Home | Artikel

Karunia 'Kulit Badak'

Konon, satu-satunya cara paling aman untuk menghindari kritik adalah dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak berbuat apa-apa, dan tidak usah menjadi siapa-siapa. Dengan kata lain, mau tak mau kita memang mesti menyiapkan mental untuk menghadapi kritik. Stuart Briscoe menulis, "Kualifikasi bagi seorang pendeta (atau pemimpin Kristen manapun): pikiran seorang cendekiawan, hati seorang anak kecil, kulit seekor badak."

Nah, karena kritik adalah hal yang tak terelakkan, bagaimana menghadapinya? Berdasarkan artikel Rick Ezell di Christianity Today dan buku Tom Marshall, Pemimpin Efektif, saya ingin membagikan sejumlah tip.

Mengungkapkannya kepada Tuhan. Tanggapan pertama terhadap kritik adalah membawanya kepada Tuhan dalam doa. Jangan menghadapinya seorang diri. Dialah Gembala Agung kita. Kita perlu mendapatkan kekuatan dan ketenteraman di dalam hadirat-Nya. Ketika Ziklag hancur dan orang-orangnya bersiap melemparinya dengan batu, kita membaca, "Daud menguatkan kepercayaannya kepada Tuhan, Allahnya" (I Sam. 30:6).

Memetik pelajaran darinya. Kadang-kadang ada unsur kebenaran dalam kritik tersebut. Tom Marshall mengingatkan, "Kejujuran mendesak seseorang untuk mengakui bahwa ada saatnya orang yang sama sekali tidak tepat, pada waktu yang sama sekali tidak tepat, dan dengan motivasi yang sama sekali tidak tepat pula, menyatakan suatu hal yang benar-benar tepat." Nah, mengapa tidak memanfaatkan kebenaran itu untuk membantu kita bertumbuh? Alih-alih patah semangat, kritik dapat melecut kita untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kinerja.

Mengabaikannya. Kadang-kadang kita perlu mempertimbangkan sumber kritik tersebut. Kalau yang melontarkannya adalah biang protes, orang yang serba mengecam siapa saja dan apa saja, abaikan saja, tetap maju dan terus layani Tuhan.

Tidak gampang, memang, namun patut dicoba. Selamat mengembangkan karunia 'kulit badak' ini! ***

Dimuat: Renungan Malam, September 2003

© 2003 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1