Home | Resensi Film

The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch and the Wardorbe (2005)

Film Narnia dan Penggemar Lewis yang Kecewa

Dalam perkara film yang diadaptasi dari novel bagus, saya cenderung bersikap begini: Kalau filmnya juga bagus, itu bonus; kalau filmnya jelek, terus kenapa? Toh saya masih bisa bergelung menikmati novelnya kapan saja saya ingin.

Film Narnia, ternyata, memporak-porandakannya. Alasannya gampang terkorek. Jujur saja, saya memasang investasi emosional amat besar pada kisah Narnia. Harapan untuk melihat sebuah adaptasi yang "setia" membengkak dalam dada saya. Kalau Andrew Adamson menghasilkan film yang buruk, rasanya malah lebih mudah memaafkannya. Masalahnya, ia telah membesut kisah fantasi C.S. Lewis ini menjadi film yang bagus. Tidak hebat, tetapi lumayan bagus; tiga bintang cukuplah. Namun, film Narnianya (selanjutnya kita sebut FN) gagal menggapai keunggulan, in my humble opinion, karena Adamson melakukan sejumlah penyimpangan kisah yang substansial.

Kita mulai dari yang sederhana dulu. Kita bandingkan dengan dua film fantasi adaptasi sebelumnya, The Lord of the Rings dan serial Harry Potter. Tantangan sutradara keduanya adalah merampingkan novel tebal itu menjadi film sintal-padat sepanjang kira-kira tiga jam. The Lion, the Witch and the Wardrobe, yang merupakan kisah pertama di Narnia (selanjutnya kita sebut KN1), sebaliknya, terpapar dalam novel yang ringkas saja (dalam perjalanan Jogja-Jakarta, saya sudah merampungkannya lagi sebelum kereta memasuki Cirebon). Dengan mengambil durasi 2 jam 20 menit, Adamson berkesempatan luas untuk menampilkan Narnia yang lebih berotot, dengan menonjolkan sisi-sisi penting kisah ini. Bukan itu yang dilakukannya. Ia seperti ragu-ragu untuk mengeduk seluruh kekayaan tanah Narnia, membiarkan sebagian petak terbengkalai, dan malah menggali dari tanah lain untuk membikin gundukan yang asing.

Jadi, "dosa-dosa" (hehe, seram amat!) FN bisa dipilah menjadi "dosa pembengkalaian" dan "dosa penggundukan". Karena keduanya kerap berkelindan, saya tak akan membahasnya secara terpisah. Namun, sebelum "menelanjangi dosa" FN, saya mencoba menerka, kenapa Adamson sampai luncas dalam membidik KN1. Kecurigaan utamanya saya: Ia berusaha mengekor sukses The Lord of the Rings dan serial Harry Potter, namun ia hanya tergiur pada keelokan teknis kedua film itu.

Meskipun sama-sama kisah fantasi, sasaran pembaca ketiga kisah ini berbeda. The Lord of the Rings untuk orang dewasa; Harry Potter untuk remaja; sedangkan KN1 untuk anak-anak. The Lord of the Rings dan Harry Potter sukses, menurut saya, justru karena kadar "kesetiaan"-nya tinggi, dengan memparalelkan sasaran penontonnya dengan sasaran pembaca kisah aslinya.

Tampaknya Adamson kurang pe-de kalau hanya menelurkan film anak-anak atau film keluarga. Kecakapan teknis pun dikerahkan untuk mewujudkan adegan-adegan yang diharapkan menarik minat penonton dewasa. Jadilah FN sebuah film yang tanggung. Bagi anak-anak, tentu sangat menegangkan; bagi orang dewasa, terselip bagian-bagian yang kekanak-kanakan. Promosinya, yang memancing calon penonton untuk membayangkan FN sebagai the next The Lord of the Rings, boleh dianggap menyesatkan.

Hampir tujuh dekade lalu, muncul sebuah film anak-anak yang memikat. Film anak, namun cerdas, "dewasa", dan mengandung pesona universal bagi orang dewasa sekalipun. Seandainya FN mengikuti jejak film klasik ini, hasilnya akan jauh lebih nendang. Film itu berjudul The Wizard of Oz, yang secara khusus dipersembahkan bagi mereka yang Young in the Heart. (Eh, sebenarnya jejak Oz juga muncul di sana-sini. Nanti akan kita lihat.) Sayangnya, Adamson memilih coba-coba ke Mordor, bukannya mengikuti jalan batu bata kuning Dorothy.

Di situlah "dosa asal" FN, yang membiakkan "dosa-dosa turunan" berikutnya.

Masuk ke Narnia

Kisah pertama Narnia tentang empat Pevensie bersaudara -- dari yang bungsu: Lucy (Georgie Henley), Edmund (Skandar Keynes), Susan (Anna Popplewell) dan Peter (William Moseley). (Sinopsis berdasarkan film, dengan sekali-sekali mengutip novelnya). Pada Perang Dunia II, mereka diungsikan ke rumah Profesor Kirke (Jim Broadbent). Ketika hari hujan, mereka bermain petak umpet, dan Lucy memasuki sebuah lemari. Setelah menyibakkan jubah-jubah yang tergantung di sana, Lucy mendapati dirinya tertusuk ranting pohon dan menginjak tanah bersalju, bukannya lantai lemari. Agak di kejauhan ia melihat sebuah tiang lampu dan kemudian bertemu dengan Pak Tumnus (James McAvoy), makhluk setengah manusia setengah kambing, yang menjelaskan bahwa kini ia berada di Narnia, negeri yang "selalu musim dingin tetapi tak pernah ada Natal" gara-gara ulah si Penyihir Putih.

Beberapa jam Lucy singgah di gua Pak Tumnus, namun anehnya, ketika ia kembali ke ruang kosong tadi, kakak-kakaknya masih di ruang sebelah dan tidak merasa kalau Lucy sudah pergi begitu lama. Tentu saja mereka sulit mempercayai cerita Lucy.

Suatu malam, Edmund membuntuti Lucy memasuki lemari itu. Ia sampai juga ke Narnia dan bertemu langsung dengan Penyihir Putih (Tilda Swinton). Ia dijamu dengan Turkish Delight, kue sihir yang "bila dimakan, maka orang yang memakannya akan selalu merasa menginginkannya lagi, demikian seterusnya sampai orang itu mati karena kekenyangan". Penyihir itu lalu menyuruh Edmund pulang dan mengajak saudara-saudaranya ke Narnia.

Dalam perjalanan pulang Edmund bertemu dengan Lucy yang baru saja mengunjungi Pak Tumnus. Namun, sesampai di luar lemari Edmund secara jahat menyanggah kunjungan ke Narnia itu, dan mengaku cuma berpura-pura. Profesor menengahi, membukakan kemungkinan bahwa pengalaman Lucy memang benar.

Akhirnya, mereka berempat memasuki Lemari Ajaib itu dan bersama-sama sampai ke Narnia, menemukan bahwa cerita Lucy selama ini benar adanya. Sedihnya, mereka menemukan gua Pak Tumnus berantakan dan ada selebaran yang menjelaskan bahwa Pak Tumnus ditangkap oleh pengawal si penyihir karena dianggap berkhianat dengan menolong Lucy.

Bertemulah mereka dengan Pak dan Bu Berang-berang (suara Ray Winstone dan Dawn French), yang menjelaskan apa yang tengah terjadi. Kedatangan mereka berempat, keturunan Adam dan Hawa, ternyata sudah diramalkan dalam sebuah syair kuno. Aslan (suara Liam Neeson), sang singa penguasa tertinggi bumi Narnia, juga dikabarkan telah muncul kembali untuk menghadapi si penyihir.

Di tengah-tengah percakapan itu, Edmund diam-diam menyelinap ke luar, berniat menemui Penyihir Putih. Ketiga saudaranya, dengan pertolongan Pak dan Bu Berang-berang, pergi menemui Aslan, meminta pertolongan.

Dalam mengisahkannya, Adamson mengerutkan penampilan sejumlah tokoh penting, membengkakkan tokoh lainnya, mengubah sifat dan karakter mereka, mengerat beberapa peristiwa yang menarik dan signifikan, serta menghadirkan beberapa tokoh dan peristiwa tambahan. Ada yang mengesankan, ada yang biasa-biasa saja, namun tidak sedikit yang mengesalkan. Berikut ini sebagian daftarnya. (Tentu saja, Anda harus siap-siap, saya akan membocorkan sejumlah plot dan juga akhir cerita.)

Nama-nama dan Penyimpangannya

Ny Macready si pengurus rumah, yang di novel hanya disebut sekilas, muncul cukup lama. Di novel ia terkesan disiplin dan tegas, di film ia menjadi galak dan nyinyir. Ini termasuk perubahan yang biasa-biasa saja. Asyiknya, kalau dipikir-pikir, ia mirip dengan Nn Almira Gulch dalam The Wizard of Oz. Nn Gulch menjadi prabayang bagi Wicked Witch of the West; Ny MacReady menjadi prabayang bagi Jadis, si Penyihir Putih. Ha!

Sebaliknya, Profesor Kirke mengerut dan malih wataknya. Di novel ia langsung muncul di halaman pertama, dan "keempat anak itu segera menyukainya"; di film ia baru muncul belakangan, dan dari peringatan Ny Macready, terkesan ia sosok cendekiawan serius yang enggan diganggu oleh anak-anak. Celakanya, saat kemudian ia muncul, dialognya dengan Peter dan Susan dipangkas, padahal semestinya di situlah ia dengan sabar menuntun anak-anak itu dalam membedakan antara kemustahilan dan keajaiban.

Keempat Pevensie bersaudara juga berubah. Peter, si sulung yang berbakat memimpin, menjadi si peragu yang gampang gusar dan cepat menyerah. Susan menampilkan anak yang mengedepankan logika dan kurang imajinatif, dan Anna Popplewell membawakannya secara canggung.

Lucy mewakili kepolosan dan kemurnian anak-anak yang penuh dengan keingintahuan dan ketakjuban. Georgie Henley tampil menawan. Namun, gambaran itu sempat buyar saat mereka berempat sampai ke Narnia. Ketika kakak-kakaknya menyadari kesalahan mereka karena tidak mempercayai cerita Lucy, alih-alih langsung memaafkan, Lucy meniru dulu ejekan Edmund dan bersikap, "Apa kataku tadi?" Hh, mau membuat Lucy lebih "manusiawi" ya?

Edmund mendapatkan penguatan karakter di film. Kita jadi lebih mengerti latar belakang sikapnya yang suka melawan: hubungannya dengan sang ayah terkoyak akibat perang. Namun, di bagian klimaks, Adamson melenceng lagi. Edmund, seperti di novel, menetakkan pedangnya ke tongkat sihir Jadis. Di novel, setelah bertemu Aslan dan diampuni pengkhianatannya, Edmund berubah, dan rasa syukur itu membangkitkan keberanian dalam dirinya. Pengalamannya bersama Jadis membuatnya tahu kelemahan si penyihir, dan menjadikannya pahlawan pertempuran. Di film, astaga, ia melakukannya karena... melawan perintah Peter!

Kesalahan serupa muncul dalam peristiwa yang membawa Pevensie bersaudara ke Narnia. Di novel, hal itu berlangsung secara tak terduga-duga, seolah-olah keajaiban Narnia sendirilah yang memanggil mereka. Di film, Adamsom berusaha mencari alasan yang lebih "masuk akal". Anak-anak itu ketakutan karena baru saja memecahkan kaca jendela. Ketika mendengar langkah Ny Macready mendekat, mereka menuju ruang kosong dan masuk berdesak-desakan ke dalam lemari. Mereka pun terdampar ke Narnia karena terpaksa, karena mengelakkan pertanggungjawaban. Hebat!

Maka, aneh, sesampai di Narnia, Peter, dan kerap didukung oleh Susan, berulang-ulang mengajak pulang. Di novel, pada mulanya mereka sempat berpikir untuk kembali saja ke balik lemari. Namun, begitu tahu kenapa mereka berada di Narnia, tak ada lagi tebersit pikiran untuk pulang. Bahkan nantinya, setelah menjadi Raja dan Ratu Narnia, peristiwa masuk lemari itu terasa seperti "mimpi di dalam mimpi".

Kalau ada bocah laki-laki yang, setelah berada di Narnia, merengek-rengek minta pulang, namanya bukan Peter Pevensie, melainkan Eustace Scrubb. Dan dia baru muncul di The Voyage of the Dawn Treader, bukan di The Lion, the Witch and the Wardrobe.

Melihat Peter di FN, pengin rasanya menjitak saja kepalanya. Ini Narnia, Bung! Ini dunia ajaib! Tampaknya Adamson lupa akan masa kecilnya, atau ia tidak pernah begitu asyik bermain di luar sampai lupa waktu. Bukankah Narnia seharusnya lebih memukau daripada sebuah permainan yang asyik?

Peter juga lupa: keluar-masuk Narnia itu tidak sesederhana keluar-masuk kebun binatang. Kalaupun ia memikirkan soal bahaya, tidakkah keadaan di balik lemari sama "berbahaya"-nya? Di London, perang bekecamuk. Di rumah Profesor Kirke, mereka harus berhadapan dengan Ny Macready - yang di mata kanak-kanak tampaknya nyaris seseram Jadis. Bukankah mereka tadi ke Narnia justru karena melarikan diri dari nyonya galak ini?

Omong-omong soal galak, kini kita berpaling pada... siapa lagi kalau bukan Jadis! Ini penafsiran karakter yang nyaris paling jitu dalam FN. Tilda Swinton sukses menampilkan sosok yang menguarkan kesadisan, kekejian dan kejahatan. Saya menyebutnya nyaris, karena Jadisnya lalu tampil terlalu kuat, lebih kuat daripada sosok yang semestinya paling perkasa di Narnia: Aslan.

Ya, Aslan mengalami perombakan paling parah. Di novel, ia memang baru muncul pada bab 12, namun prabayang akan kedahsyatannya sudah mencuat sejak di rumah keluarga Berang-berang. Dialah denyut kehidupan Narnia yang sesungguhnya, penguasa yang akan mempecundangi keangkuhan Jadis, mengubah musim dingin panjang menjadi musim semi. Mendengar namanya saja, Jadis keder. Jadi, semestinya, penantian akan Aslan bisa paling tidak semencekam penantian akan munculnya Kolonel Kurtz dalam Apocalypse Now.

Prabayang sekuat itu tidak terasa di filmnya, tidak memadai untuk memperkenalkan Aslan sebelum kemunculannya. Sampai-sampai ada penonton yang mengira, saat Bapak Natal muncul, dialah Aslannya!

Dan benar saja, saat Aslan benar-benar muncul ia tak seagung dan tak sedahsyat yang dibayangkan. Hal ini terutama terkesan dari sikap tokoh-tokoh di sekelilingnya. Di novel, ketika anak-anak Pevensie dan keluarga Berang-berang pertama kali bertemu Aslan, mereka nyaris temungkul, tak sanggup menatap langsung wajahnya. Respon mereka perpaduan antara kegentaran dan ketakjuban. Namun, lihatlah bagaimana Peter berbicara kepada Aslan di FN!

Begitu juga dengan Jadis. Di novel, ketika Aslan mengaum setelah perundingan soal Edmund, "setelah sejenak menatap dengan mulut ternganga, si Penyihri segera menyingsingkan gaunnya dan berlari menyelamatkan diri." Di film, taring Aslan kelihatan banget kalau diolah dengan komputer. Dan Jadis pun cuma mendelik! Kalau Aslannya seperti itu, ya memang pantas!

Hal ini berakibat pada peristiwa pokok dalam KN1: pengorbanan Aslan di Panggung Batu. Sebagai adegan, bagian itu pantas diacungi jempol sebagai drama yang menggedor hati. Namun, karena karakter Aslan telah dilucuti, peristiwa itu tidak lagi terpancar sebagai pengorbanan dari Sang Singa Agung, melainkan sekadar pengorbanan Si Kucing Besar.

Dan saat dia bangkit kembali, Aslan tak punya waktu untuk merayakannya dengan bergulung-gulung gembira bersama kedua putri Hawa. Ia begitu terburu-buru untuk segera menuju istana Jadis dan kemudian terjun ke dalam pertempuran. Ah, Aslan, kau begitu serius dan dikungkung oleh keadaan!

Mana yang Lebih Memukau?

Fenomena Aslan vs. Jadis mengingatkan saya pada pernyataan seorang psikolog. Menurutnya, para seniman cenderung lebih intensif dalam menggambarkan kejahatan daripada kebaikan. Karakter jahat kerap tampil pernuh warna penuh pesona; sebaliknya, karakter baik justru terkesan datar dan nyaris membosankan. Bayangkan saja Oliver Twist di tengah Fagin, Artful Dodger dan Bill Sikes. Atau, Charlie dibandingkan dengan keempat bocah saingannya di pabrik coklat Willy Wonka.

Dalam FN, kecenderungan itu tampak pula dalam pengeratan dan penambahan sejumlah peristiwa. Adamson mengerat keriangan makan siang nan menggugah selera di rumah keluarga Berang-berang, dan sebagai gantinya menambahkan serangan para serigala. Saat makan siang itulah seharusnya prabayang kehadiran Aslan dieksplorasi, namun taring-taring ganas antek si Jadis itu rupanya dianggap lebih seru dan menegangkan.

Peralihan dari musim dingin ke musim semi, bila digarap dengan dukungan teknik yang ada, menjanjikan pemandangan yang penuh pesona dan menggetarkan hati. Barangkali akan sehangat saat Maria memekik "The hills are alive!" dalam The Sound of Music (yang bergema dalam adegan megah serupa di Beauty and the Beast). Adamson malah berjingkat-jingkat dalam menggambarkannya, dan memilih menambahkan adegan memacu adrenalin yang tidak ada dalam KN1: anak-anak dan berang-berang dikepung serigala di atas sungai es yang tengah mencair! Perubahan dari musim dingin ke musim semi, itu memang sinyal bahaya bagi Jadis dan antek-anteknya; namun, bagi anak-anak dan warga Narnia lainnya, itu peristiwa yang menyemburkan sukacita, bukannya mengancam nyawa mereka.

Satu lagi. Peristiwa dihidupkannya kembali patung-batung batu oleh Aslan berpotensi menjadi adegan ajaib dan riuh rendah penuh kegirangan. Di novel, peritiwa itu menjadi satu bab tersendiri, diawali dengan, "Sedetik setelah Aslan meniupnya, patung singa itu tampak tidak berubah. Kemudian seberkas kecil warna kuning mulai menjalari punggung batunya dan kemudian, warna itu seolah-olah menjilat-jilati seluruh tubuhnya sama seperti berkas api menjalari kertas." Di film, cukup diwakili dengan hidupnya kembali Pak Tumnus. Yang digarap habis-habisan justru, mudah ditebak, pertempuran penghabisan melawan pasukan Jadis, yang di novel hanya diceritakan satu paragraf.

Kembali ke pertanyaan tadi, kenapa sosok jahat cenderung terkesan lebih memukau daripada sosok baik? Kenapa orang lebih terpikat dengan ketegangan adegan laga daripada sebuah makan siang yang riang dan bersahaja? Adakah ini hanya salah satu petunjuk kerentanan dan sungsangnya citarasa kita?

Entahlah. Saya hanya melontarkan tanya, biarlah mereka yang mumpuni mencoba menjawabnya.

Bagian yang Mengesankan

Saya memang kecewa dengan FN. Namun, saya tidak ingin menutup catatan ini dengan kekesalan. Saya mesti mengakhirinya dengan pujian.

Tentu saja pujiannya tidak seheboh teman saya, yang belum membaca KN1, dan seusai nonton ber-SMS, "Two thumbs up!!!" (ya, dengan tanda pentung tiga biji). Saya hanya bisa memberikan two thumbs up untuk penggalan awal sampai adegan Edmund menyanggah pengalaman pertamanya ke Narnia. Dan dua adegan paling memesona juga saya jumpai di situ.

Siapa yang tidak tercekat saat Lucy pertama kali memasuki hutan Narnia? Ketakjuban membuat sinar matanya cemerlang dan pipi montoknya merona! Menurut kabar, itu respon spontan Georgie Henley. Ia dibawa ke lokasi syuting dengan mata ditutup. Setiba di sana, tutup matanya dibuka, dan kamera pun sudah siap merekam ekspresinya. Sebuah adegan cemerlang, setara dengan saat Dorothy menyadari bahwa dirinya dan Toto tidak berada di Kansas lagi.

Lalu, sebuah sentuhan manis dibubuhkan saat Tumnus melepaskan Lucy kembali ke balik lemari. Ia mengucapkan kata-kata yang tidak ada di novel, "Kunjunganmu adalah kejadian paling hangat yang pernah kualami dalam seratus tahun terakhir ini." Hati saya ikut hangat mendengarnya!

Sebelum saya nonton, seorang teman lain ber-SMS, "Semoga kelak (FN1) menjadi film yang ditonton sesering Beauty and the Beast." Kini saya bisa menjawabnya: Tidak, jelas tidak sesering itu. Saya akan lebih suka meringkuk di dalam novelnya. Untuk filmnya, saya berharap Prince Caspian nanti diadaptasi lebih bagus: menjadi bonus yang memperkaya pengalaman baca saya. ***

Catatan: Semua kutipan novel dari C.S. Lewis, Sang Singa, Si Penyihir, dan Lemari Ajaib (Alih Bahasa: Santi W.E. Soekanto), Jakarta: Dian Rakyat, 1992.

Jogja, 20 Desember 2005

Home | Film Favorit | Email

© 2005 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1