Home | Renungan

Dua Ibu

Pada masa awal pemerintahanya, kebijakan hati Salomo diuji melalui perkara dua orang ibu yang memperebutkan seorang bayi. Kali ini kita tidak akan membahasnya dari sisi hikmat Salomo untuk menyelesaikan persoalan pelik itu, namun kita akan mempelajari perbedaan sikap di antara kedua ibu tersebut. Dari sini, kita dapat menarik pelajaran yang yang berharga mengenai hati seorang gembala.

Sikap kedua ibu itu dapat dibedakan menjadi dua sisi. Pada satu sisi, kalau bayi itu dibiarkan hidup keduanya sama-sama ngotot, sama-sama bersikukuh, bahwa dialah yang lebih pantas memiliki bayi itu. Pada sisi lain, kalau bayi itu dibunuh (bisa juga dibaca: terancam bahaya, kena celaka, dsb.): yang seorang membiarkannya, dan yang lain berusaha keras mencegahnya -- sekalipun ia harus kehilangan hak milik atas bayi kesayangannya itu. Dan kita pun dapat membedakan: mana ibu yang palsu, mana ibu yang sejati.

Demikian pula halnya dengan hati seorang gembala.

Dalam konferensi bersubtema Imparting Pastor's Heart minggu lalu, Bob Weiner menekankan perlunya bukan hanya belas kasihan bagi orang-orang yang terhilang, melainkan juga belas kasihan bagi mereka yang telah diselamatkan. Adalah suatu kehormatan bgi kita untuk dapat membawa seseorang kepada Tuhan, dan sesudah itu menolongnya bertumbuh, menjadi dewasa dan semakin menyerupai Kristus. Masalahnya, kerapkali kita terjatuh dalam kecenderungan untuk berapi-api dalam bersaksi dan menginjili seseorang, namun lalu kurang telaten ketika harus mem-follow up dan menggembalakannya.

Apa kaitannya dengan kedua ibu tadi? Kita melihat, kedua ibu tadi sama-sama berhasrat untuk memiliki kalau bayi itu hidup. Bayi yang hidup -- itu berarti kebanggaan, keberuntungan, berkat, kesenangan. Menyenangkan memiliki bayi yang hidup, dan kedua ibu itu sama-sama menginginkannya.

Namun, sikap keduanya menjdi tidak sama lagi kalau bayi itu mati. Kalau bayi itu mati -- ini bisa dibaca terancam bahaya, menghadapi masalah, penganiayaan. Kalau sudah sampai di sini ceritanya menjadi berbeda. Ibu yang satu membiarkannya, meninggalkannya. Itu 'kan bukan urusanku, apa peduliku? Namun, ibu yang sejati memilih untuk berdiri bagi kesejahteraan si bayi, semahal apa pun harga yang harus dibayarnya.

Seperti ibu yang sejati, seorang gembala juga akan berdiri membela, justru pada saat domba-dombanya terancam bahaya. "Akulah gembala yang baik. Gambala yang bagik memberikan nyawanya bagi domba-dombnya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhtikan domba-domba itu" (Yohanes 10:11-13).

Yesuslah gembala yang baik. Untuk dapat menjadi gembala yang baik, kita memrlukan impartasi hati gembala dari-Nya. Kita perlu mengenal dan meneladani Gembala Agung kita.

Pertama, kita perlu menyadari, bahwa setiap jiwa berharga. Setiap orang berharga karena ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri (Kejadian 1:26). Gembala yang baik mengenal domba-dombanya, "ia memanggil doma-dombanya masing-masing menurut namanya" (Yohanes 10:3). Dengan kata lain, kita perlu memperlakukan setiap orang sebagai seorng pribadi, bukan sekadar suatu angka, jumlah atau target.

Hal ini perlu diperhatikan, khususnya dalam membaca visi jemaat. Kita sering terpaku pada targetnya -- o, satu orang harus memenangkn sepuluh orang dalam enam bulan mendatang, atau dua orang setiap bulan. Akibatnya, tanpa sadar, orang-orang itu kita perlakukan sebagai angka-angka untuk menggenapkan target kita. Bukan, mereka bukan angka. Mereka adalah pribadi.

Kita dapat membangun sikap ini sejak awal, sejak kita bergerak menjangkau VIP. Orang-orang dalam daftar VIP kita bukanlah sekadar orang-orang yang sedang kita jangkau dan kita doakan. Lebih dari itu. Kita perlu ingat, inti penjangkauan VIP sebenarnya adalah: untuk menjadi sahabat orang berdosa. Menjadi sahabat -- itulah yang seharusnya menjadi fokus kita.

Menjadi sahabat menuntut pengorbanan. Di situ kita belajar untuk tidak egois, kita belajar untuk memperhatikan orang lain, dan menganggap kepentingan orang lain lebih utama daripada kepentingan kita. Di situ kita belajar untuk menjadi gembala yang baik -- menyerahkan nyawa bagi sahabat-sahabat kita.

Dengan demikian, kita juga akan terhindar dari bersikap seperti ibu yang palsu tadi. Kita menjangkau bukan sekadar untuk memiliki murid, bukan sekadar supaya orang bertobat dan ditambahkan ke dalam kelompok sel kita.

Sebaliknya, kita menjangkau karena kita mengasihani mereka, karena mereka berharga. Dan kalau mereka bertobat, kita tidak akan merasa berat untuk menggembalakannya. Kalau masalah datang, kita tidak akan angkat tangan dan lari, namun kita akan berdiri untuk membela kepentingan mereka. *** (Gelora, Minggu, 30 Agustus 1998)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1