Home | Renungan

Berdosa di Taman Eden

Kangen juga Denmas Marto tidak menulis catatan, termasuk beberapa kali absen sama sekali tidak terbit -- maklum, sibuk menjelang konferensi. Selama absen, sebagai gantinya dimuat lagi artikel tentang prinsip-prinsip kehidupan Kristen: individualitas, self-government, menabur dan menuai. Dan, bukan kebetulan, ternyata Rose Weiner menyampaikan bahasan yang sama dalam lokakarya di Sekar Jagad, Santika.

Kali ini, Denmas ingin membagikan tentang self-government di Taman Eden…

Banyak orang mengira, kehidupan di Taman Eden dulu itu sudah top-nya kehidupan rohani. Sebenarnya, itu justru baru permulaannya. Mau bukti?

Adam dan Hawa belum mengenal Allah sebagai Pribadi yang Mahahadir. Sampeyan pasti sudah akrab dengan kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Nah, kapan manusia berbuat dosa? Sewaktu Allah tidak "hadir"! Ya, Adam dan Hawa baru mengenal Allah sebagai Pribadi yang datang dan pergi di taman itu. Itulah sebabnya mereka repot-repot bersembunyi setelah memakan buah pohon pengetahuan itu: mereka berpikir bisa lari dari hadapan Allah!

Mereka belum sampai pada pengenalan yang dialami oleh Daud, yang menyadari: "Kemanakah aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau..." (Mazmur 139:7-8). Mereka belum mengenal Allah sebagai Pribadi yang "berkenan akan kebenaran dalam batin" (Mazmur 51:6). Oleh karena itu, mereka menakar kelayakan mereka untuk berdiri di hadapan Allah berdasarkan apa yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, sekalipun tinggal di Eden, mereka masih hidup dan berjalan dalam konsep Perjanjian Lama.

Dalam Perjanjian Lama, orang tidak mengandalkan anugerah, melainkan bergumul dengan kekuatan diri sendiri untuk menaati hukum Taurat. Kekuatan diri, alias self, ini pula yang tampak nyata dalam kehidupan Adam dan Hawa. Mereka diselubungi kemuliaan Allah ("telanjang... tetapi mereka tidak merasa malu" -- Kejadian 2:25") dan dalam persekutuan dengan Allah (Eden antara lain berarti place of delight, tempat kesukaan, yang melambangkan keintiman dengan Tuhan), namun mereka masih dipenuhi dengan kepentingan diri sendiri. Tawaran Iblis tentang "menjadi seperti Allah" (Kejadian 3:5) membangkitkan self mereka dan mengubah cara pandang mereka. Betapa mematikannya self (keakuan) itu!

Hanya ada satu solusi untuk mengatasi keakuan ini: ia harus mati disalibkan -- atau ia akan membunuh kita. Seperti diajarkan oleh Rose, salib adalah titik pusat peralihan dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru. Untuk masuk ke dalam kehidupan Perjanjian Baru, kita harus melewati salib ini. Di salib, segala sesuatu mengalami kematian -- sebagian harus ditinggalkan sama sekali, sebagian akan mengalami transformasi.

Dalam Perjanjian Lama, dengan konsep tentang hadirat Allah yang datang dan pergi, seperti yang dialami Adam dan Hawa, orang akan gagal untuk self-government. Sebagai gantinya, orang akan mengandalkan kinerja lahiriahnya yang sama sekali tidak memadai. Perjanjian Baru memperhadapkan kita dengan hadirat Allah yang terus-menerus: kita adalah bait Roh Kudus dan "di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada" (Kisah Para Rasul 17:28).

Hadirat Allah diam di dalam diri kita dan menyertai kita bukan untuk mengawasi kita: kalau kita berbuat salah kita akan dihukum, kalau kita bertindak benar kita akan diberi pahala. Tidak! Itu pekerjaan hukum Taurat (bandingkan dengan hukum gravitasi, yang tetap bekerja entah orang percaya atau tidak), dan itu kehidupan Perjanjian Lama. Perjanjian Baru melampaui hal itu. Perjanjian Baru berbicara tentang kehidupan yang dipimpin oleh Roh. Itulah sebabnya kematian diri di kayu salib itu menjadi sesuatu yang sangat menentukan. Lebih dari sekadar pengampunan dosa, kematian diri di kayu salib membawa kita pada keselamatan dari dosa dan memasuki kehidupan yang dipimpin oleh Roh.

"Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena menaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan" (Filipi 3:8-9). *** (12/10/1997)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1