KESAN
NEGATIF PENGUSUTAN
BOM BALI
Oleh : Imam Mardjuki
TAK lebih dari sebulan,
polisi sudah mengungkap jaringan teroris pelaku peledakan
bom di Legian, Kuta, Bali. Padahal, dua minggu sebelumnya,
polisi masih berkutat pada ketidakjelasan. Amrozi (35 tahun),
warga Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, ditangkap dan
ditetapkan sebagai salah seorang tersangka pelaku peledakan.
Walaupun wajahnya tak mirip sketsa tersangka yang disebar
polisi, pria yang pendidikannya cuma sampai kelas 3 SLTP itu
oleh polisi dijadikan tokoh kunci peledakan bom di Bali.
Banyak pihak memuji dan memberi acungan jempol atas kesigapan
polisi. Namun tak sedikit yang meragukan kesahihan dan objektivitas
temuan Tim Investigasi Bom Bali. Mantan Kepala Bakin ZA Maulani
menyatakan, perakitan bom itu tidak mungkin dilakukan di Indonesia.
"Teman-teman saya yang sarjana kimia saja tidak bisa
buat bom sedahsyat itu," katanya.
Keraguan serupa juga diungkapkan Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD) Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, Ketua MPR Amien Rais,
dan pengamat intelijen juga mantan staf Bakin Soeripto. KSAD
secara tegas menyatakan tak percaya bom bali hasil rakitan
Amrozi. "Kami saja belum memiliki kemampuan memproduksi
bahan peledak secanggih itu. Bom yang meledak di Bali begitu
dahsyat, saya yakin itu dari luar negeri," tegas Ryamizard
(Suara Merdeka, 13/11/2002).
Keraguan, bahkan juga kecurigaan, terhadap proses pengungkapan
bom Bali sebenarnya sudah muncul sejak awal tragedi yang menewaskan
ratusan orang dan ratusan luka-luka itu. Respon negatif beberapa
kalangan itu dikarenakan adanya kesan negatif dari proses
dan arah pengusutan. Bahkan mereka curiga ada rekayasa dan
skenario global untuk menyudutkan kelompok tertentu.
Setidaknya, ada tiga kesan negatif yang mengemuka, yang bersangkut
paut satu sama lain. Pertama, adanya tekanan asing, khususnya
Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, dalam pengungkapan bom
Bali. Kesan ini bukan tanpa alasan. Belum lagi penyelidikan
dilakukan bahkan Tim Investigasi Bom Bali pun belum terbentuk,
Presiden AS George Walker Bush dan Menteri Luar Negeri Australia
Alexander Downer langsung menuding Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyyah
sebagai pelaku bom Bali. Kesan ini makin kuat ketika tuduhan
itu langsung diamini pejabat RI Menteri Pertahanan Matori
Abdul Djalil. Menhan menilai pelaku bom Bali adalah Al-Qaidah
domestik.
Sekedar mengingatkan, sampai detik ini, tak ada bukti keterlibatan
Al-Qaidah dalam peledakan gedung WTC. Direktur FBI Robert
Muller pernah mengaku tak menemukan selembar pun bukti yang
memberi indikasi Usamah dan Al-Qaidah terlibat. Sehingga pernyataan
bahwa Al-Qaidah dan Usamah itu teroris hanyalah tuduhan tanpa
bukti dan proses pengadilan, yang merupakan rekayasa AS untuk
misi tersembunyi. Bahkan karena merasa tuduhannya lemah, Presiden
Bush belakangan punya tuduhan baru bahwa pelaku tragedi WTC
adalah teroris Irak. (Republika, 10/11/2002)
Kesan pertama ini memunculkan kecurigaan, jangan-jangan AS-lah
dalang bom Bali. Pemerintah AS kecewa karena pemerintah Indonesia
di bawah kendali Presiden Megawati, paling lemah dalam mata
rantai global melawan terorisme yang dimotori AS dan sekutunya.
Pemerintah Singapura, Filipina dan Malaysia sebagai negara
tetangga Indonesia dianggap telah cukup serius berusaha menangkap
sejumlah tersangka teror, bahkan mengadili dan menahannya.
Sementara pemerintahan Megawati masih berdebat mengenai perlu-tidaknya
RUU Antiterorisme dan ada-tidaknya jaringan terorisme internasional
di Indonesia. Oleh karena itu, dengan ledakan bom di Bali
yang menggemparkan dunia itu, AS berharap Pemerintah Indonesia
tidak bisa mengelak lagi bahwa ada jaringan teroris di negaranya.
Selain itu, kecurigaan campur tangan AS juga diperkuat oleh
arah pengusutan yang terkesan mengabaikan kemungkinan keterlibatan
atau konspirasi pihak asing. Polisi dinilai menganggap angin
lalu temuan lapangan beberapa tim investigasi independen dan
analisis ahli bom bahwa jenis bom Bali adalah C4 atau sejenis
mikronuklir/termonuklir, yang diketahui hanya diproduksi oleh
AS dan Israel.
Jangan heran bila Presiden Majelis Pimpinan Pusat Ikhwanul
Muslimin Indonesia (IMI), Habib Husein Al-Habsyi, berkomentar
sinis bahwa apa yang terjadi di Bali seperti sinetron. George
Bush produsernya, Da'i Bachtiar sutradaranya, Edward Aritonang
operatornya, dan Amrozi pemain utamanya. (Republika, Minggu,
17/11/2002)
Apalagi Tim Investigasi Bom Bali yang dibentuk Mabes Polri,
dibawah komando Irjen Pol I Made Mangku Paskita, tidak bekerja
sendirian. Tim masih dibantu lagi oleh polisi negara luar,
seperti AS, Australia, Inggris, Perancis, Swedia, Jepang,
Filipina, dan Hongkong (Kompas, 17/11/2001). Meskipun hanya
"pembantu", bantuan yang diberikan polisi asing
itu menyangkut hal-hal vital dalam proses pengungkapan. Yakni,
menyangkut DVI (Disaster Victims Identification) dan CSE (Crime
Scheme Examination). DVI membantu mengidentifikasi para korban
yang sudah tidak utuh dan sulit dikenali. Sementara CSE membantu
membuat skema kejahatan. Di tengah keterbatasan teknologi
yang dimiliki Polri serta keunggulan teknologi polisi asing,
maka besar kemungkinan peran dan pengaruh polisi asing menjadi
kuat dan dominan dalam proses pengusutan yang dilakukan Tim
Investigasi Bom Bali.
Mendiskreditkan Islam
Kesan negatif yang kedua, pengusutan bom Bali cenderung mendiskreditkan
umat Islam, khususnya gerakan Islam. Tuduhan bahwa peledakan
bom dilakukan oleh Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyyah, penangkapan
Amir Majelis Mujahiddin Indonesia Abu Bakar Ba'asyir hingga
penggebrekan di Pondok Pesantren Al-Islam, seakan memperkuat
stigma bahwa tindak kekerasan itu dilakukan oleh orang Islam,
tepatnya kelompok Islam garis keras (militan-fundamentalis).
Kesan kedua ini juga ada kaitannya dengan uraian kesan pertama.
Perlu diingat, usai tragedi WTC dan serangan AS ke Afghanistan,
masyarakat Islam di Indonesia kerap berdemo anti-Amerika.
Ormas-ormas Islam malah sering menyuarakan penegakan syariat
Islam. Dari sinilah, AS mulai membidik Indonesia sebagai target
propaganda perangnya terhadap terorisme. Melalui propagandisnya
seperti Paul Wolfowitz, John Aschroft, Rohan Gunaratna, Lee
Kwan Yu dan Yael Shahr, AS menyebut Indonesia sarang teroris.
AS menuding Al-Qaidah telah membangun sel-sel pelatihan teroris
di Poso, Ambon, dan Kalimantan (Pesantren Hidayatullah), dengan
Abu Bakar Ba'asyir yang dicap pemimpin Jamaah Islamiyah di
Asia Tenggara sebagai pentolannya. Karena itu, wajar bila
ada anggapan penangkapan Ba'asyir oleh Polri beberapa waktu
lalu sebagai pesanan AS.
Bahkan, Koalisi Masyarakat Pemantau Independen Antiteror yang
dibentuk beberapa ormas Islam seperti KISDI, KAMMI, JMP, CIR
dll, menganalisis, pemilihan lokasi sasaran bom di Legian,
Kuta, Bali merupakan bagian dari skenario menggiring opini
publik bahwa pelakunya umat Islam (Saksi, 12/11/2002). Pemilihan
night club dan café sebagai sasaran ada kaitan dengan
fenomena sebelumnya dimana ada kelompok yang dicap "teroris"
melakukan perusakan tempat hiburan malam seperti Front Pembela
Islam (FPI).
Mengapa tempat hiburan favorit bagi turis asal Australia yang
ditargetkan? Sebab sebelumnya ada tokoh yang menantang pemerintah
Australia dengan garang, yaitu Abu Bakar Ba'asyir. Mengapa
Bali? Karena Bali merupakan "simbol wisata dunia"
sehingga mengundang perhatian masyarakat dunia secara luas,
sebagaimana peledakan gedung kembar WTC di New York sebagai
"simbol ekonomi global" dan gedung Pentagon sebagai
"simbol pertahanan negara superpower". Di samping
itu, tragedi Kuta juga mengingatkan orang pada penembakan
di kota wisata Luxor, Mesir tahun 1977 yang kebetulan melibatkan
organisasi bernama Jamaah Islamiyah. Organisasi berbasis di
Mesir inilah yang diasosiasikan berjaringan dengan Abu Bakar
Ba'asyir, dan selanjutnya berjaringan dengan Al-Qaidah pimpinan
Usamah bin Ladin.
Dan mengapa Indonesia yang dijadikan sasaran peledakan? Jawabannya
seperti yang sudah diuraikan di atas.
Ditunggangi
Kesan negatif yang ketiga adalah adanya kepentingan politik
yang menunggangi kasus bom Bali terkait pemilihan presiden
langsung dan Pemilu 2004. Siapa lagi pihak yang ditunjuk kalau
bukan Megawati, presiden sekaligus ketua partai politik. Mega
dianggap "sengaja membiarkan" pengungkapan bom Bali
makin menyudutkan umat Islam. Harapannya, citra tokoh dan
parpol Islam akan memburuk. Target akhirnya, Mega terpilih
kembali sebagai presiden dan partainya (PDI Perjuangan) menguasai
kursi di DPR dan DPD dalam Pemilu 2004.
Kesan atau lebih tepatnya isu ini barangkali berlebihan. Tapi,
sekali lagi, kesan atau isu tersebut benar-benar ada di masyarakat.
Dan sekali lagi, bukannya tanpa alasan. Apalagi sikap pemerintahan
Megawati sangat lemah menghadapi tekanan asing yang dinilai
mendiskreditkan umat Islam. Mega dinilai tidak tegar sebagai
pemimpin, dan gagal menjaga kewibawaan bangsa dan negara di
hadapan negara asing.
Jika isu ini meluas, apalagi benar, maka bisa memunculkan
kembali sentimen anti-Megawati. Perlu diingat, menjelang Pemilu
1999, Mega pernah digugat kalangan Islam karena mayoritas
calon anggota legislatif PDIP berasal dari kalangan non-Muslim.
Saat itu Mega juga dipertanyakan keislamannya karena pernah
bersembahyang di pura. Kalau sentimen ini menguat akan menjadi
batu sandungan tersendiri bagi Mega untuk kembali menduduki
kursi RI-1.
Munculnya kesan-kesan negatif di atas, yang juga penulis dapatkan
pada hampir semua aktivis gerakan Islam yang pernah penulis
temui, menunjukkan Polri gagal atau belum berhasil mengomunikasikan
kinerjanya dalam pengungkapan bom Bali kepada masyarakat.
Lepas dari benar-tidaknya penyebab munculnya kesan negatif
tersebut, Polri, dalam hal ini Tim Investigasi Bom Bali, perlu
membeberkan kinerja dan hasilnya secara transparan. Sebab
ini menyangkut objektivitas dan kejujuran.
Tindakan penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap Ponpes
Al-Islam, Desa Tenggulan, Lamongan dan siapa saja yang dicurigai,
telah menimbulkan keresahan di masyarakat, khususnya di Jawa
Timur. Sampai-sampai untuk mengatasi keresahan tersebut, Pemprov
Jatim bersama Polda, Kodam V/Brawijaya, PW NU, PW Muhammadiyah
dan MUI Jatim, Sabtu (16/11) lalu, perlu membentuk tim untuk
meminimalisir keresahan.
Sekali lagi, jika Tim Investigasi Bom Bali tidak menunjukkan
objektivitas, kejujuran dan transparansi, maka keraguan dan
kecurigaan yang ada bukannya hilang, malah makin bertambah
dan menguat. Masyarakat pun semakin resah oleh ketidakpastian
dan dicekam kekhawatiran: "Jangan-jangan saya nanti juga
ikut ditangkap dan dituduh teroris.".[]
|