KEBANGKITAN
KAUM MUDA
TUNTASKAN TRANSISI
Oleh : Akbar Zulfakar*
Tahun
pertama digulirkannya reformasi, sejak tumbangnya rezim
otoriterian Soeharto 21 Mei 1998 yang selanjutnya diserahkan
kepada Habibie untuk mengantarkan reformasi sampai pada
pemilu’99, saat itulah kita harapkan istilah transisi
menuju demokrasi itu berlaku. Lebih dari itu, besar
sekali resikonya kalau kita menganggap kondisi itu masih
bagian dari proses transisi. Karena indikator transisi
sangat sederhana, bahwa ketika tumbangnya suatu rezim
otoritarian, saat itu ada semangat di hati rakyat dan
bangsa ini untuk mengantarkan transisi menuju alam yang
demokratis.
Namun, ketika semangat itu meluntur, stagnan, membusuk
dan mati, maka saat itu pulalah transisi tidak boleh
lagi kita biarkan berlangsung. Usaha yang dilakukan
dalam membangun institusi demokrasi yang kuat telah
kalah cepat dengan matinya semangat di hati rakyat.
Dari kasus-kasus transisi demokrasi yang pernah dialami
oleh negara-negara Amerika Latin dan Eropa Selatan,
bahwa transisi demokrasi tersebut lebih memperkenalkan
kepada kita suatu pemindahan kekuasaan rezim otoriter
tertentu menuju ‚“sesuatu yang lain“
yang itu tidak pasti. ”Sesuatu” itu lebih
mengarah kepada ketidakpastian yang luar biasa, beserta
kejutan-kejutan besarnya, liar, mengandung dilema pelik,
banyak peristiwa-peristiwa yang menuntut pilihan-pilihan
dan tanggung jawab besar serta mengandung konsekuensi
berat secara etis, ideologis dan politis.
Dalam mengarahkan dan memprediksi masa depan, transisi
masih melibatkan unsur-unsur kebetulan dan tidak dapat
diramalkan, serta keputusan-keputusan krusial yang diambil
secara tergesa-gesa berdasarkan informasi yang tidak
lengkap dan dalam kondisi yang tidak tenang. Kondisi
seperti ini seringkali menjadi kisah romantisme masa
lalu rezim terdahulu, sembari menyesali dan menyalahkan
kebangkitan yang terjadi hari ini, seolah-olah lebih
mengarah pada gerakan yang menjauhi ”ketenangan”(sebagai
nilai lebih rezim terdahulu) dengan memberi kesan ‘kacau’.
Menurut Guillermo O’Donnel, ada
tiga kemungkinan yang dialami oleh suatu negara dalam
proses transisi; ”pertama, ‘sesuatu’
yang tidak pasti itu bisa jadi adalah sebuah pemulihan
suatu demokrasi politik kearah yang lebih baik”.
Kemungkinan ini bagi Indonesia tentunya sudah gagal
selama 5 tahun proses transisi berjalan, wajah demokrasi
itu belum juga memperlihatkan wajah demokrasi yang sebenarnya,
yang bisa kita dapatkan dalam proses transisi demokrasi
ini hanyalah sebuah ‘kebebasan’ semata tanpa
menyentuh substansi demokrasi yakni ‘keberdayaan’
rakyat.
Atau ”yang kedua, ‘sesuatu’
itu adalah sebuah restorasi bentuk baru yang mungkin
lebih buruk dari pada rezim pemerintahan otoriter terdahulu”.
Mungkin ini yang lebih tepat untuk wajah transisi demokrasi
kita, hasilnya hanya kekisruhan, yakni sekedar penggiliran
kekuasaan diantara serangkaian pemerintahan yang telah
gagal menyodorkan alternatif pemecahan yang dapat bertahan,
justru dapat diramalkan transisi ini hanya sebagai bentuk
pelembagaan kekuatan politik baru.
Atau kemungkinan ”yang ketiga, bahwa
transisi berkembang menjadi konfrontasi sengit dan meluas,
yang membuka jalan bagi kelompok-kelompok ‘revolusioner’
yang ingin memperkenalkan perubahan drastis dan radix
dari kenyataan politik yang ada”. Gearakan-gerakan
semacam inipun hari ini sudah mulai kita saksikan. Berbagai
macam tawaran-tawaran alternatif perubahan yang sangat
mendasar sudah mulai digagas, melihat arah reformasi
yang selama ini menjadi amanah penguasa baru selalu
di khianati.
Selama 5 tahun ini, kita sudah tiga kali terjadi pergantian
Presiden, dan semuanya kita lakukan dalam kondisi emergency
dan insiden. Dan hari ini, tepatnya 23 bulan kepemimpinan
Megawati, desakan-desakan ’turun’ (walaupun
terasa ’berat’ untuk menurunkannya) mulai
marak lagi demonstrsi di seluruh Indonesia. Permasalahan
sebenarnya adalah bukan bagaimana kampus gemuruh lagi,
aksi-aksi turun kejalan mulai heroik lagi dan semua
forum-forum diskusi mulai ramai membicarakan kejatuhan
Megawati lagi, tetapi Pemerintahan Megawati dinilai
lebih buruk daripada tiga rezim sebelumnya.
Konsolidasi rezim yang jauh lebih berbaya daripada rezim
status-quo sebelumnya (dengan perangkat UU yang telah
disiapkan), kran demokrasi akan disumbat kembali, ’wong
cilik’ semakin sengsara dengan jumlah rakyat yang
berada di bawah garis kemiskinan mencapai 60% (bagaimana
dengan jumlah rakyat yang berada pada garis kemiskinan?),
pengangguran sudah mencapai 40 juta jiwa, aset-aset
potensial dijual secara membabi buta, KKN semakin merajalela
(kalau Soeharto yang KKN keluarga dan orang-orang dekatnya,
tetapi Megawati sampai tetangga-tetangganya ikut KKN),
masuk dalam lubang yang sama dengan Buloggate III-nya
dan agenda reformasi tidak berjalan secara signifikan.
Inilah gambaran akhir transisi demokrasi yang kita alami
saat ini.
Akhir dari perjalanan transisi sebuah negara, sejarah
membuktikan bahwa hampir semua perjalanan transisi selalu
diwarnai oleh kebangkitan kaum mudanya. Munculnya gelombang
revolusi di Eurasia pada pertengahan abad XVII dan “era
revolusi demokratis“ akhir abad XVIII seiring
dengan meningkatnya jumlah angkatan muda yang begitu
besar di negara-negara Eropa saat itu. Kenaikan angkatan
muda Iran tahun 1970 mencapai 20%, mendorong terjadinya
revolusi Iran tahun 1979.
Konon, Reformasi Protestan merupakan salah satu contoh
sejarah gerakan yang dilakukan oleh kaum muda, sebagai
reaksi terhadap stagnasi transisi dan korupsi yang melanda
berbagai institusi, mendorong kearah sesuatu yang lebih
murni dan lebih sesuai dengan ajaran agama mereka.
Bahkan dalam sebuah penelitian salah seorang kelompok
militan Islam Mesir tentang posisi strategis kaum muda,
bahwa ciri gerakan Islam yang ambil bagian dalam proses
perubahan, hampir sama dengan ciri gerakan agama-agama
lain. Merka memiliki lima ciri khas; mereka adalah kalangan
muda, berusia sekitar 20-30 tahun, 80% dari mereka adalah
mahasiswa atau lulusan universitas, lebih dari setengahnya
berasal dari elite perguruan tinggi atau berasal dari
kalangan intelektual yang memiliki spesifikasi bidang
teknik dan kedokteran dan lebih dari 70% berasal dari
kelas menengah yang lebih rendah, sederhana tetapi tidak
berasal dari kalangan miskin, mereka angkatan pertama
yang memperoleh pendidikan di keluarganya. Merekalah
dalam sejarah yang berhasil memberikan manifestasi-manifestasi
politik kebangkitan masyarakat pada akhir abad XX. Kejayaan
sebuah negeri dicapai saat “kekuasaan politik“
berada di tangan mereka.
Realitas sejarah inilah yang menjadi kekeliruan terbesar
bangsa kita hari ini, ketika Kaoem Toea masih diberi
kesempatan untuk berperan dalam pengambilan keputusan
‘Politik’ negeri ini. Tanpa bermaksud mendikotomi
dan menghilangkan peran dan jasa yang sudah mereka sumbangkan
untuk perubahan negeri ini, secara subyektif dan obyektif
layaklah kiranya kita harus berani menempatkan keduanya
(Kaum Muda dan Kaoem Toea) pada posisi dan peran yang
semestinya.
Suatu yang riil kita saksikan sepanjang sejarah, bagaimana
Kaoem Toea dalam pengambilan keputusan politik negeri
ini tampak sekali keragu-raguannya, masih tampak malu-malu,
enggan mengambil resiko, koorporatif dan lamban. Semua
ini kita pahami sebagai suatu yang lumrah dan manusiawi
bagi mereka yang punya masa lalu. Masa lalu ini menjadi
faktor penghambat terbesar bagi seseorang pemimpin yang
akan mengambil keputusan saat ini. Apalagi masa lalu
yang pernah dilewatinya itu adalah masa lalu yang buruk.
Selama memimpin dia akan selalu dihantui oleh trauma-trauma
masa lalunya yang buruk itu.
Sangat bijaklah kiranya kita memberikan Kaoem Toea ini
kesempatan bagi mereka untuk lebih menyiapkan masa toeanya
itu dengan baik dan tenang tanpa lagi dibabankan amanah-amanah
yang akan melalaikan mereka dalam mempersiapkan masa
Toeanya itu. Sebagai bagian dari kelapangan dada, kita
doakan sekaligus agar mereka kelak menemui ajalnya secara
khusnul khaatimah.
Memang sangat menyolok dan beralasan perbedaan peran
Kaum Muda dan Kaoem Toea. Kaoem Toea adalah mereka-mereka
yang hanya tersisa masa lalunya dan sudah tidak punya
lagi masa depan, sedangkan Kaum Muda adalah mereka yang
belum punya masa lalu dan yang hanya punya masa depan.
Jadi, sangat arif dan bijaklah kalau hari ini Kaum Mudalah
yang mengambil peran Kepemimpinan ‚’Politik’
itu. Artinya Kekuasaan ‚’Politik’
sepenuhnya di tangan Kaum Muda, seperti adili Soeharto,
tangkap para koruptor, pemberantasan KKN, pemutusan
hubungan dengan IMF, cabut dwi fungsi TNI, Kebijakan
Operasi Militer, Rekomendasi amandemen UUD, pengawasan
penegakkan wibawa hukum dll., sedangkan untuk peran-peran
lainya tentunya tetap melibatkan Kaum Profesional, termasuk
itu Koem Toea yang punya kompeten di dalamnya.
Suatu hal yang penting dari pernyataan Samuel P.Hantington,
bahwa ‚“pada akhir perempat abad XX pengaruh
dan kiprah politik gerakan-gerakan Kebangkitan yang
dipelopori generasi muda yang berorientasi medern saling
berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya.
Namun, terdapat kecenderungan yang hampir sama.
Secara umum, gerakan-gerakan tersebut tidak memperoleh
dukungan dari para elite dan golongan Toea” (SPH,
The Clash of Civilizations and the Remaking of World
Order). Pernyataan ini jauh sebelumnya, 15 abad lalu
Muhammad S.A.W., pernah mengingatkan bahwa:” Risalah
yang aku bawa ini pertama-tama datang mendapat sambutan
dari Kaum Muda dan ditentang oleh Kaoem Toea”.
Dan tercatatlah barisan Kaum Muda saat itu diantaranya;
Ali bin Abi Thalib (15 tahun), Zubair bin Awwam (20
tahun), Utsman bin Affan (22 tahun), Ummar bin Khatab
(27 tahun), Abu Bakar as Siddiq (37 tahun) dan shahabat-shahabat
lainya yang juga masih muda di bawah 40 tahun usia Rasul
saat itu. Dan Kaoem Toea Makkah saat itu menenatang
dan bahkan memeranginya.
Kenyataan ini membuat Montgomori Watt (seorang Muhammadien
asal Prancis/pencinta rasul tapi tidak mau masuk agama
Islam) memberikan kesimpulan bahwa ISLAM adalah Gerakan
Kaum Muda. Karena tambahnya, kelemahan terbesar Kaoem
Toea adalah terletak pada lemahnya sisi berfikirnya
dan sisi pengorbanannya. Jadi, hari ini gagasan Kepemimpinan
’Politik’ Kaum Muda sudah harus dimulai.
Artinya kekuasaan ’politik’ sudah harus
ditangan kaum muda. Agar keputusan-keputusan politik
yang selama ini sudah kehilangan wibawa dan kredibilitasnya,
mulai menemukan kembali kewibawaan dan kelugasanya.
Ini sangat berarti sebagai awal bagi kita yang ingin
menuntaskan perubahan, mendambakan kemenangan dan merindukan
kejayaan bagi Indonesia Baru.[]
*
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat KAMMI
|