GELOMBANG
KAMPANYE
ANTITERORISME JILID DUA
Oleh : Imam Nur Azis
Duarr!Apa
yang tidak mungkin di Indonesia? Rasanya pertanyaan
ini terus relevan manakala gelombang teror bom melanda
lagi. Paska bom Bali dengan segala cerita kedahsyatannya
dan misteri pelaku sesungguhnya, kita dihadapkan pada
kekerasan politik yang selalu tidak lepas dari berbagai
kelindan kepentingan.
Tengoklah
sejenak berbagai rentetan kejadian sejenis ini: Gedung
mess Polri diledakkan, menyusul belakang Gedung PBB,
lalu di Bandara Soekarno-Hatta, kemudian, gedung Nusantara
DPR RI. Ini masih bertambah seram dengan peristiwa “bunuh
diri” anggota JI (Jamaah Islamiyah) saat diinterogasi
reserse Jaktim, di saat yang hampir bersamaan dari Filipina
dikabarkan gembong “teroris” Faturahman
al Ghozi kabur secara misterius dari penjara. Sejurus
kemudian, keputusan Rapat Menlu ASEM di Bali menyepakati
kerja sama memblokir dana “teroris” trans-nasional
antar anggota ASEM. Juga yang tidak banyak diliput pers,
sebelum itu Megawati menitip pesan lewat Hendropriyono
ketika meresmikan Institut Inteljen di depan berbagai
dubes dan perwakilan asing mengatakan bahwa aksi terorisme
akan terus berlanjut. Sehingga dua pekan silam, Menpolkam
Susilo Bambang Yudhoyono bahkan telah menetapkan lima
langkah nasional mengantisipasi gelombang terorisme,
menyusul berita termasa penangkapan empat orang anggota
JI di Semarang beserta bukti peralatan perakit bom,
amunisi, senjata dan dokumen-dokumen rahasia. Tidak
tanggung lagi, Jateng bahkan dimasukkan sebagai pusat
gerakan terorisme setelah Jakarta.
Silahkan mengernyitkan dahi atas beberapa detil peristiwa
tersebut yang dilansir berbagai media massa. Konon anggota
JI yang “bunuh diri” tersebut saksi kunci
yang mengetahui jalur pasok senjata Jakarta-Semarang
yang acap digunakan tindak terorisme. Konon ia merebut
senjata M16 dan mengisi magasin-nya dalam keadaan terborgol,
lalu melarikan diri ke kamar mandi dan menembak dirinya.
“Pelepasan” Al Ghozi bahkan terjadi ketika
PM Australia dan Presiden Filipina –dua sekutu
pendukung AS- tengah berdiskusi asyik tentang terorisme.
Keduanya dikabari oleh Kepolisian Filipina bahwa gembong
teroris JI itu melarikan diri tanpa sedikitpun merusak
dan pintu sel masih dalam keadaan terkunci rapat.
Konon dokumen yang berhasil disita dari kelompok JI
di Jakarta antara lain terdapat buku-buku petunjuk merakit
bom, film cakram digital mengenai berbagai kegiatan
jihad, buku putih Prabowo (yang sedang mengikuti Konvensi
sebagai capres dari Golkar) dan daftar anggota DPR /
MPR RI. Sedangkan hasil penggeledahan dokumen yang ada
di kelompok JI Semarang antara lain berisi daftar Pondok
Pesantren dan nama-nama Kyai atau Dai yang akan menjadi
target “pembinaan” JI. Meskipun berjanji
tidak akan “menggebyah-uyah” nama-nama tersebut
terlibat, tak urung Polda Jateng akan mengumpulkan seluruh
tokoh Islam di Jawa Tengah bulan Agustus ini untuk mengikuti
“apel siaga” pemantapan keamanan menangkal
bahaya terorisme.
Gelombang kampanye anti-terorisme jilid dua ini makin
mantap dengan makin berlarutnya persidangan Amir Majelis
Mujahidin Indonesia, Abu Bakar Baashir. Semua saksi
yang dihadirkan lewat teleconference anggota JI di Singapura
mengarahkan pada satu kesimpulan yang memberatkan segala
tuduhuan kepada ulama dari Ngruki Solo itu. Lebih ironi
lagi, mewakili AS, Dubes Ralp Boyce menolak permintaan
untuk menghadirkan Omar Farouk, orang nomor satu yang
menyatakan Baashir sedang merencanakan pembunuhan terhadap
Presiden Megawati.
Sementara itu juga, persidangan atas terdakwa pelaku
Bom Bali semakin “menampakkan” skenario
tertentu yang cukup mengejutkan, semua terdakwa mencabut
pengakuan yang telah ditandatangani dalam BA P (Berita
Acara Pemeriksaan). Mereka bahkan juga mengaku bahwa
tuduhan terlibat JI selama ini justru muncul setelah
dalam masa penahanan.
Bagi yang skeptis tentang teori konspirasi mungkin saja
masih yakin bahwa semua peristiwa tersebut berdiri sendiri-sendiri.
Namun ketelanjangan fakta yang ada dari berbagai peristiwa
aksi terorisme yang ada menyiratkan bahwa semua ini
sepertinya “orchestrated”. Paling tidak,
ada tiga lapisan yang terorganisir dalam setiap tindak
terorisme ini.
Lapis pertama adalah mereka yang menjadi pemikir atau
mastermind yang tentu menginvestasikan sebagian besar
waktu mereka untuk mengorganisir berbagai perencanaan
strategis sebuah tindak terorisme. Mereka ini tentu
bukan orang bodoh yang pengangguran atau tidak punya
pekerjaan. Tidak jarang lapis pemikir ini juga seorang
ideolog, yang tidak lagi pusing berpikir apa yang musti
dimakan untuk hari esoknya. Lapis pertama ini berpikir
strategis siapa dan bagaimana misi terror ini dihasilkan.
Begitu cerdas lapis ini dalam tiap aksi terorisme, sehingga
sulit sekali benar-benar menangkap tangan “si
dirijen”.
Lapis kedua, para pelaku dan penyandang dana. Pada kelompok
ini, biasanya tidak secerdas lapis pertama. Barangkali
mereka memang memiliki ideologi serupa pada lapis pemikir,
tapi investasi waktu berpikir mereka masih belum seperti
yang pertama. Bahkan karena sifatnya sebagai eksekutor,
mereka biasanya acapkali berpikir jangka pendek sehingga
lebih mudah menangkap basah tangan-tangan lapisan ini.
Lapis ketiga merupakan mereka yang diam-diam menganggukkan
kepala ketika aksi terorisme terjadi. Mungkin karena
alasan tertentu mereka tidak berani menampakkan simpati
terhadap garis perjuangan ideologi lapisan sebelumnya.
Namun harap dicatat, lapisan inilah yang paling mayoritas
di antara lapisan lainnya sehingga cukup laten. Naga-naganya,
dengan temuan berbagai dokumen dari kelompok JI belakangan
ini, ada indikasi pihak-pihak tertentu sedang mengincar
lapis ketiga ini untuk dimunculkan sehingga “bibit-bibit”
baru “teroris” dapat diberangus total. Selain
sarat dengan kepentingan-kepentingan dalam negeri (baca:
pendekatan stabilitas keamanan) yang cukup menjadi sumbu
pendek mendekati ST MPR Agustus ini, kampanye anti terorisme
kali ini juga dimungkinkan untuk kepentingan luar negeri.
Misalnya, untuk mendapatkan lebih banyak “carrot”
dari AS yang berang hingga dana pelatihan militer RI
dibatalkan akibat ketidakseriusan pemerintah menangani
insiden penembakkan dua warga negera mereka di Freeport.
Dalam berbagai hal, kebijakan luar negeri AS kini memang
cenderung memberi lebih banyak “stick”,
seperti telah disebutkan antara lain penghentian dana
latihan militer, menolak menghadirkan Omar Farouk, dan
menolak meminta maaf atas insiden pelanggaran izin dalam
manuver jet tempur F 18 Hornet di atas pulau Bawean
silam.
Kalangan yang perduli dengan nasib umat seyogianya mulai
membaca “kemungkaran” dibalik kampanye anti
terorisme jilid kedua ini. Kita harus menjadi pihak
pertama yang akan membela kepentingan umat jika jilid
kedua ini lagi-lagi “diselewengkan” untuk
memenuhi hajat politis segelintir elit di Senayan menjelang
Pemilu 2004 ini. Amat patut disayangkan jika aparat
hanya tunduk pada kepentingan pemerintah, dan bukan
kepentingan negara. Stigmatisasi dan pembunuhan karakter
segolongan Muslim demi ambisi politik tertentu niscaya
merupakan bahaya retoris dan daur ulang praktik Orde
Baru yang laten . Duarr!Apa yang tidak mungkin di Indonesia?
Dimuat di Majalah
Saksi Edisi 22/12 Agustus 2003
|