MENGGAGAS
JUNTA PEMUDA
Oleh : Doni Riadi
Hari ini, 29 Maret 2003,
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) genap lima
tahun mengawal perubahan. Ia seusia dengan tumbuhnya semangat
perubahan nasional yang diawali dengan tumbangnya rezim Soeharto
Mei 1998 silam.
Telah berubahkah negeri
ini sekarang ? Ironis, tak ada perubahan signifikan yang dapat
membalas setimpal pengorbanan jiwa raga, darah dan airmata
anak-anak bangsa saat melibas rezim tirani dan berharap akan
lahirnya Indonesia baru. Ide-ide koreksi total terhadap rezim
setelahnya 'terpaksa' kemudian lahir dari rahim anak-anak
muda. Dari ide revolusi, deligitimasi, hingga yang sekarang
: junta pemuda.
Koreksi Sejarah
Sesungguhnya, adalah sebuah kecelakaan sejarah jika kita mengabadikan
bahwa Indonesia memasuki era Reformasi setelah tumbangnya
rezim tirani Soeharto. Fakta-fakta yang terrekam selama lima
tahun setelahnya nyaris tak menunjukkan indikator reformasi
mendekati titik pencerahan. Yang ada hanyalah aktifitas-aktifitas
perebutan kekuasaan para pendompleng reformasi yang sebenarnya
tak sedikit pun memiliki visi perubahan. Ketimbang reformasi,
maka lebih tepat jika kita menamakannya sebagai sekedar pergantian
rezim dan bagi-bagi kekuasaaan.
Dalam konteks kekinian,
kinerja rezim Mega-Haz berkolaborasi dengan Akbar dan Amien
di legislatif pun menunjukan kecenderungan kuat untuk membawa
Indonesia kembali ke masa kegelapan. Ketakberdayaan Indonesia
menghadapi tekanan dan hegemoni asing dari negara atau lembaga
donor seperti IMF menciptakan kesenjangan sosial baru. Kebijakan
pencabutan subsidi, privatisasi dan divestasi atas resep IMF
membuat nasib aset negara menjadi tak jelas. Bahkan telah
menjadi rahasia umum, bahwa motif privatisasi dan divestasi
adalah kepentingan jangka pendek untuk memperkaya pundi-pundi
partai rezim penguasa menjelang 2004. RUU BUMN yang sedang
digodok pun disempat-sempatkan untuk disisipi satu bab mengenai
privatisasi, hal yang seharusnya terpisah menjadi RUU tersendiri.
Itu baru indikator ekonomi,
belum indikator lainnya seperti kebijakan luar negeri, penegakan
supremasi hukum, sosial, pendidikan dan sebagainya. Setelah
dituding sebagai mata rantai terlemah melawan terorisme oleh
AS dan peristiwa kontroversial peledakan Sari Club dan Paddy's
Café, kebijakan luar negeri Indonesia bak menjadi sekutu
AS di Asia Tenggara. Penangkapan tokoh-tokoh publik, semisal
Abu Bakar Ba'asyir dengan cara yang ngiris-ngiris hati nurani
adalah salah satu contohnya. Di sisi lain, polisi justru tak
mampu berkutik melawan preman dan perjudian bahkan terkesan
melindunginya. Ini tersirat dalam ketidakberdayaan polisi
menghadapi anarkisme pendukung Tomy Winata yang 'menyerbu'
kantor majalah Tempo.. Dan lagi, tak satupun para koruptor
dan konglomerat hitam dapat diadili dan dieksekusi.
Bahkan, Perppu No.1 tahun
2002 yang sifatnya kasusistis dan darurat diresmikan sebagai
UU Antiterorisme. Belum lagi selingkuh penguasa dengan aparat
bersenjata dengan mengakomodasi intelejen penguasa (BIN) dan
militer melalui RUU Intelejen dan RUU TNI. Begitu juga dengan
UU Parpol dan UU Pemilu 2004 yang memperbesar ruang kembalinya
Orde Baru ataupun Neo-Orde baru berkuasa sekaligus memperkecil
peluang kekuatan reformis untuk melakukan perubahan.
Pendeknya, berkaca dari
pengalaman empirik rezim-rezim yang didominasi oleh 'orang-orang
tua' pasca Soeharto tumbang, Indonesia tak akan dapat benar-benar
tercerahkan atau setidaknya keluar dari krisis berkepanjangan.
Sekaranglah saatnya bagi kaum muda untuk memimpin sendiri
perubahan yang diinginkan. Dan 'orang tua' ? Lirik Elpamas
ketika menyindir Soeharto ini mungkin masih relevan sebagai
jawaban :"Pak Tua sudahlah
, kami masih sanggup
untuk bekerja..oyeah"
Junta Pemuda
Melalui Mukernas KAMMI di Bogor, Februari 2003, digulirkankanlah
semangat Junta Pemuda sebagai wacana alternatif revolusi yang
belakangan menyurut. Analog dengan junta militer di Myanmar,
junta pemuda yang dimaksudkan setara dengan pengertian pemerintahan
kaum muda. Ia didefinisikan sebagai pemerintahan dengan partisipasi
kaum muda pada posisi-posisi strategis penyelenggaraan negara.
Hanya saja jika junta militer identik menggunakan senjata
dan kekerasan, maka Junta Pemuda mengandalkan ketajaman pemikiran
intelektual dan kebersihan niat untuk memperbaiki bangsa ini
dari awal.
Core (inti) dari Junta
Pemuda adalah gerakan mahasiswa intra dan ekstra universiter,
pemuda pemimpin ormas, pemuda aktivis LSM, pengusaha muda,
pekerja-pekerja muda, dan cendikiawan muda. Bersama-sama rakyat
di ring kedua, para pemuda ini mengumandangkan deklarasi rakyat
dan pemuda yang menandai terbentuknya pimpinan transisi, sekaligus
deligitimasi atau mencabut mandat rezim berkuasa. Jika dicermati,
ideologi tak lagi menjadi penghalang bagi kaum muda untuk
menyatukan barisan. Mahasiswa berideologi paling kiri dan
paling kanan pun sekarang telah menyuarakan satu suara untuk
menuntut pergantian rezim.
Agenda utama Junta Pemuda
ini adalah penghapusan hutang luar negeri. Mengeksekusi para
koruptor yang telah terindikasi jelas dengan mengesampingkan
mekanisme konvensional sebagai komitmen supremasi hukum dan
shock therapy. Menyelenggarakan Pemilu dengan perundang-undangan
yang lebih akomodatif terhadap perubahan dan melarang tampilnya
partai-partai ORBA sebagai kontestan Pemilu. Membongkar jaringan
dan mentalitas birokrat korup dengan prinsip cut generation
dan menggantinya dengan aparatus yang lebih bersih. Dan menata
dunia intelejen kompetitif agar benar-benar berfungsi sebagai
alat negara dan bukan alat penguasa. Sedangkan program seratus
hari Junta Pemuda ini adalah mengembalikan pada rakyat uang
yang dibawa konglomerat bermasalah ke dalam negeri.
Seperti apa model perubahan
Junta Pemuda ? Merujuk pada kerangka berpikir Huntington,
perubahan dapat berlangsung dalam empat skenario. Pertama,
transformasi, yakni proses demokratisasi yang diinisiatifi,
dimotori, dan dikendalikan oleh penguasa. Contohnya adalah
Uni Soviet sejak Gorbachev menerapkan Glasnost dan Perestroika.
Kedua, replacement atau pergantian rezim, yakni rezim lama
digantikan oleh rezim yang benar-benar baru. Contohnya adalah
Filipina dengan pendudukan istana Malacanang. Ketiga, transplacement,
yakni proses demokratisasi sebagai kombinasi antara gerakan
sosial di luar rezim yang kuat serta adanya faksi-faksi demokrasi
di dalam negara. Contohnya adalah Afrika Selatan. Keempat
intervensi, yakni proses demokratisasi yang dihasilkan oleh
intervensi pihak luar untuk menjatuhkan rezim lama. Contohnya
adalah intervensi AS di Afghanistan
Junta Pemuda termasuk
pada kategori kedua. Ia dimungkinkan terbentuk dari gerakan
people power dan mustahil dari Pemilu. Kultur paternalistik
dan patronase bangsa Indonesia tidak akan memungkinkan unsur-unsur
pembaharu tampil sebagai pemenang. Hasil Pemilu 2004 tidak
akan berbeda jauh dengan Pemilu 1999 yang sejatinya adalah
pengulangan dari Pemilu-Pemilu yang pernah diselenggarakan
sebelumnya. Pemenangnya tidak akan beranjak dari kubu nasionalis
sekuler atau oportunis Orba, walaupun ketika rezim-rezim ini
berkuasa nyata-nyata justru ia menjadi penyebab rakyat menderita.
Ironi yang menjadi logis, karena selama ini rezim berkuasa
tidak pernah berkeinginan melakukan pendidikan politik yang
benar tetapi lebih memilih pembodohan politik demi kelanggengan
kekuasaannya.
Hal yang pertama-tama
menghambat Junta Pemuda dengan jalan people power adalah stempel
inkonstitusional dari para 'orang tua'. Konstitusi dan Undang-Undang
inilah yang sekarang menjadi senjata ampuh bagi rezim berkuasa
untuk memberangus kekuatan kritis rakyat sekaligus sarana
berkelit dari jeratan pidana dengan memanfaatkan celah-celah
produk UU yang ada. Padahal, masih ada dimensi nilai dan moralitas
yang jauh lebih utama dijunjung dari sekedar hukum formalitas.
Bahkan, kemerdekaan Indonesia via Proklamasi 17 Agustus 1945
pun bersifat inkonstitusional dalam perspektif pemerintah
Jepang yang menjajah Indonesia. Hanya karena gerakan inkonstitusional
itu kemudian menemui kemenangan maka ia lalu diklaim menjadi
konstitusional.
Hambatan berikutnya adalah
pada proses mencari tiga dukungan. Yaitu dukungan rakyat,
dukungan militer, dan dukungan internasional. Secara historis
Indonesia, ketika rakyat mendukung suatu moment perubahan
maka dengan sendirinya militer akan turut memberikan dukungannya.
Dukungan militer pada rakyat saat tumbangnya Soeharto dan
Gusdur adalah contohnya. Namun, tidak mudah untuk dapat mendapat
dukungan rakyat. Kultus individu, paternalistik, dan isu solidaritas
wong cilik telah membutakan sebagian besar rakyat. Milisi
sipil bentukan partai berkuasa bahkan kerap menjadi pelaku
intimidasi dan kekerasan terhadap aksi-aksi mahasiswa. Sedangkan
dukungan internasional dibutuhkan khususnya dari AS, Cina,
dan Timur Tengah sebagai representasi tiga peradaban besar
dunia, yaitu barat kapitalis, sinis konfusian, dan Islam.
Pertanyaan berikutnya
adalah, siapakah yang akan memimpin Junta Pemuda ? Bedanya
dengan Revolusi Iran yang menjadikan Khomeini sebagai pemimpin
besar revolusi, maka Junta Pemuda tidak begitu mementingkan
figur pemimpin. Kalaupun ada figur pemimpin tidak berarti
otomatis ia langsung menjadi presiden. Junta Pemuda lebih
suka memberikan beberapa nama tokoh muda yang dikenal luas
memiliki kredibilitas nilai dan moralitas untuk kemudian dipilih
oleh rakyat secara langsung menjadi presiden. Nama-nama seperti
Aa' Gym, Arifin Ilham, Hidayat Nurwahid, dan Kwik Kian Gie
mungkin bagian dari alternatif jawaban. []
(Tulisan
ini menjadi Pemantik Diskusi 'Kelas Politik' KAMMI Komisariat
Politeknik Negeri Semarang)
|