Home | Refleksi Sinema

The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch and the Wardrobe (2005)

Kejatuhan dan Pemulihan Edmund

Oleh: Henry Sujaya Lie

Catatan: Tulisan ini semula muncul di milis penulis-kairos. Tertarik, dan merasa pandangan Mas Henry bisa memberikan sisi lain bagi pandangan saya atas film Narnia, saya meminta izin pada penulisnya untuk memuatnya di sini. Silakan menyimak! -- AS

Akhirnya film Narnia keluar juga. Penutup yang manis di penghujung tahun, walau mungkin tidak mampu menangkap keseluruhan jiwa dan semangat karya CS Lewis yang ditulisnya. Anyway, saya suka sekali menontonnya. Melihat setting panorama gunung salju, mahluk-mahluk yang unik dan aneh, membangkitkan sentimen fantasi yang menarik.

C.S. Lewis adalah seorang teolog dan apologis Kristen yang sangat cemerlang. Mungkin salah satu yang terbaik sepanjang masa. Beberapa karya intelektualnya tentang keimanan seperti "Mere Christianity". Atau kala dia bergulat dengan problem teodise atau tentang penderitaan dalam "The Problems of Pain". Pada masa Perang Dunia II, Lewis tampil sebagai pengisi acara rohani di radio, dan kemudian dikenal sebagai "rasul bagi kaum skeptis." Esei-eseinya yang disiarkan tersebut menegakkan dan menjelaskan iman Kristen yang memberikan penghiburan bagi jiwa-jiwa yang ketakutan dan terluka. Kumpulan esei-nya inilah yang diterbitkan di AS sebagai Mere Christianity pada tahun 1952.

Lebih dari sekedar seorang teolog, Lewis adalah juga seorang Professor Sastra di Cambridge. Dan tentu saja Lewis sangat dikenal karena karya-karya fiksi-nya. Tahun 1936, ia menyelesaikan buku pertama dari trilogi fiksi ilmiah berlatar ruang angkasa, Out of the Silent Planet. Bagian kedua, Perelandra, menyusul tahun 1943, dan bagian terakhir, That Hideous Strength, terbit tahun 1945. Namun, karyanya yang paling menonjol dan paling laris adalah tujuh jilid The Chronicles of Narnia (1950-1956). Jilid pertamanya, The Lion, the Witch, and the Wardrobe, yang kemudian diangkat ke layar lebar oleh Walt Disney dan Walden Media.

Dan jadilah kita dapat menonton kisah klasik tentang hikayat Narnia ini di layar lebar. Beberapa potongan momen yang menarik dari film ini, terekam dalam benak saya. Saat Lucy merona merah terpesona melihat Narnia pertama kali. Wajah terharu Tumnus ketika tersentuh hawa persahabatan setelah 100 tahun. Wajah kecewa si rubah ketika Edmund membocorkan keberadaan Aslan. Momen ketika Aslan berduaan dengan Edmund. Momen ketika Aslan dicukur dan diejek seperti kucing. Momen-momen perang dengan segala fantasi yang indah.... ya!

Lewis memang tidak pernah menulis interpretasi resmi tentang Narnia. Mungkin tiap-tiap orang punya interpretasi masing-masing. Sah-sah saja. Setelah menonton film itu, saya merasa bahwa sentral dari cerita itu adalah tentang Edmund. Bagi kebanyakan pentonton, tentu Edmund adalah tokoh yang menyebalkan, dan tokoh sentralnya adalah Peter yang benar-benar seperti pahlawan yang gagah berani.

Edmund, dikisahkan sebagai seorang anak nakal, tidak bisa dipercaya, tega-teganya melukai hati Lucy. Dan dia bahkan memilih untuk mengikut Ratu Narnia (yang merupakan metafora Setan), dan mengkhianati saudara-saudaranya. Dia tergiur untuk mengikuti jalan yang salah hanya karena permen Turkish Delights.

Memalukan, menyebalkan kelihatannya. Bagaimana mungkin Edmund mengikuti Ratu Narnia yang jahat hanya karena sekantung permen. Dan permen gaib yang palsu lagi! Apa dia buta tidak bisa melihat siapa si ratu kejam itu?

Ah, tapi bukankah juga dalam hidup kita? Banyak hal kita kejar, mimpi-mimpi yang kita peluk erat, di mata Tuhan cuma permen-permen semata. Dalam gelora hasrat kita semua mimpi kita seperti emas, permata, kemahsyuran. Padahal di mata Tuhan, itu cuma semangkuk kacang merah. Bagi Esau, yang rasanya begitu kelaparan, soal semangkuk kacang merah sudah seperti soal hidup dan mati. "Ah buat apa hak kesulungan kalau gua udah mau mati kelaparan nih..", begitu pikirnya.

Edmund yang malang! Dia kemudian menyadari sukarnya dan menderitanya hidup mengikuti sang Ratu yang tidak segan-segan menyiksanya. Dalam bahasa anak-anak, tentu Lewis cuma mengkisahkan seolah-olah dia dihukum dan dipenjara. Dalam kenyataan kehidupan, konsekuensi dosa adalah perih. Misalnya dalam cerita Samson yang merelakan panggilan Nazirite-nya di pangkuan Delilah, orang Filistin kemudian datang membutakan matanya dan menjadikannya budak dalam waktu yang cukup lama.

Edmund yang bingung! Dia tergoda untuk menjadi raja Narnia, seperti yang diiming-imingi oleh sang Ratu, dan bersedia mengkhianati saudaranya. Dia tidak tahu bahwa memang dia telah dipanggil untuk menjadi pangeran Narnia, dan bahwa Aslan menunggu-nunggunya. Adegan yang menarik adalah ketika sang rubah yang ditangkap sang Ratu, memberikan salam penghormatan kepada raja, maksudnya kepada Edmund. Namun ternyata Edmund tidak berkelakuan seperti raja malah melakukan tindakan pengecut. Wajah si rubah kecewa sekali.

Ah, berapa banyak dari kita yang melalaikan panggilan kita. Hidup tidak melewati rencana Allah seperti seharusnya. Akan tetapi Allah murah hati, pada akhirnya dia tetap menggenapi panggilanNya untuk kita. Edmund akhirnya tetap menjadi raja. Samson memilih jalan yang salah ketika dia ngotot menikahi gadis Filistin. "She is the right one for me!" teriaknya. Alkitab menulis bahwa Allah tetap membawanya untuk memenuhi panggilannya sebagai pelepas orang Israel dari orang Filistin, bahkan setelah dia memilih jalan yang salah, karena kesetiaanNya, walau tentu akhirnya dia menerima konsekuensi dosanya.

Edmund yang menyesal! Betapa menyesalnya dia ketika tahu bahwa harga dari sekantung permen Turkish delights itu adalah nyawa Aslan sendiri! Namun dia berjuang sekuat tenaga dalam perang, dan kini dia rela juga memberikan nyawanya. Tentu saja dia tidak mati, karena toh kisah ini adalah happy-ending, Lucy mengobatinya yang sudah sekarat. Namun tindakannya yang rela mati, menunjukkan bahwa dia kemudian rela memberikan nyawanya juga. Samson yang akhirnya menyesal dan rela mati juga, dan akhirnya benar-benar mati, juga menunaikan panggilan terakhirnya.

Hikayat Narnia adalah penghiburan bahwa Allah senantiasa memberikan kesempatan kedua, ketiga... dan seterusnya. Kita mungkin cuma seorang Edmund yang nakal. Tapi untuk seorang Edmund, Aslan rela mati. Untuk kita Kristus telah mati. CS Lewis sendiri mengkisahkan pertobatannya pada suatu malam di Oxford pada tahun 1929, "Saya menyerah, dan mengakui bahwa Allah adalah Allah, saya pun berlutut dan berdoa. Barangkali malam itu saya adalah petobat paling kesal dan paling enggan di seluruh Inggris." Ia menggambarkan dirinya sebagai "anak hilang yang marah, menendang, meronta-ronta ketika dibawa pulang, matanya jelalatan mencari kesempatan untuk lolos".

Lewis sendiri bergumul dari satu kepedihan demi kepedihan. Ibunya meninggal waktu dia muda dan meninggalkan bekas yang dalam. Dia menikah terlambat dan istrinya kemudian juga mati setelah itu. Namun, Lewis tetap mengenali bahwa Allahnya adalah Allah yang pemurah. Allah yang senantiasa memberi kesempatan. Allah yang senantiasa memulihkan. Allah yang setia. Allah yang menggenapi panggilan-Nya.

Ya, benar dia Allah kita.

Salju pun meleleh di Narnia. Dan Natal pun datang setelah masa 100 tahun tiada Natal. Bagi kita, setiap tahun gempita Natal selalu ramai di pertokoan, namun biarlah kita teringat kalau Natal adalah kisah yang indah. Yang mengingatkan, bahwa kita, walau seperti Edmund, adalah berharga di mata-Nya.

*****

*Singapore, December 2005*

*Sebagian paragraf tentang CS Lewis adalah dari buku Let's Go Into Narnia oleh teman saya Arie Saptajie. Trims ya, Mas.*
*To all the Narnians.... Aslan is on the move!*

Home | Film Favorit | Email

© 2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1