Home | Artikel

Pernikahan Masih Penuh Berkat

Menikah?! Wah, cuma tambah masalah saja! Enakan melenggang sendiri. Pernikahan itu cuma menambah beban, bikin capek, isinya cuma cekcok melulu. Dan ujung-ujungnya: C-E-R-A-I!

Pernah Anda mendengarkan lontaran seperti itu? Mungkin tidak 'sesadis' itu, namun toh tetap diwarnai nada sinis dan skeptis terhadap lembaga pernikahan. Biduk pernikahan tak lagi dianggap sebagai jembatan menuju taman bahagia, namun malah dicibir sebagai perangkap yang menyulut neraka di bumi.

Pandangan pesimistis tersebut sedikit banyak disebabkan karena orang lebih banyak terpapar oleh potret-potret negatif pernikahan. Kapan terakhir kali Anda membaca tabloid yang memaparkan resep keharmonisan sepasang suami-istri yang telah mengarungi pernikahan mereka selama 40 tahun atau lebih? Bandingkan dengan berita kekerasan dalam rumah tangga dan kisah perceraian para selebritas yang lalu-lalang sebagai cerita sampul!

Tentu saja kita tak ingin menutup mata terhadap realitas memilukan itu. Namun, tidak pada tempatnya pula kalau kita lantas mengetukkan palu dan memvonis pernikahan sebagai lembaga yang sudah sekarat.

Masalahnya, kita terlalu sering mengutuki kegelapan. Padahal, pernikahan, bagaimanapun, tetap menjanjikan kecerahan. Masih penuh berkat.

Sebuah penelitian, misalnya, menunjukkan bahwa pernikahan justru memperbaiki kesehatan mental dan mengurangi depresi. Seperti dikutip Nova, "Orang yang tidak pernah menikah justru lebih besar kemungkinannya mengalami depresi. Banyak wanita yang merasakan kepuasan dan kebahagiaan hubungannya dalam ikatan perkawinan. Perasaan saling memiliki membuat seseorang merasa berharga, berguna, dan hal ini jelas membuat stabil kejiwaan seseorang."

Penelitian Prof. Nick Stinnett, kepala Department of Human Development and the Family di University of Nebraska di Lincoln, AS, membuhulkan kesimpulan serupa. Ia mengadakan "proyek penelitian tentang kekuatan keluarga". Kajiannya mencakup keluarga-keluarga yang kokoh dari berbagai latar belakang etnis, termasuk keluarga bahagia dengan orang tua tunggal.

Tim penelitiannya mengamati dan mewawancarai keluarga-keluarga dari Amerika Selatan, Swis, Autria, Jerman, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat. Satu saja kriterianya: keluarga itu harus menilai diri mereka sangat bahagia dan pernikahan dan sangat puas dalam hubungan orangtua-anak.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seperti, "Bagaimana kalian mengatasi konflik?", "Apakah kalian mengalami perebutan kekuasaan?", "Bagaimana kalian berkomunikasi?" Tujuannya tak lain untuk mengetahui apa yang menjadikan sebuah keluarga kokoh.

Hasilnya? Stinnett menulis, "Kami mempelajari 3.000 keluarga dan mengumpulkan sekian banyak informasi. Namun, setelah menganalisisnya, kami menemukan enam kualitas utama dalam keluarga yang kuat. Keluarga yang kuat itu: 1) berkomitmen pada keluarga; 2) meluangkan waktu bersama; 3) memiliki komunikasi keluarga yang baik; 4) mengungkapkan penghargaan pada satu sama lain; 5) memiliki komitmen rohani; dan 6) mampu menyelesaikan masalah di tengah krisis."

Wah, masing-masing aspek bisa menjadi artikel tersendiri ! Yang jelas, keluarga harmonis itu tidak terjadi begitu saja. Perlu tekad yang bulat, ketetapan hati, dan ketekunan untuk berlatih dan terus meningkatkan diri. Singkatnya, perlu keras.

Jadi, kalau Anda merasa pernikahan itu sebuah belenggu, tampaknya Anda belum mengerjakan PR dengan semestinya. ***

© 2006 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1