HIPOKRITAS
ANGGOTA DEWAN
DAN SIKAP APOLITIS PUBLIK
Oleh : Imam Nur Azis
Lagi-lagi memprihatinkan
dan hipokrit. Itulah citra yang ditangkap publik atas sikap
dan perilaku elit anggota DPRD I Jateng.
Setelah tidak tuntasnya
soal dana purna bhakti, fait a comply sejak dini terhadap
LPJ Gubernur, dan politik uang menjelang pemilihan KDH Tk
I, dana LPJ, kini dana THR menjadi sorotan negatif. Ditingkahi
manuver demikian, sangatlah mungkin publik mengambil sikap
"KSAD" (Kecewa Sama Anggota Dewan) yang kelak akan
melahirkan perilaku apolitik pada Pemilu 2004.
Tengara Teguh Yuwono (SM/20/12/2002)
bahwa mulai telah terjadi pemanasan suhu politik (political
warming) di regional Jawa Tengah agaknya tidak berlebihan.
Bahkan boleh dikata, genderang perang (baca:politik) ini sudah
tidak pada tingkat wacana, namun sudah menyentuh di akar rumput.
Lihatlah kibaran bendera-bendera parpol bertengger gagah di
sepanjang jalan yang dilalui pemudik. Belum lagi spanduk milik
parpol berukuran besar dengan pongahnya menyita perhatian
mata kita. Apakah kita tidak punya hak untuk tidak melihat
kampanye terselubung dan telanjang jauh sebelum Juli 2004
saat pesta rakyat nanti digelar?
Hipokritas Elit vs
Sikap Apolitik Publik
Persoalan politik praktis
harus diakui acapkali memang abai terhadap persoalan hak-hak
yang seperti Penulis contohkan di atas. Kita tentu masih ingat
ketika masa-masa Pemilu dalam Orde Baru begitu berhasil menakut-nakuti
massa akar rumput dalam rangka "mewajibkan" hak
mereka untuk memilih. Mengacu fenomena publik belakangan ini,
maka kesimpulan anekdotal bisa kita ambil, bahwa partisipasi
hak memilih paska era reformasi pada Pemilu 2004 kelak akan
berbanding terbalik dengan sikap dan perilaku hipokrit elit
politik kita. Dengan kata lain, semakin meningkat gejala perilaku
hipokritas (baca: kemunafikan) anggota Dewan, maka semakin
rendah atau menurun tingkat partisipasi politik rakyat.
Tajuk "Suara Merdeka"
(18/12/02) secara lugas menyatakan bahwa hipokritas anggota
Dewan dalam melakukan manuver politik lazimnya dibungkus dengan
azas legalitas dan formal yang ini berupa peraturan daerah
atau berbagai keputusan legislasi. Jadi, dalam bahasa ilmiah,
sikap hipokritas mayoritas elit politik seringkali terlihat
"rasional" (bagi anggota Dewan dan demikian juga
bagi publik).
Simpulan ini dibuktikan
secara gamblang dengan pernyataan terbuka salah satu pimpinan
fraksi yang energik bahwa "Saya tidak munafik, rasional
saja. Wajar jika satu suara anggota Dewan Tk I Jateng berharga
Rp 500 juta, karena konon dalam pemilihan Gubernur di DKI
senilai Rp 1 miliar per orang". ("Suara Merdeka"
memasang judul berita ini dari kutipan wawancara Karding,
"Kursi Gubernur tidak gratis"). Wakil rakyat ini
berkomentar demikian menanggapi fenomena rutin setiap pilkada
yang selalu bernuansa politik uang untuk menggolkan bakal
calon Gubernur (SM, 19/12/02).
Dari "kejujuran"
kalau tidak dibahasakan "kena'ifan" pernyataan ini,
terdapat kesan bahwa hipokritas adalah sikap yang dapat diterima
akal (rasional) dan ini cenderung menjadi kode etik(baca:
kebiasaan) umum. Thus, seolah dikesankan pula bahwa menjadi
"tidak munafik" bukanlah etika umum alias cenderung
"tidak rasional". Mungkin karena "ketidak-umuman"
ini Suara Merdeka dalam tajuk yang sama menyebut Zuber Syafawi
(penggulir isu Dana Purna Bhakti dan THR) sebagai suatu "Monumen
Kejujuran", karena memang tidak mungkin monumen didirikan
untuk semua orang. Namun, ikon ini juga dapat diartikan negatif,
sebab "monumen" biasanya berada untuk memperingati
sesorang atau sesuatu yang sudah mati (tiada). Barangkali
sebutan ini untuk menyentil nurani mayoritas anggota Dewan
yang "mati" terhadap kejujuran.
Teori Pilihan Rasional
Munculnya pernyataan kontroversial
seperti dari rekan saya, Abdul Kadir Karding, bahwa kursi
orang nomor satu di Jateng itu tidak gratis, pada galibnya
mencerminkan proses rasionalisasi dia terhadap kehidupan politik.
Memang, politik selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan berisiko.
Dan berbagai pilihan tersebut dapat menjadi "benar"
apabila didekati dengan rasionalitas. Itulah mengapa dalam
ilmu politik dikenal teori pilihan rasional (rational choice
theory).
Menurut teori ini, setiap
individu memiliki kepentingan pribadi (self-interest) yang
ini bersifat elastis (Ward, 1997). Kepentingan pribadi ini
oleh Calhoun (1995) disebut metodologi individualisme yang
akan menggerakkan dan membingkai berbagai fenomena sosial
menjadi keyakinan dan tujuan setiap individu. Menurut teori
ini sesungguhnya setiap individu memiliki kapasitas (kemampuan)
rasional, waktu dan jarak emosional yang diperlukan untuk
memutuskan tindakan terbaik meskipun dalam berbagai persoalan
kompleks yang mereka hadapi. Asumsi ini, menurut Leon Felkins
(1995) membawa dampak sebuah kondisi dilema ketika individu
harus berhadapan dengan pertanyaan apakah pilihan individu
tersebut juga merupakan pilihan terbaik bagi kelompok mereka.
Dalam kasus dana THR, LPJ Gubernur, dana purnabhakti atau
"harga" kursi H1 (Gubernur) ini, individu anggota
Dewan pada galibnya sedang mengalami dilema, apakah berbagai
legislasi (perda) dan manuver politik mereka memang terbaik
bagi dirinya, rakyat, fraksi, komisi, parpol atau fihak lain.
Karena berbagai dilema,
inilah mengapa muncul nama lain dari teori ini yang dikenal
sebagai "Volunteer's Dilemma", "Prisoner's
Dilemma", "Collective Choice", "Rational
Choice", "Social Choice", "Public Choice"
dan "Voter's Paradox".
Namun Paul Starr (2000)
mengkritik penggunaan istilah "Public Choice" karena
pada dasarnya kecenderungan pilihan individu lebih banyak
bukan 'pilihan publik' tetapi 'pilihan privat'. Sehingga kaidah
yang berlaku menjadi cenderung 'microeconomics' yang hanya
akan menjadi semacam patologi (penyimpangan) dalam pengambilan
keputusan politik. Fenomena ini nampak dengan adanya praktik
"free riding" (aji mumpung) dan "rent-seeking"
("proyek"-minded) di kalangan elit politik untuk
memanfaatkan semaksimal mungkin dana atau pemasukan pajak
demi kemakmuran individu. Individu dengan berbagai kepentingan
terkonsentrasi semacam ini seakan mempraktikkan "penunggangan
bebas" atas berbagai wewenang legislasi dan "mencari
proyek pembiayaan" dengan berbagai fasilitas yang menurut
mereka diperlukan untuk meningkatkan kinerja. Laporan tiga
hari berturut-turut "Suara Merdeka" (18-20/12/02)
mengungkapkan berbagai keistimewaan fasilitas anggota Dewan
sekaligus merupakan bukti kongkret mereka sedang mempraktikkan
"aji mumpung" ini.
Dalam pandangan pakar
teori Public Choice, Niskanen (1973:15) jauh-jauh hari dia
sudah memperingatkan bahwa 'jantung' para elit sesungguhnya
tidak pada rakyat namun pada kepentingan diri mereka demi
gaji, fasilitas, reputasi publik, kekuasaan dan patronase.
Secara moderat Downs (1967)
menulis bahwa elit birokrat bertindak paling tidak "sebagian"
karena kepentingan pribadi dan beberapa dimotivasi semata-mata
"hanya" karena kepentingan pribadi. Pendek kata,
ada dua kategori tindakan elit yakni mereka yang 'sebagian'
tindakannya karena kepentingan pribadi dan mereka yang seluruh
tindakannya karena kepentingan pribadi seperti yang dirujuk
Niskanen di atas. Mereka yang bertindak 'sebagian' atas kepentingan
pribadi, menurut Downs masih menyisakan motivasi lain seperti
karena kebanggaan performan, loyalitas pada program, departemen
atau pemerintah dan harapan untuk melayani lebih baik kepada
rakyatnya.
Nampaknya kita perlu bertanya
dalam hati kita masing-masing, termasuk dalam kategori manakah
motivasi mayoritas anggota Dewan DPRD I Jateng jika merujuk
kriteria simplistis Downs di atas ? Karena jika motivasi mereka
duduk sebagai wakil rakyat "seluruhnya" untuk kepentingan
pribadi, maka hipokritas ini sudah menjadi perilaku yang termasuk
-meminjam istilah kontroversial Ulil Abshar Abdalla- "public
decency" alias kepatutan umum. Jadi, wahai wakil rakyat,
nanti jangan salahkan rakyat apabila Pemilu 2004 dimenangi
oleh partai Golput (Golongan Putih) atau mereka yang memilih
untuk "tidak memilih."
Akibat lanjut dari sikap
apolitik rakyat adalah mereka menjadi tidak perduli atau bahkan
muak terhadap sepak terjang dunia politisi sehingga abai terhadap
pergantian pucuk pimpinan yang kerap hanya menjadikan "demokrasi"
sebagai pemanis bibir saja (lip service). Walhasil, jangan
heran bila kita berbicara pada komunitas di akar rumput, sebagian
justru merindukan jaman sebelum reformasi yang mereka saat
itu dapat dengan tenang berekonomi tanpa hingar bingar politisi
yang saling sikut dan berebut hasil"kue" reformasi.
Sikap rakyat seperti ini
cukup mengkhawatirkan karena pemerintahan junta militer akan
mungkin mendapat tempat sebagai ganti para politisi yang penuh
hipokritas. Seperti terjadi di Pakistan, konon demo menentang
kudeta militer Jenderal Musharaff hanya berlangsung dua hari
yang hanya diikuti 2.000 orang, karena mayoritas rakyat sudah
tidak acuh terhadap wakil rakyat atau politisi mereka.
(Tulisan
ini dimuat di harian Wawasan, edisi 14/1/2003)
|