Home | Renungan

Dari Kasih Mula-mula Sampai ke Pertobatan

G.K. Chesterton mengamati, kalau manusia menolak untuk percaya kepada Allah (seperti yang dinyatakan Kitab Suci kepadanya), ia bukannya akan tidak mempercayai apa-apa; sebaliknya, ia akan mempercayai apa pun yang lain. Pandangan ini dapat dirunut dari uraian Paulus dalam Roma 1 yang menegaskan, umat manusia itu pada dasarnya memang bukan atheis, melainkan penyembah-penyembah. Bila orang menolak Allah, ia akan "menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar" (Roma 1:23).

Itulah keadaan orang-orang yang berdosa, yang tidak mengenal Allah… Eh, siapa bilang? Waktu kita lahir baru, hati kita dipenuhi dengan kasih yang mula-mula, kita jatuh cinta pada Tuhan. Ke mana-mana bawa Alkitab, mulut penuh dengan pujian, ketemu orang penginnya bercerita tentang Tuhan, benak kita penuh dengan Yesus dan tidak peduli dengan yang lain. Dia terasa begitu dekat! Sampai kemudian, ia mengangkat hadirat-Nya. Mendadak kita merasa kering! Ke mana itu hasrat yang menggebu-gebu untuk membaca Alkitab dan mencari Tuhan? Kenapa mulut ini jadi bungkam dan susah memuji Tuhan? Hati kita yang dipenuhi cinta akan Tuhan itu lantas menjadi hambar. Dulu dimaki-maki karena menginjil masih tetap berlapang dada, kok sekarang berubah jadi bahan supereksplosif -- baru disenggol ujung bajunya saja sudah meledak marah-marah. Pendek cerita, keluarlah wajah asli kita. Atau mungkin tidak usah separah itu. Bisa jadi kita tetap rajin membaca Alkitab, berdoa, menginjil, ke gereja. Menari-nari, tetapi itu semua bukan lagi merupakan ekspresi kehidupan dan suka cita yang mengalir dari kasih kita kepada-Nya. Sebaliknya, kita sekadar harus, sekadar mematuhi peraturan, menjaga penampilan agar tetap saleh. Pada saat itu kita sudah murtad!

Murtad? Sadis amat! Oke, gambarannya begini. Suatu ketika waja Denmas Marto yang rupawan muncul sebagai cover majalah komputer. Bangga tentu. Eh, kemudian muncul pula gambar kecoa busuk, namun di bagian keterangan gambar tertera tulisan: "Inilah Denmas Marto." Wah, ngamuk-ngamuk saya pasti, protes berat. Tragisnya, itulah yang sering kita lakukan pada Tuhan. Ketika kasih kita kepada Tuhan menjadi tawar, tidak penuh lagi, sebenarnya kita telah "menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana" dengan yang lain. Sekalipun "yang lain" itu adalah sesuatu yang rohani -- katakanlah pelayanan -- itu tetap berhala! Kita menjadi agamawi. Kita merasa melayani Tuhan, padahal Dia sudah tidak ada di situ. Nah, apa itu kalau bukan penyembahan berhala?

Itulah sebabnya Tuhan menghardik jemaat Efesus dengan sangat keras. "Namun demikian Aku mencela engkau, karen engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula. Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh!" (Wahyu 3:4-5). Bila seorang dilepaskan dari roh jahat, namun kemudian membiarkan rumahnya (hatinya) kosong, maka roh itu akan mengajak tujuh roh lain yang lebih jahat daripadanya dan mereka akan masuk ke dalam rumah itu dan berdiam di situ. "Maka akhirnya keadaan orang itu lebih buruk daripada keadaannya semula" (Matius 12:45). Kemurtadan selalu lebih buruk, lebih jahat! Pantaslah kalau Rasul Petrus dengan penuh dukacita berteriak, "Karena itu bagi mereka adalah lebih baik, jika mereka tidak pernah mengenal Jalan Kebenaran dripada mengenalnya, tetapi kemudian berbalik dari perintah kudus yang disampaikan kepada mereka" (2 Petrus 2:21).

***

Di lantai tiga Green Garden yang masih setengah jadi, Minggu larut malam, Pak Eriel mengulangi apa yang disampaikan Bu Indri tentang pertobatan murni. Bertobat bukanlah sekadar menyesal, merasa bersalah, meratap, mengaku dosa, berusaha memperbaiki kelakukan, dan sesudah itu semuanya beres. Tidak. Pertobatan bukanlah pertobatan bila fokusnya masih pada diri kita sendiri. Pertobatan adalah metanoia, perubahan pikiran. Dan pikiran kita baru bisa berubah kalau hati kita berubah. Sewaktu melakukan dosa, hati kita rusak, tercemar. Keadaan ini hanya bisa dipulihkan dengan pertobatan murni, yaitu ketika kita bisa melihat dengan mata Allah, ketika kita bisa mendapatkan hati-Nya, dan menyadari kekejian dosa kita berdasarkan sudut pandang kekudusan-Nya.

Waktu itu saya menyadari, diri saya penuh kesalahan. Namun saya tidak mengerti spesifiknya apa. "Tuhan, tolong," pinta saya. Ketika kami menyanyikan lagu yang digubah berdasarkan Ratapan 5, Tuhan menyentuh hati saya. Dia mengatakan, "Coba buka di Ratapan 1." Di sana, di ayat satu, dikatakan: "Ah, betapa terpencilnya kota itu, yang dahulu ramai! Laksana seorang jandalah ia, yang dahulu agung di antara bangsa-bangsa. Yang dahulu ratu di antara kota-kota, sekarang menjadi jajahan."

Lalu Tuhan mengatakan, "Itulah kamu!" What? Aku -- kota terpencil, seorang janda, jajahan? Cara Tuhan mengungkapkan isi hati-Nya kadang-kadang ganjil. Baru kemudian Dia menyingkapkan, bahwa yang dimaksudkan dengan dahulu adalah potensi atau benih yang diberikan-Nya, segala berkat rohani di dalam surga yang dikaruniakan-Nya kepada saya. Tuhan menetapkan saya -- ya, kita semua -- menjadi keramaian bagi-Nya, agung di antara bangsa-bangsa, ratu di antara kota-kota. Namun, yang muncul justru perkara sebaliknya. Seperti dalam nyanyian tentang kebun anggur itu, "dinantinya supaya kebun itu menghasilkan buah anggur yang baik, tetapi yang dihasilkannya ialah buah anggur yang asam" (Yesaya 5:2). He, apa yang terjadi dengan diriku?

Kota yang terpencil -- rohku kering, terasing, terbuang, tidak dipedulikan. Kenapa? Firman-Nya mengatakan, "Jadi karena dalam Kristus … ada penghiburan kasih" (Filipi 2:1), namun saya malah mencari penghiburan di tempat lain. Alih-alih mencari Tuhan ketika kesesakan dan tertekan, saya menghibur diri dengan jalan-jalan ke Gramedia, membaca kisah-kisah Narnia, menelusuri internet, dsb. dsb.

Seorang janda -- bukan Dia yang "menceraikan" saya, namun sayalah yang tidak menjaga hati dan kehilangan kasih mula-mula itu. "Engkau telah membentuk kami bagi diri-Mu sendiri," kata Agustinus, "dan hati kami gelisah sampai kami mendapatkan perhentian di dalam Engkau." Nyatanya, tidak jarang saya bisa tidur nyenyak sekalipun tidak menemukan Dia. Saya bisa menjalani kehidupan sehari-hari tanpa mendengarkan Dia. Kalau terdesak deadline dalam menyusun warta jemaat, misalnya, dengan kepintaran menerjemahkan saya bisa tetap menyajikan artikel-artikel canggih yang cuma muncul dari gagasan baik saya, bukannya dari mengejar Dia dan bertanya, "Apa yang mau Kautulis minggu ini?".

Jajahan -- terus terang saya malu, setelah sekian lama lahir baru (September lalu genap 7 tahun), saya belum mengalami kemajuan yang sepatutnya. Penulis kitab Ibrani menegur, "Kamu telah lamban dalam hal mendengarkan" (Ibrani 5:11). Mentalitas dan manusia lama itu -- mulai dari mengasihani diri sendiri sehinga pergumulan seksual -- masih menahan perkembangan rohani saya -- saya masih dijajah.

Saya tidak bisa mengelak. "Ya, Tuhan, itu aku."

***

Esoknya, Tuhan membukakan perbedaan antara Yakub dan Lea (Kejadian 29). Tentang Yakub dikatakan, "Jadi bekerjalah Yakub tujuh tahun lamanya untuk mendapatkan Rahel itu, tetapi yang tujuh tahun itu dianggapnya seperti beberapa hari saja, karena cintanya kepada Rahel" (ayat 20). Betapa kuatnya cinta! "Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat…" (1 Yohanes 5:3). Kalau kita mengasihi Dia, kita akan menuruti perintah-perintah-Nya tanpa merasa berat. Itulah yang terjadi bila hati kita penuh dengan kasih.

Apa yang terjadi dengan Lea? Ia tidak dicintai Yakub, dan merasa dirinya menjadi korban. Tuhan sebenarnya memberkatinya dengan membuka kandungannya, namun karena kepahitan, ia menggunakan berkat itu untuk membuktikan dirinya. Perhatikan apa yang dikatakannya ketika melahirkan Ruben, Simeon dan Lewi: "Sesungguhnya Tuhan telah memperhatikan kesengsaraanku…"; "Sesungguhnya, Tuhan telah mendengar, bahwa aku…"; "Sekali ini suamiku akan lebih erat kepadaku…" (ayat 31-34). Menyebut-nyebut Tuhan memang, namun fokusnya tidak beranjak dari -ku, -ku dan -ku. Keegoisannya yang berbicara! Secara tersirat, usahanya itu gagal; terbukti setiap kali ia masih berusaha membuktikan dirinya. Berbeda sekali sewaktu kemudian ia melahirkan Yehuda (ayat 35). "Sekali ini aku akan bersyukur kepada Tuhan!" katanya. Sudut pandangnya berubah! Selanjutnya dikatakan, "Sesudah itu ia tidak melahirkan lagi" -- dengan kata lain, ia masuk ke dalam perhentian Tuhan.

Saya baru mengerti hubungan wahyu ini dengan penyingkapan yang saya dapatkan sebelumnya ketika saya membaca Revivals of Religion-nya Charles G. Finney, bagian yang membicarakan persiapan untuk suatu kebangunan rohani (bagian ini tersedia pula dalam bentuk traktat, berjudul Menggarap Lahan Hati). Berdasarkan Hosea 10:12, ia menantang kita untuk menghadapi dosa yang membuat hati kita keras.

"Tanah baru yang dimaksud dalam ayat ini adalah tanah garapan yang suatu saat pernah dibajak, namun kini mengeras dan dibiarkan terbengkalai. Tanah seperti ini perlu digarap lagi agar gembur kembali dan siap menerima benih-benih yang akan ditaburkan. Bila Anda bermaksud menggarap tanah hati Anda, maka Anda harus mulai dengan memperhatikan hati Anda, memeriksa keadaan pikiran Anda dengan saksama dan melihat bagaimana keadaan Anda kini. Banyak orang bahkan tidak pernah memikirkan masalah ini. Mereka tidak peduli keadaan hatinya, dan tidak pernah peduli apakah dalam perjalanan hidupnya dengan Tuhan mereka berlaku baik atau tidak, apakah kehidupan mereka menghasilkan buah atau tidak menghasilkan buah sama sekali. Saat ini Anda harus memalingkan perhatian Anda dari hal-hal lain dan merenungkan satu hal ini dengan saksama! Kerjakan urusan pertobatan ini dengan cermat, jangan tergesa-gesa."

Kemudian Finney menyodorkan pokok-pokok dosa yang perlu kita periksa dan kita hadapi dengan saksama. Saya terdorong untuk memeriksa daftar itu dan menerapkannya satu per satu.

Nah, pokok dosa yang pertama adalah… perzinahan, pembunuhan -- no, no, no! Yang tercantum pada peringkat teratas adalah: Ingratitude, alias tidak bersyukur, tidak tahu berterima kasih, baik yang kita lakukan sebelum maupun sesudah kita lahir baru. Saya tercenung. Tidak terlalu sulit untuk menyadari bagaimana sifat ini menggerogoti kehidupan saya, meskipun sulit untuk mengingat-ingat dan menggali rinciannya satu per satu. Jangan menggali sendiri; kita perlu Roh Kudus untuk menginsyafkan kita akan dosa, kebenaran dan penghakiman.

Tuhan mengingatkan saya, bahwa saya tidak bersyukur dilahirkan sebagai anak laki-laki ragil (bungsu) dalam keluarga ayah saya. Saya tidak bersyukur karena merasa tidak mendapatkan kasih dan perhatian yang memadai. Itulah yang membuat saya tidak bisa menikmati pernyataan diri-Nya sebagai Bapa. Tuhan juga menegur saya karena bersungut-sungut dalam pelayanan. Misalnya, kalau esuk umun-umun, pagi-pagi sekali, belum sempat berdoa dan baca firman, telepon di sekretariat sudah berdering (Dari mana? Tahu sama tahulah!), dan itu berarti ada tugas lakukan ini, lakukan itu, tidak jarang saya menggerutu. Keluhannya rohani lagi, "Memangnya pelayanan lebih penting daripada hubungan pribadi dengan Tuhan!" Singkatnya, sikap tidak tahu berterima kasih ini muncul, karena kita merasa diri ini menjadi korban.

Dalam Ulangan 28, setelah uraian tentang berkat dan kutuk, dinyatakan, "Karena engkau tidak mau menjadi hamba kepada Tuhan, Allahmu, dengan suka cita dan gembira hati walaupun kelimpahan akan segala-galanya, maka dengan menanggung lapar dan haus, dengan telanjang dan kekurangan akan segala-galanya engkau akan menjadi hamba kepada musuh yang akan disuruh Tuhan melawan engkau" (ayat 47-48). Ini keadaan yang jauh lebih buruk daripada tertimpa kutuk. Tuhan mau kita melayani Dia oleh karena kasih, atau tidak sama sekali. "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku" (Yohanes 14:15).

Buku Umpan Iblis karangan John Bevere menolong saya untuk meluruskan perspektif dalam hal ini (buku penting ini, silakan baca sendiri!). Saya juga dikuatkan melalui apa yang dibagikan Watchman Nee dalam Remuknya Insan & Keluarnya Roh: "Apa yang Kuberikan kepadamu adalah yang terbaik. Yang kamu temui setiap hari itulah faedah yang terunggul bagimu!" (h. 8).

***

Saya benar-benar bersyukur, minggu ini kita digempur habis-habisan dengan firman seputar pertobatan murni. Saya ditelanjangi, diguncangkan, malu, gelisah, namun yang membuat saya bersukacita, pada akhirnya semua itu mendorong saya untuk mendekati Dia, mengasihi Dia. Kenapa? Seperti pernah dikatakan oleh Rick Joyner, kita tidak berubah karena kita melihat kesalahan-kesalahan kita; kita berubah karena kita melihat kemuliaan Allah. Bertemu dengan Dia, dengan kasih karunia, itulah yang akan melepaskan kita dari dosa, dunia dan kedagingan.

Tapi, mungin ada yang bertanya, kenapa firman-Nya begitu keras? Ngapain Bu Indri mesti berteriak-teriak? Kenapa tidak lemah lembut? Bukankah maksud kemurahan Allah ialah menuntun kita kepada pertobatan? Mana kemurahannya? Katanya nubuat itu membangun, menasihati dan menghibur? Tetapi, persis seperti yang berulang-ulang ditegaskan Bu Indri, hardikan yang keras itulah hiburan!

Leonard Ravenhill dalam buku Mengapa Kebangunan Rohani Tertunda? memberi ilustrasi dari mitologi Yunani. Augeas, raja Epeian, memiliki ternak sangat banyak, termasuk dua belas banteng putih yang dikeramatkan untuk Helios. Selama bertahun-tahun kandang itu tidak pernah dibersihkan. Kemudian Eurytheus menyuruh Heracles membersihkan semua kandang dalam waktu satu hari. Apa yang dilakukannya? Ia menggelontorkan sungai Alpheus dan Peneus melalui kandang-kandang itu.

Kebusukan dan kejahatan dosa yang telah mencemari dan mengeraskan hati kita perlu digelontorkan dengan sungai firman yang keras, aliran pertobatan yang deras! *** (Gelora, 20 Oktober 1996)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1