Home | Artikel

Memilah-milah Dosa:

Dari Dosa yang Mendatangkan Maut Hingga Dosa-dosa Kecil

Seorang teman melontarkan pertanyaan telak padaku, "Apa mas tidak terbebani secara moral untuk menonton film VCD hasil copy dari DVD?" Selain isu bajakan itu sendiri, yang mengusikku adalah caranya menyampaikan. Ia memilih frasa yang lebih meliuk: terbebani secara moral. Kenapa, pikirku, ia tidak lebih lugas saja, "Apa Mas tidak merasa berdosa nonton VCD bajakan?"

Menariknya lagi, saat kulontarkan hal itu dalam forum diskusi di milis internet, tidak ada yang menanggapi catatan kaki soal dosa itu. Yang menyebut kata dosa juga cuma dua orang; itu pun yang satu dalam tanda petik. Benarkah pernyataan Philip Yancey, bahwa kata "dosa" saat ini merupakan a word unsaid, sepatah kata yang kita jarang atau enggan mengucapkannya?

Dalam dunia literatur, menurut pengamatan Pdt. Dr. Robert P. Borrong, doktrin dosa juga sudah jarang dikupas. "Saat ini lebih banyak buku menyoroti dosa dari sudut moral, etis dan social... tidak lagi secara doktrin," kata ketua STT Jakarta ini.

Padahal, saat masih kecil dulu, dosa seperti sebuah momok tersendiri. Ingatan paling awalku tentang dosa, misalnya, lumayan ganjil, berkaitan dengan ikan. Saat itu kami sedang menguras kolam. Aku mengambil seekor ikan kecil dan memasukkannya ke stoples. Entah bagaimana, saking asyik memainkannya, ikan itu lalu mati. Temanku, anak pendeta setempat, mendesis, "Ih, dosa lho! Bunuh ikan!"

Lenyaplah kegembiraanku, dan sisa hari itu terasa buruk. Rasa takut mencekamku sampai beberapa hari kemudian.

Dosa juga membayang-bayangi saat kubaca komik tentang neraka. Komik itu memaparkan hukuman bagi tiap-tiap dosa menurut perspektif Islam, dimulai dengan ujian melewati titian serambut dibelah tujuh. Pembaca yang berusia kepala tiga ke atas kemungkinan pernah "diteror" oleh komik serupa.

Di sisi lain, mencuat pula slogan yang kemudian banyak tertera pada stiker atau kaus: "Muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga." Dalam semangat hedonistis ini, dosa bukan hanya tak diucapkan, namun juga sudah ditepiskan. Ya, ada apa sebenarnya dengan dosa?

Mendatangkan Maut

Apakah dosa itu? Pdt. Pengky Andu mengakui rumitnya menguraikan definisi doa. Ia memilih pemahaman yang sederhana. "Dosa menurut saya menyakiti hati Tuhan dan tidak bisa menyenangkan hati Tuhan," katanya saat dihubungi BAHANA di GBI REM Hotel Sheraton Media, Jakarta.

Alkitab menyatakan bahwa dosa telah masuk ke dalam dunia. Karenanya, entah diucapkan atau dibungkus dalam sebutan lain, kesadaran akan dosa muncul dalam setiap budaya. Setiap masyarakat juga memiliki kaidah-kaidah normatif tentang apa yang patut dan apa yang tidak patut. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, populer istilah malima, deretan lima hawa nafsu berbahaya: madat, madon, minum, mangan, main (narkoba, perzinahan, kecanduang alkohol, kerakusan, perjudian).

Literatur Kristen juga mengenal tujuh dosa yang membawa maut. Penulis-penulis klasik seperti Dante, Milton dan Chaucer pernah menggumuli isu ini. Billy Graham juga menulis buku khusus tentang hal ini. Tujuh dosa ini bahkan dijadikan bahan skenario film Seven, tentang psikopat yang "berkhotbah" dengan membunuhi orang-orang yang melakukan dosa-dosa itu - satu dosa satu korban.

Namun, Philip Yancey dalam buku terbarunya Rumours of Another World (2003) mengamati, "Di Amerika Serikat, paling tidak, tujuh dosa yang membawa mau boleh jadi sudah berganti nama menjadi tujuh kebajikan yang memikat." Kecemburuan, misalnya, dimanfaatkan dengan baik oleh industri periklanan. Apa yang rekan atau tetanggamu miliki, kau juga harus memilikinya - begitu kira-kira nada dasar bujukan iklan.

Alkitab sendiri, meskipun tidak memaksudkannya sebagai kategori, menyebut adanya dosa yang tidak mendatangkan maut dan dosa yang mendatangkan maut (1 Yohanes 5:16-17) serta dosa yang tidak akan diampuni (Matius 12:31-32).

"Sejauh yang saya baca dalam buku dogma yang lama, yang disebut sebagai dosa yang tidak dapat diampuni adalah dosa menghujat Roh Kudus. Dilakukan oleh seseorang yang dengan penuh kesadaran sudah menerima atau mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, tetapi pada suatu ketika dengan kesadaran yang sama mengingkari atau murtad," papar Pdt. Borrong.

Pendapat serupa diungkapkan Pdt. Pengky Andu, "Ada orang bilang dosa yang tidak dapat diampuni adalah dosa menghujat Roh Kudus. Menghujat Roh Kudus bukan berarti kita anti dengan kharismatik. Misalnya, Anda dan saya sudah lahir baru, mengalami mukjizat, dengan otak yang sadar menyangkalinya karena sebuah kepentingan, pindah dari Kristen ke Islam, menghujat Roh Kudus enggak juga. Sampai sejauh mana Kekristenan dia. Kalau Kristen KTP saja, saya pikir itu tidak menyangkut Alkitab. Tapi kalau dia sudah menjadi Kristen sunggguh-sungguh dan terima semuanya, tetapi tahu-tahu dia menyangkal untuk sebuah kepentingan, nah ini dosa yang tidak terampuni."

John Calvin menyatakan bahwa semua dosa melawan Allah adalah dosa yang serius dan membawa maut, tetapi tidak ada dosa yang dapat menghancurkan pembenaran oleh iman. Maut dalam pengertian keterpisahan kekal dari Allah hanya dialami oleh mereka yang tidak beriman kepada Tuhan Yesus Kristus.

Dosa Terpopuler

Bentuk dosa sendiri jelas berbagai macam. Namun, manakah yang paling mudah diendus?

William Suhanda, Ketua FKK DKI Jakarta, menempatkan ketamakan di urutan teratas. "Kalau dosa ini ditaruh di daftar survei dari seratus orang, mungkin ada 70 - 75 % dari mereka. Kemudian ada kesombongan, kesombongan diri dan kesombongan rohani," tegasnya. Ketamakan ini biasanya dipicu oleh perasaan tidak cukup dan tidak puas, tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Robert Borrong memprihatinkan kemunafikan. Pria sederhana ini mengatakan, "Di satu sisi kita berusaha memperlihatkan bahwa kita ini orang-orang saleh, orang percaya, beriman, tapi di pihak lain perilaku keseharian kita tidak mencerminkan yang kita klaim itu."

Secara khusus ia menyoroti ketimpangan umat dalam memahami dosa. Orang Kristen cenderung mengabaikan aspek moral dan sosial dari dosa. "Banyak sekali anggota jemaat yang memahami dosa itu semata-mata hubungan antara manusia dan Tuhan. Dan kalau itu dianggap sudah beres, maka apapun yang ia lakukan di dunia ini seolah-olah nggak ada artinya. Yang penting hubungannya dengan Tuhan beres. Banyak yang berpikir: yang penting rajin berdoa, baca Alkitab, ke gereja, kasih persembahan, maka korupsi nggak apa-apa, karena dosanya akan diampuni oleh Tuhan dan dosanya akan dibereskan dengan tanda-tanda kesalehan atau spiritualitas (hurufiah) tadi itu. Menurut saya ini kesalehan atau spiritualitas palsu."

Adapun Pengky Andu sering menjumpai orang-orang Kristen yang bersikap seperti bangsa Israel di padang gurun: suka mengomel alias tidak tahu berterima kasih. Dosa yang tampaknya sepele, namun mengakibatkan orang-orang Israel tewas di padang gurun.

"Ini dosa yang paling sering saya temui: dosa tidak tahu rasa bersyukur, dosa kerakusan, dan dosa yang tidak bisa memaafkan orang lain. Itu yang terbanyak. Kita bisa memaafkan tetapi tidak bisa menerima kembali, sama saja bohong 'kan?" ungkapnya.

Peluang Berbuat Dosa

Sebelum aktif melayani, William Suhanda adalah pengusaha sukses, dengan ekspor sampai ke Eropa Timur. Saat itu ia mengaku lupa Tuhan, banyak menghabiskan waktu di luar negeri, akrab dengan kehidupan malam. Saat Eropa Timur bergejolak, bisnisnya pun ikut berantakan. Ini antara lain yang mendorongnya bersungguh-sungguh melayani Tuhan.

Saat ini, sebagi ketua FKK dan ketua Yayasan Pelita Kasih, ia berkesempatan untuk melayani mulai dari kalangan pengusaha hingga kaum pemulung. Di situ ia menyaksikan betapa dosa tidak mengenal status sosial. Baik orang kaya maupun orang miskin, semuanya dihinggapi "penyakit" ini.

Di kalangan pemulung, misalnya, ia menjumpai ada dosa arogansi terselubung. Ia tidak jarang ikut menjadi juru damai kalau di antara mereka ada yang berdebat berebut kapling. Ada kapling yang subur, sampahnya banyak, ada yang sedikit. Apa komentar pemulung yang sudah mengenal Tuhan? "O, kamu dosanya banyak. Kamu kurang dekat sama Tuhan. Orang saya doa, makanya Tuhan kasih saya yang bagus, yang gemuk. Kamu kurang doa, makanya Tuhan kasih kamu yang begitu-begitu."

Motivasinya saja yang berbeda. "Kalau dosanya orang miskin, dia ngerampok untuk makan. Kalau orang kaya, dia merampok untuk beli Jaguar," kata Pengky Andu.

"Ini hanya menunjukkan bahwa hidup ini memang mempunyai godaan," tambah Robert Borrong di tempat lain. "Kalau ditanyakan mana yang lebih besar peluangnya, menurut saya, peluang orang kaya lebih besar karena cobaan terhadap mereka juga lebih besar. Kalau orang miskin berpikir hanya bagaimana bisa makan, tapi orang kaya macam-macam, termasuk salah di dalam membelanjakan uangnya."

Tak Bisa Dibedakan

Menurut R.C. Sproul dalam Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, Kekristenan mengakui adanya tingkatan dari dosa. Alkitab melihat ada beberapa dosa yang lebih jahat dari dosa lain. Ada derajat dalam kefasikan, sehingga ada derajat di dalam penghukuman sesuai dengan keadilan Allah.

Sayangnya, orang cenderung salah kaprah, lalu memilah-milah antara "dosa besar" dan "dosa kecil." Ia merasa aman selama hanya melakukan "dosa-dosa kecil."

"Jangan membedakan dosa," saran Pengky Andu. "Dosa mendatangkan maut. Kalau kita melanggar kadang-kadang maut ada di situ. Dosa yang paling sederhana mendatangkan maut. Cuma kita yang membedakan dosa. Waktu kecil kita lemparkan batu kecil ke kali tenggelam, batu besar juga tenggelam. Dosa sekecil apapun juga mendatangkan maut."

Ya, dalam perkara dosa, kita cenderung menggunakan standar penilaian kurva normal. "Orang kudus" dan "orang jahat" itu sama-sama minoritas, mayoritas adalah "orang-orang normal, orang baik-baik" - yah, nobody's perfect-lah!

Namun, kita menggunakan standar yang terlalu rendah. Kita membandingkan diri dengan orang lain - penjahat bejat, koruptor kelas kakap, diktator keji. Sebaliknya, Alkitab memperhadapkan kita dengan standar kebenaran Firman Allah sebagai tolok ukurnya.

Seperti dikatakan Sproul, "Alkitab menghadapi dosa secara serius, oleh karena Alkitab juga menghadapi Allah secara serius, dan menghadapi manusia secara serius. Pada waktu kita berdosa terhadap Allah, kita melanggar kekudusan. Pada waktu kita berdosa kepada sesama kita, kita melanggar kemanusiaan-Nya."

Dalam olah raga lompat tinggi, atlet yang bisa melompat setinggi 6 meter bisa merasa lebih baik daripada mereka yang hanya sanggup melompat setinggi 5 meter. Namun, alangkah bodohnya ia kalau dengan kemampuan melompat setinggi 6 meter itu, ia lalu berpikir bahwa dirinya lebih mampu untuk melompat ke bulan daripada orang-orang biasa lainnya. Di hadapan standar yang jauh lebih tinggi, barulah kelihatan kalau kita ini sama-sama payah (Roma 3:23). Bukankah begitu? *** (Didukung wawancara oleh eman, robby, ugie)

Dimuat di Bahana, Juni 2004.

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1