Denmas
Marto | Forum Diskusi
Seks Vulgar dalam Novel01/05/2004 .... Pertama, karena aku bingung, karena banyak orang
Kristen yang suka cerpen model vulgar begitu. Dan anehnya mereka sangat "wow" dengan antologi cerpen Djenar, novel-novel Ayu Utami.
They said, "Great!" Apanya yang great?
Kedua, kecenderungan penulis dunia dalam memasukkan "bumbu sex" dalam cerita mereka cukup membuatku khawatir dengan dunia fiksi yang mulai aku selami. Apa harus
begitu?"
Topik menarik memang. Kalau secara pribadi, aku jengah. Bukannya sok moralis, cuma tahu diri saja.
That is one of my fragile points of temptation. Makanya setelah Saman, it's
enough. (Aku belum baca novel-novel "heboh" sesudahnya.)
Bukannya juga aku menentang adegan seks itu sendiri. Masalahnya adalah: Bagaimana seks itu digambarkan? Bagaimana implikasi moralnya? Salah satu penggambaran seks yang
tender ya kurasa Jhumpa Lahiri itu. Sebaliknya, yang membuatku muak dengan telenovela, walaupun tidak menyajikan adegan seks yang vulgar, misalnya, karena perselingkuhan digambarkan sebagai satisfying.
Contoh lain, bagian akhir Saman itu. Aku melihatnya sebagai ironi tragis orang modern. Mendiskusikan hal yang begitu intim (manusia adalah satu-satunya makhluk yang berhubungan seks
face to face) melalui jaringan internet, sebuah virtual reality.
Aku rasa kalau mau menjadi penulis yang baik memang perlu juga membangun "teologi" yang sehat tentang bagaimana menempatkan seks (mungkin juga kekerasan dan omongan
lucah) dalam karya-karya kita.
Oke, bagaimana tanggapan rekan-rekan lain? Yang bukan penulis juga boleh urun
rembug kok. Agar cakupannya lebih luas, boleh juga membahas adegan seks
dalam film. Ya, seberapa jauh batas-batasnya, dan sebagai penikmat (buku atau
film), bagaimana kita menyikapinya? Silakan!
Bisa juga kirim email ke [email protected]. 05/05 | Hendro Nugroho (Provo, Utah):
[Kembali ke Atas] [Kirim
Tanggapan]
03/05 | Ita Siregar (Jakarta):
Saya membaca buku Saman dengan rasa sayang yang
mendalam terhadap pengeksplorasian kata-kata yang
begitu hebat (menurut saya). Bahkan pada beberapa
episode, saya baca ulang dan saya nikmati benar
keindahan Ayu menemukan kata-kata untuk mengungkapkan
realitas yang dia bayangkan atau alami. Hebat bener!
Sampai ke halaman terakhir, saya memang rada kaget
(campur senang) juga dengan keberanian dia membeberkan
satu 'kondisi'. Saya merasakan pergumulan batinnya
ketika dia memutuskan menampilkan 'situasi' itu. Dia
kan tidak hidup sendiri, ada Tuhan, ada orang tua, ada
saudara, keluarga, ada mentor rohani, sahabat, dan
lain-lain, dan dia rela semuanya itu terbaca dan
dibaca oleh mereka. Dia pun rela pula (sebagian)orang
akan menyimpulkan bahwa kehidupan seksnya tidak
jauh-jauh dari apa yang dia tulis. Apapun alasannya,
dia telah berani mengambil risiko itu.
Dalam banyak hal, sebenarnya saya tidak setuju dengan
pandangan-pandangan Ayu.
Di hampir semua buku sastra yang saya baca(kebanyakan
ditulis laki-laki), selalu ada cerita seks (vulgar
atau tidak, siapa yang bisa standar menilai?)
Katanya sih para pengarang perempuan (muda) sekarang
ini sedang senang-senangnya menulis sensasi, menemukan
kebebasannya...
Menurut saya, tetap pe-de tanpa tulisan seks vulgar di
novel, tentu pilihan yang bagus.
[Kembali ke Atas] [Kirim
Tanggapan] 03/05 | Martha Pratana:
Seandainya saya ini bukan pengikut Kristus dan seorang
free thinker, maka saya tidak akan berkeberatan akan
penyajian seks ala Saman-nya Ayu Utami dll di era ini;
atau ala Pada Sebuah Kapal-nya NH Dini, atau Merapi Merbabu-nya AA Navis dll
dll.
Di dalam novel-novel itu seks memang disampaikan
secara eksplisit, tetapi sebenarnya "tidak
menjijikkan", malahan seks (bebas) di situ kelihatan
"beautiful" dan manusiawi. Beda dengan dalam novel
Bernapas Dalam Lumpur-nya Motinggo Boesye, misalnya.
Tetapi sejauh yang saya tahu, sebagai pengikut
Kristus, kita hanya mengenal seks dalam kerangka
perkawinan, dan bukan dalam kerangka "bebas" seperti
yang disampaikan oleh para penulis sekuler (yang
berbobot sekalipun).
Seperti yang kita tahu, di dalam sebuah tulisan
terkandunglah sedikit (atau banyak) pemahaman,
pemikiran, pendapat maupun falsafah dari para
penulisnya.
Maka saya tidak bisa "mengamenkan" seks eksplisit yang
mengandung pesan seks (dengan siapa saja) itu
beautiful jika dilakukan dengan sangat hati-hati dan
penuh pertimbangan (seperti yang dilakukan oleh Laila
dengan seseorang yang sudah beristri).
Seks yang dikemas dalam novel-novel tersebut dengan
pelan menggiring kita untuk mengatakan "why not" as
long as I know what I am doing with it. Di dalam
novel-novel tersebut memang tidak dengan kasar meminta
kita menyetujui seks bebas, tapi menggiring dengan pelan.
Maka pertanyaan saya, cocokkah dengan ajaran Kristus?
Dan selagi kita membacanya, tidak kita tergoda untuk berfantasi?
[Kembali ke Atas] [Kirim
Tanggapan]
©
2004 Denmas Marto |