DUA
TAHUN MEGA
DI MATA GERAKAN MAHASISWA
Oleh : Doni Riadi
Tak dapat disangkal lagi
! Dimata gerakan mahasiswa, ST MPR 2003 (dimulai 1 Agustus
2003) hanyalah tontonan dagelan acara perpisahan para
badut politik menjelang Pemilu 2004 dan sekedar ritual
rutinitas menghambur-hamburkan uang rakyat semata. Hasilnya
sudah dapat diduga, takkan ada hasil hasil sidang yang
dapat diandalkan untuk memperbaiki nasib bangsa. Sebab,
kedua lembaga negara (eksekutif dan legislatif) yang
sedang berhajat itu sama-sama tak memiliki karakter
dan visi reformasi, bahkan cenderung mengkhianatinya.
Lima tahun pasca Soeharto tumbang, telah
berubahkah negeri ini sekarang ? Ironis, sebab tak ada
perubahan signifikan yang dapat membalas setimpal pengorbanan
jiwa raga, darah, dan air mata anak-anak bangsa saat
melibas rezim tirani dan berharap akan lahirnya sebuah
tatanan Indonesia baru.
Dapat dikatakan, adalah sebuah kecelakaan
sejarah, jika kita mengabadikan dengan tinta emas bahwa
Indonesia memasuki era reformasi setelah Mei 1998 sesaat
setelah Soeharto lengser. Fakta-fakta yang terekam selama
lima tahun setelahnya nyaris tak menunjukkan indikator
reformasi mendekati titik pencerahan. Yang ada hanyalah
aktifitas-aktifitas perebuatan kekuasaan para pendompleng
reformasi yang sebenarnya tak memiliki visi perubahan
dan ingin kembali ke status quo. Ketimbang reformasi,
maka lebih tepat jika menamakannya sebagai sekedar pergantian
rezim semata.
Dalam konteks kekinian, kinerja rezim
Mega-Hamzah di eksekutif dan Akbar-Amien di legislatif
pun menunjukkan kecenderungan kuat untuk membawa Indonesia
kembali ke masa kegelapan. Seperti tak berkaca pada
pengalaman dan mengulangi kesalahan presiden sebelumnya
(Gusdur), Mega cenderung menganggap remeh agenda reformasi
yang diamanatkan rakyat dan lebih mementingkan kepentingan
kelompoknya.
Indikasinya, krisis multi dimensi hingga
kini masih dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Kebijakan demi kebijakan pemerintahan Mega tak mampu
menarik keterpurukan bangsa ini dari krisis yang menimpanya,
bahkan bertambah parah. Sehingga rakyat merasa bahwa
pemerintahan Mega tak memiliki arah yang jelas dalam
memperbaiki negeri.
Indikator
Antireformasi
Beberapa indikator penting berikut ini menunjukkan pemerintahan
Mega (2001-2003) tak berpihak pada reformasi, tak visioner,
sense of crisis dan sense of future yang minim.
Ekonomi: penjualan aset-aset negara
(obralisasi BUMN); kebijakan ekonomi yang tidak berpihak
pada rakyat kecil, ditandai dengan; pencabutan subsidi,
kenaikan harga-harga, penurunan harga jual gabah serta
pemberian subsidi pada kelompok-kelompok elit tertentu
(BLBI); inefisiensi pengelolaan APBN, terutama dikarenakan
korupsi yang makin membudaya; ketidakmandirian ekonomi
terhadap intervensi asing; pengucuran dana BLBI; dan
dana rekapitalisasi perbankan adalah bentuk perselingkuhan
ekonomi dengan konglomerat hitam.
Politik: tindakan refresif terhadap
aktivis prodemokrasi, terbukti dengan maraknya penangkapan
para aktivis yang mengkritisi kebijakan pemerintahan
Megawati dengan dasar pasal-pasal karet UU No 9/1998
tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum; semakin lemahnya
posisi politik Indonesia di dunia internasional, dengan
semakin diintervensinya Indonesia dalam kebijakan politik
dan hukum, seperti penangkapan orang-orang yang dituduh
teroris; tidak memiliki political will dalam mengatasi
permasalahan nasional; dan tidak mampunyai daya strategis
dan diplomasi Internasional seperti lepasnya pulau Sipadan
dan Ligitan.
Hukum: tidak memiliki political will
dalam penegakan hukum, ditandai dengan gagalnya pengadilan
Soeharto dan kroni-kroninya dan Jaksa Agung yang dipimpin
oleh tertuduh pidana; hukum dijadikan alat bergaining
untuk mempertahankan kekuasaan; represifitas daya kritis
dan oposisi rakyat dengan ditetapkannya UU No. 1 dan
2/2002 Antiterorisme; dan tidak adanya supremasi hukum
dengan tetap berkeliarannya terdakwa pidana (Akbar Tanjung);
dan berbagai produk hukum lainnya yang antiklimaks dengan
amanat reformasi, seperti UU Pilpres yang menutup peluang
bagi kekuatan baru reformis untuk memimpin negeri.
Sosial Budaya: rekonsolidasi kultur
orba (KKN, money politik, kekerasan politik dll) di
tingkatan yang luas hingga ke pelosok desa; degradasi
moral sebagai dampak tidak adanya pengaturan dan penjagaan
(perjudian, pornografi, kriminalitas dan klenik); semakin
jelasnya kesenjangan sosial antara miskin dan kaya beserta
seluruh efeknya; menurunnya tingkat kualitas sumber
daya manusia Indonesia; semakin mahalnya biaya pendidikan;
tidak serius dalam mengatasi konflik di daerah seperti
Aceh dan Papua; dan cenderung pemerintahan sipil (Mega)
“dikalahkan” oleh militer dalam peran-perannya
dengan latar belakang deal-deal politik.
Hankam: masih kuatnya ancaman disintegrasi
dari sebagian daerah akibat ketidakmerataan pembangunan
di daerah; ketidakmampuan dalam mengatasi ancaman dan
aksi intelejen pihak asing, terbukti dengan masih maraknya
kapal asing yang masuk ke zona laut Indonesia untuk
mencuri ikan dan insiden F-18 Hornet USA yang bebas
bermanuver ria di wilayah dirgantara RI selama 2 jam
lebih; dan kebijakan hankam yang tak terkoordinasi antar
jajaran dibawahnya, seperti kasus pembelian Sukhoi.
Rakyat Semakin
Sadar
Tak seperti di era Gusdur, organisasi pergerakan mahasiswa
di era Mega-Hamzah berada dalam satu barisan dan tidak
terpecah-pecah. Dari gerakan mahasiswa yang berideologi
paling kiri, pertengahan maupun kanan, baik ekstra maupun
intrakampus, bersepakat untuk menyatakan “tidak!”
kepada Mega. Organisasi-organisasi besar seperti BEMPT-BEMPT,
KAMMI, HMI, PMII, IMM, HMI MPO, LMND, maupun GMNI, dan
PMKRI bersatu padu menyatukan diri dalam kekuatan oposisi
kaum muda.
Fenomena ini seperti hendak mengulang
soliditas mahasiswa ketika berusaha menggulingkan Soeharto.
Namun sayangnya, gelombang gerakan mahasiswa nampak
mundur teratur ketika perlawanan mereka dihadapkan dengan
massa fanatik buta sang presiden yang notabene adalah
rakyat kecil yang selama ini dibela mahasiswa. Di Semarang
dan Solo, mahasiswa sempat harus dirawat di RS karena
diserang oleh massa Mega. Akhirnya, mahasiswa lebih
memilih mengalah untuk menghindari bentrokan sesama
elemen rakyat sembari mengelus dada. Di saat yang sama,
aparat pun tega memainkan tangan besi dalam menghadapi
aksi-aksi mahasiswa.
Namun tanpa diduga, buah kerja keras
mahasiswa justru menampakkan hasilnya di waktu belakangan
ini, ketika marak pilgub dan pilbup di berbagai wilayah
Indonesia, dan mungkin mencapai puncaknya menjelang
pemilu 2004. Anehnya, rakyat menjadi semakin sadar buruknya
manajerial kepemimpinan sang presiden justru ketika
sang presiden memainkan perannya sebagai seorang ketua
umum partai politik. Rupanya, logika penyadaran publik
yang dipakai mahasiswa berbeda dengan alur berpikir
rakyat sehari-hari.
Dan sekarang, mahasiswa telah menangkap
celah itu untuk kemudian digarap bersama rakyat agar
menjadi isu bersama dan menjadikan Mega sebagai common
enemy (musuh bersama), sebagai syarat keberhasilan jika
hendak mengganti pemimpin yang korup. Bahkan, sebagai
media komunikasi dan informasi, secara serius telah
diluncurkan situs www.turunmega.com, yang dipelopori
oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar
negeri dan tak berafiliasi ke parpol manapun.
Maka kemudian, ramailah media dengan
berita pembakaran KTA, bendera, pembakaran foto Mega,
golput, dan pindahnya kader ke partai lain di berbagai
daerah. Semuanya mengarah pada satu titik, yaitu hilangnya
kepercayaan rakyat kepada Mega.
Kritik Untuk
Gerakan Mahasiswa
Katakanlah, kejatuhan rezim Mega hanya tinggal menunggu
waktu. Pertanyaannya adalah, apakah pasca-Mega rakyat
akan mendapatkan pemimpin yang lebih baik ? atau justru
lebih buruk ? Pertanyaan itu selalu muncul tanpa jawaban
pasti setiap kali sebuah perubahan hendak dilakukan.
Sebenarnya jika ditelaah lebih jauh, gerakan mahasiswa
juga ikut bertanggung jawab atas ketidakpastian kapan
bangsa ini akan dipimpin oleh seseorang yang benar-benar
amanah dalam memimpin.
Kultur gerakan mahasiswa Indonesia yang
hanya mau berperan sebagai pendobrak adalah faktor penyebab
utamanya. Sedikit sekali kaum muda/mahasiswa yang mencoba
mengambil alih estafeta perubahan setelah melakukan
pendobrakan. Mereka lebih suka menyerahkannya pada ‘orang
tua’. Pada situasi nilah kemudian kaum muda sering
ditinggalkan oleh kaum tua atau lebih tragis lagi adalah
dipanggil kembali perannya ketika dibutuhkan. Hal ini
diperlihatkan dalam perjalanan sejarah di era-era perubahan
bangsa mulai tahun 45, 66, 98 dan bahkan tahun 01 (era
Gusdur).
Mengapa hal ini terjadi ? Ada beberapa
kerangka penjelas dalam hal ini diantaranya adalah budaya
patron klient yang masih melekat pada kerangka berfikir
kaum muda. Artinya ada sebuah kesadaran bahwa sesuatu
gerakan terasa belum mantap kalau belum didukung atau
direstui oleh kaum tua ( patron ). Hal ini mempengaruhi
tataran pengambilan sikap dan posisi yang terkadang
tidak independen dan percaya diri.
Kedua, adalah adanya sebuah "ketidakpercayaan"
diri di kalangan kaum muda bahwa mereka belum saatnya
menjadi pemimpin secara publik, apakah karena kompetensi
maupun pengalaman yang belum matang. Sayangnya hal ini
terkadang ditanamkan oleh kaum tua kepada kaum muda
untuk mempertahankan hegemoninya atas kaum muda.
Ketiga, agar tak disebut sebagai gerakan
politik. Mahasiswa emoh menolak atau mendukung calon
presiden tertentu karena khawatir disebut mesin politik
sehingga fungsi gerakan moralnya ternodai. Padahal suatu
perubahan (setidaknya di Indonesia) menuntut adanya
sosok pemimpin yang akan membawa perubahan mendekati
keberhasilan. Jika tidak, maka pemimpin yang ada akan
selalu melakukan pengkhianatan.
Jika ingin reformasi berhasil, sudah
saatnya kaum muda dan mahasiswa berani mengambil alih
kepemimpinan. Atau setidaknya mencalonkan dan mendukung
penuh sosok muda yang terlahir dari barisan generasi
pembaharu dan mempunyai kredibilitas moral tinggi untuk
menjadi pemimpin bangsa. Nama seperti Abdullah Gymnastiar
mungkin menjadi salah satu alternatif.
Maka sebelum terlambat,
seluruh elemen pro demokrasi harus bergerak bersama
melakukan perlawanan rakyat tanpa menunggu Pemilu 2004,
apalagi ST 2003 yang tidak lebih sekedar perselingkuhan
dan konsilidasi status quo ! Atau cita-cita reformasi
akan terkubur kembali ![]
|