontemporer) yang mutlak harus diperhatikan dalam penerapan
ajaran Islam di era modern.
Banyak kelompok revivalis yang justru memandang Islam secara
komprehensif. Mereka tidak mempertentangkan antara Islam formal
atau Islam subtantif, Islam tekstual atau kontekstual, Islam
tradisional atau modern, Islam politik atau kultural, Islam
fundamentalis atau moderat. Bahkan mereka memandang semuanya
itu sebagai satu kesatuan tak terpisahkan dan tidak semestinya
dikotak-kotakkan.
Jadi tak benar, kelompok revivalis menganggap ajaran Islam
sebagai dogma beku yang pantang menerima perubahan. Sebab
Islam yang demikian memang berbahaya bagi kemajuan Islam itu
sendiri. Sebab ajaran Islam --sebagaimana juga diyakini kelompok
revivalis-- selain memiliki ajaran yang tsabat (tetap) juga
ajaran yang murunah (bisa berubah/fleksibel). Islam memiliki
nilai-nilai kebenaran fundamental dan universal, sekaligus
mengakui kebenaran yang lahir dari ekspresi budaya lokal partikular.
Kelompok revivalis juga memandang Islam sebagai "organisme"
yang hidup, seperti mereka mendambakan iman di hati mereka
hidup, yang selalu tergerak menegakkan kebenaran dan tak bisa
tinggal diam menyaksikan kebatilan hadir tanpa perlawanan.
Kalau toh ada kesan kelompok revivalis itu melawan atau anti-Barat,
maka itu tak lebih merupakan dampak psiko-sosiokultural. Akibat
kuatnya dominasi sekularisme Barat terhadap dunia Islam, maka
semangat keagamaan yang tumbuh di kalangan umat Islam seringkali
dibarengi dengan semangat kritik terhadap sekularisme Barat.
Dari sinilah, kesan anti-Barat itu bermula. Toh demikian,
mereka tetap mengakui dan menghargai keunggulan positif yang
dimiliki peradaban Barat.
Namun harus diakui memang ada satu dua kelompok revivalis
Islam yang saklek, memandang Islam sebagai monumen mati yang
dipahat pada abad ke-7 Masehi yang tak boleh disentuh tangan
sejarah, seperti yang dikhawatirkan Ulil. Inilah yang disebut
revivalisme buta. Penulis sendiri pernah menjumpai pemikiran
yang demikian dalam berbagai kesempatan diskusi dan beberapa
penelitian mengenai gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Tapi
sekali lagi, kesalahan Ulil adalah mengeneralisasi bahwa semua
kelompok revivalis adalah dogmatis, kolot, menolak perubahan,
antimodernitas, dan kontra-Barat.
Ceroboh
Kesalahan Ulil yang kedua adalah ceroboh dalam memberikan
penilaian. Kecerobohan itu bisa dilihat pada penilaian Ulil
soal jilbab dan hukum Tuhan. Dalam tulisannya di harian ini
Senin (18/11/2002) lalu, Ulil menyebut jilbab hanya cerminan
kebudayaan Arab. Penilaian ini salah fatal, baik secara normatif
maupun historis.
Secara normatif, perintah memakai jilbab secara eksplisit
termaktub dalam Al-Quran Al-Karim (sumber hukum pertama Islam).
"Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: 'Hendaklah
mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan jilbab
ke dadanya'." (QS 24: 31)
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang-orang beriman: 'Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh
karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (QS 33: 59)
Perintah Al-Quran di atas diperkuat oleh pemaparan istri Nabi
Muhammad Saw, yakni Aisyah ra, bahwasanya Asma binti Abu Bakar
masuk menjumpai Nabi Saw dengan pakaian yang tipis, lantas
Nabi berpaling darinya dan berkata, "Hai Asma, sesungguhnya
jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil baligh)
maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini dan ini,"
kata Nabi Saw sambil menunjuk wajah dan telapak tangan."
(HR Abu Daud dan Baihaqi)
Jumhur (mayoritas) ulama, khususnya imam madzab seperti Hanafi,
Maliki dan Syafi'i, menyimpulkan bahwa wanita Islam wajib
menutup seluruh badannya kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Dua ulama tafsir, Imam Al-Jashshas dan Ibnu Katsir juga berpendapat
serupa. Al-Jashshas berkata "Semua hal yang tersebut
dalam ayat ini adalah petunjuk-petunjuk Allah bagi istri-istri
Rasulullah Saw untuk menjaga mereka, dan semua itu juga ditujukan
bagi wanita-wanita beriman." (Ahkamu Al-Qur'an). Ibnu
Katsir pun berkomentar sama: "Ini adalah hal-hal yang
diperintahkan Allah kepada istri-istri Nabi, dan seluruh wanita
mukminah dalam hal ini harus mengikuti mereka." (Tafsir
Ibnu Katsir)
Pendapat Ulil bahwa jilbab itu kebudayaan Arab juga terbantahkan
secara historis. Aisyah ra menceritakan bahwa sesaat setelah
turunnya ayat perintah menutup aurat, yaitu surat An-Nuur
ayat 31, wanita-wanita Islam segera mengambil kain sarung
mereka, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab."
(HR Bukhari dan Hakim)
Cerita di atas menggambarkan bahwa perempuan Arab yang beragama
Islam belum berjilbab saat perintah jilbab belum diturunkan,
dan belum biasa mengenakannya. Buktinya, saat ayat QS 24:31
itu turun, mereka merobek kain sarung mereka untuk dialihfungsikan
menjadi jilbab. Jika mereka sudah biasa memakainya tentunya
jilbab itu telah tersedia dan tak perlu lagi menyulap kain
sarung menjadi jilbab "darurat". Dari sini jelaslah,
jilbab bukan tradisi dan budaya Arab, tetapi ajaran yang disyariatkan
Islam.
Perintah jilbab juga berlaku tidak hanya untuk orang Arab
saja karena Islam agama universal yang diperuntukkan bagi
seluruh manusia, melampaui batas ruang dan waktu. "Dan
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada manusia
seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan." (QS 34: 28)
Kecerobohan serupa juga terulang ketika Ulil secara tegas
menyatakan tak percaya adanya hukum Tuhan, tapi hanya mau
mempercayai sunnah Tuhan dan nilai-nilai universal yang dimiliki
semua umat manusia. Menurut Ulil, tidak ada hukum Tuhan tentang
pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya.
Pendapat Ulil itu tentu ganjil. Sebab Tuhan sendirilah yang
menyatakan Dirinya memiliki hukum-hukum yang harus diikuti
oleh manusia ciptaan-Nya. Berikut beberapa pernyataan Tuhan
(kalamullah) mengenai hal itu, termasuk ancaman bagi yang
mengingkarinya.
"Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya." (QS 5:1)
"Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim
terhadap dirinya sendiri. (QS 65:1)
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan siapakah
yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang
yakin?" (QS 5:50)
"Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.... Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (QS 5:44,45,47)
Ayat-ayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa Tuhan telah
mengikrarkan eksistensi hukum-hukumnya kepada manusia. Kesalahan
Ulil adalah dia tidak mendefinisikan perbedaan hukum Tuhan
dan sunnah Tuhan secara jelas. Mengenai ini, kita bisa merujuk
pada pendapat Ibn Taimiyyah yang membagi takdir Tuhan menjadi
dua, yaitu taqdir asy-syar'iyyah ad-diiniyyah (takdir syariat
keagamaan) dan taqdir al-kauniyyah (takdir kesemestaan). Takdir
pertama itulah yang disebut hukum Tuhan (Allah Swt) dalam
bentuk syariat Islam. Sedang takdir kedua itulah yang disebut
sunnatullah (sunnah Tuhan) yang berlaku di alam semesta. Atau
Ulil memahaminya sebagai sunnah Tuhan dan nilai-nilai universal
yang dimiliki semua umat manusia. Sunnah yang telah diletakkan
Tuhan dalam setiap bidang masalah: politik, ekonomi, sosial,
dan seterusnya.
Inkonsistensi
Sikap tidak konsisten adalah kesalahan Ulil berikutnya. Ulil
selama ini selalu lantang gembar-gembor soal persamaan, kesederajatan
dan kebersamaan. Tapi bebarengan dengan itu, dia menjelek-jelekkan,
mendiskreditkan bahkan terkesan melecehkan sebagian umat Islam
yang sering dia sebut sebagai kelompok Islam revivalis, garis
keras, militan atau fundamentalis.
Beberapa kalangan umat Islam menilai sikap Ulil dan hampir
semua pendukung Islam Liberal dikarenakan mereka terlalu terpukau
oleh peradaban Barat dan tidak sabar menghadapi kekurangan
umat Islam saat ini.
Semestinya Ulil, dengan pemikiran dan JIL-nya, menghadirkan
diri sebagai bagian dari umat Islam secara keseluruhan. Menjadi
kekuatan yang satu, saling bekerja sama dalam persamaan dan
saling menghargai dalam perbedaan. Kalau Ulil berkeyakinan
semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama, maka
seharusnya keyakinan serupa harus lebih dimiliki menyikapi
pluralitas pemikiran dan keberagamaan umat Islam. Bila itu
tidak dilakukan berarti Ulil mendustakan keyakinannya.
Ulil menganggap misi Islam paling penting adalah menegakkan
keadilan di muka bumi. Keadilan itu, menurut dia, tidak bisa
hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem
dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan
dalam perbuatan. Ini berarti, misi Islam itu tidak bisa tegak
kecuali didukung oleh sistem dan perundang-undangan, yang
notabene bagian unsur-unsur negara. Tapi anehnya, Ulil menolak
syariat Islam diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Alasannya klasik: agama urusan pribadi, negara
urusan negara. Bahkan dia menilai mengajukan syariat Islam
sebagai solusi masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir,
atau cara lari dari masalah, serta sebentuk eskapisme dengan
memakai alasan hukum Tuhan. Di sinilah, lagi-lagi Ulil menunjukkan
inkonsistensinya.
Jika kesalahan-kesalahan seperti saya sampaikan di atas masih
diulang-ulang, saya khawatir pemikiran Ulil yang sebenarnya
menyegarkan, malah berubah menjadi virus yang mematikan. Sayang,
khan.
Namun di atas itu semua, Ulil benar bahwa kita memang harus
mencari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi
maslahat manusia. Kalau perlu, Islam yang selalu segar, selalu
cerah, dan selalu memenuhi maslahat manusia. Tapi saya sendiri
memahami bahwa kesegaran, kecerahan dan kemaslahatan sebuah
agama bukan berada pada kelompok atau komunitas tertentu saja,
tetapi pada setiap komunitas. Karena hakikat kesegaran, kecerahan
dan kemaslahatan sebuah agama terletak pada bagaimana agama
itu diamalkan dalam perbuatan nyata. Bukan pada tulisan atau
perbincangan kata-kata.
Islam memang bukan monumen sejarah. Tapi Islam adalah sejarah
itu sendiri. Sejarah kehidupan. Kehidupan manusia dengan sesamanya,
manusia dengan alam semesta, manusia dengan Tuhannya. []
|