-----
Original Message -----
From: Jusuf
Achmad
Sent: Tuesday, March 28, 2006 3:17 PM
Subject: Bhinneka Tunggal Ika - Oneness
Greetings
with Love (Rahman) and Light (Rahim) from the One Infinite Creator,
Apa yang
terpampang pada lambang negara Indonesia Garuda - Pancasila, semboyan
"Bhinneka Tunggal Ika" mempunyai pengertian yang sangat
mendalam. Sepertinya hanya dapat dimengerti sepenuhnya oleh mereka yang
mempunyai "Kedewasaan Spiritual", seperti halnya dengan pengertian
mengenai "Wadatul Wujud" dikalangan Sufi atau "Manunggaling
Kawala Gusti" dalam Kejawen.
Antara
ungkapan dari orang Islam "Semua berasal dari yang Satu dan akan kembali
kepada yang Satu" mempunyai pertalian yang erat dengan "Walaupun
berbeda-beda tapi Satu" atau "Unity in Diversity" atau
"(Although) in pieces, yet One" (lihat keterangan di bawah).
Termasuk pemahaman terkini mengenai Holographic
Universe ( http://en.wikipedia.org/wiki/Michael_Talbot atau
http://www.geocities.com/jachmad/HolographicUniverse-SemuaSatuAdanya.htm
). Semua ini adalah pengertian-pengertian yang berkaitan dengan pemahaman
Tauhid, "Semua itu Satu adanya, sesungguhnya tiada Keberadaan selain
Dia".
"Semua
berasal dari yang Satu dan akan kembali kepada yang Satu", memberikan
indikasi bahwa kita sangat mungkin mempunyai jalan yang berbeda-beda,
namun semua akan berakhir ketempat tujuan yang sama. Ibarat kita semua
hendak mendaki sebuah puncak gunung tapi ditempuh dari sisi yang
berbeda-beda. Ada yang memilih jalan yang landai, ada yang lebih suka
melalui tebing yang curam, tapi yang pasti semua jalan mendaki (tidak ada yang
mudah). Setelah kita semua sampai dipuncak, yang paling menarik adalah
mendengarkan pengalaman yang berbeda-beda dari masing-masing
pendaki. Bahkan mereka yang paling lambat sampai di puncak bisa
mendapatkan pengalaman yang paling menarik. Ketika semua
sudah berada di puncak tidak relevan lagi siapa yang paling cepat atau
lambat sampai dipuncak, karena saat itu ruang dan waktu sudah mulai tidak
relevan. Pada titik itu kita semua mulai dengan perjalanan baru menuju
"langit", yang hanya bisa ditempuh dengan "jalan tanpa
jalan", menuju kembali ke alam ketakberhinggaan - kampung halaman
kita semua.
Jalan
jalan menuju puncak gunung itu secara garis besar terbagi dua yaitu Jalan
Cinta (tanpa pamrih) dan tentunya Jalan Tanpa Cinta. Tiap-tiap jalur
mempunyai jalan yang berbeda-beda, namun ada kesamaan prinsipil
bagi setiap jalur. Mereka yang mengikuti Jalan Cinta, tentunya
berusaha mempunyai kecintaan tanpa pamrih terhadap semua,
termasuk kepada mereka yang mengikuti Jalan Tanpa Cinta. Suasana
kedamaian dan kecintaan tanpa pamrih kepada semua menjadi
"energi" utama yang membawa mereka bisa sampai di puncak.
Perbedaan-perbedaan diantara mereka pasti ada, karena masing-masing entitas
adalah unik, ini pula yang menjadikan perjalanan menuju puncak
menarik. Suasana kedamaian dan kecintaan tanpa pamrih bisa
mencairkan perbedaan-perbedaan yang ada pada mereka. Sehingga
kerjasama lebih mudah terjalin dan timbul banyak sinergi yang bisa
mengantar mereka menuju puncak. Jalur ini biasa pula disebut dengan
Jalan Penyatuan, perasaan penyatuan/kecintaan dalam kesetaraan dengan yang lain
menjadi "energi" utama untuk bisa mengantar mereka sampai ke puncak.
Sebaliknya
di jalur Jalan Tanpa Cinta, persaingan menjadi "bahan
bakar" utama untuk kemajuan. Karena ketiadaan kecintaan
tanpa pamrih, kekerasan baik secara terang-terangan (Jalan Iblis) maupun
tersembunyi (Jalan Jin) sering terjadi. Masing-masing pihak secara terang-terangan maupun
tersembunyi menganggap jalan yang ditempuhnyalah yang terbaik. Secara
sadar tidak sadar ingin memusnahkan jalan pihak lain. Namun justru
persaingan dalam saling "memusnahkan" inilah yang bisa menimbulkan
"kegairahan" sehingga bisa mengantarkan mereka sampai ke
puncak. Jalur ini biasa pula disebut Jalan-jalan Keterpisahan, perasaan
keterpisahan dari yang lain (superioritas) menjadi "energi" utama untuk
bisa sampai ke puncak.
Dalam
persepsi mereka yang menempuh Jalan Cinta, semua jalan adalah sah-sah
saja, walaupun tentunya masing-masing pihak akan menanggung
konsekuensi dari jalan yang dipilihnya. Orang-orang memilih Jalan Cinta,
tentunya mempunyai kecintaan tanpa pamrih kepada semua.
Namun
mengapa orang-orang yang memilih Jalan Cintai ini banyak yang digiring ke
"Tiang Salib", ingin dimusnahkan oleh kaumnya sendiri?
Nabi Isa as
menjadi contoh yang banyak diketahui umum, lalu berapa banyak cerita
para Sufi yang menempuh jalan cinta tapi "digiring ke tiang
salib" oleh kaumnya sendiri (namun kadarnya berbeda-beda), termasuk yang
terjadi di tanah Jawa ini.
Jangan-jangan
secara sadar tidak sadar karena "ketakutan / kecintaan" mereka
kepada umat manusia yang mudah terseret oleh kegelapan lalu memerangi
kegelapan yang ada di dunia ini supaya bisa cepat-cepat membawa
manusia kepada cahaya. Padahal jelas kecintaan tanpa pamrih kepada semua
bertolak belakang dengan keinginan memerangi suatu pihak. Pihak-pihak
yang menjalani keterpisahan tentunya dengan tidak henti-hentinya memprovokasi
pihak-pihak di Jalan Cinta untuk keluar persepsi penyatuan dan masuk ke
persepsi keterpisahan. Begitu mereka masuk ke arena keterpisahan (walau
tidak terang-terangan) maka saling memusnahkan sudah menjadi norma yang
diterima bersama.
"Oh
Tuhan mengapa Engkau meninggalkan aku", bisa ditafsirkan bahwa ketika sisi
Ar-RahmanNya, sisi Kecintaan Tanpa PamrihNya, meninggalkan mereka maka sisi
Ar-RahimNya, sisi KeadilanNya, akan lebih dominan menyelimuti
mereka. Jika mereka ingin memusnahkan "kegelapan" bukankah bisa
pula berlaku sebaliknya. Namun jika mereka berhasil memusnahkan
"kegelapan" bukankah mereka justru mempromosikan Jalan Keterpisahan,
jalan tanpa cinta? Tapi bukankah dalam persepsi Jalan Penyatuan semua
jalan sah-sah saja? Bisakah anda merasakan paradox ini? "Tiada yang
cacat dalam ciptaan-ciptaanNya" (All is perfect the way they are).
Bumi ini
sedang dalam proses menuju Alam Kecintaan Tanpa Pamrih, oleh karena itu mereka
yang tetap istiqomah dalam kecintaan tanpa pamrih kepada
semua, sangat membantu proses ini. Karena saat ini lebih banyak
orang yang mempunyai persepsi ini, maka lebih banyak pula yang dapat masuk dan
bertahan dalam persepsi penyatuan ini, tidak terprovokasi masuk kearena
keterpisahan. Kalaupun ada yang terseret selalu ingat "Tiada yang
cacat dalam ciptaan-ciptaanNya".
Salam,
Jusuf
Achmad
Website: http://www.geocities.com/jachmad
PS:
Sebelum kita bisa mengexport budaya "Bhinneka Tunggal Ika" keluar,
tentunya perlu kita buktikan di negeri kita sendiri terlebih
dahulu. Tulisan ini terinspirasi oleh gagasan Swami Mitrananda, untuk mampu mengidentifikasi
hal-hal positif dari budaya negara sendiri yang bisa disumbangkan pada dunia
internasional.
Bhinneka
Tunggal Ika
The motto of Indonesia is Bhinneka Tunggal Ika which is Old Javanese and is often loosely translated as 'Unity in
Diversity' but literally it means '(Although) in pieces, yet One'.
This is a quotation from an
Old Javanese poem written in Indian metres, the so called kakawin or kawya.
This poem in question is kakawin Sutasoma, written by Mpu Prapańca during the
reign of the Majapahit empire somewhere in the 14th century.
This poem is particular as
it propagates the tolerance between Hindus (Shivaites) and Buddhists.
This quotation comes from
canto 139, stanza 5. The full stanza reads as follows:
Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnęki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnęka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Translation:
This translation is based,
with minor adapations, on the critical text edition by Dr. Soewito Santoso,
Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana, 1975:578. New Delhi: International
Academy of Indian Culture.
This entry
is from Wikipedia, the leading user-contributed encyclopedia. It may not have
been reviewed by professional editors (see full disclaimer)