Home | Renungan

Memahami Kasih Allah

"Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa, yang daripada-Nya semua turunan yang di dalam surga dan di atas bumi menerima namanya. Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat memahami kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah." -- Efesus 3:14-19

Memahami kasih Allah ternyata tidak sesederhana yang semula saya bayangkan. Sembilan tahun berjalan bersama-Nya (ya, seminggu lalu rupanya ulang tahun kelahiran baru saya), ternyata masih banyak dimensi lebar, panjang, tinggi dan dalam yang belum juga terpahami.

Secara khusus, saya melewati waktu cukup lama untuk dapat melihat dengan cukup jelas perbedaan antara siapa diri saya dan apa yang saya kerjakan. Siapa diri kita yang sesungguhnya adalah diri kita menurut pandangan Allah, diri kita di dalam Kristus. Hidup dalam dunia yang berdosa, terjerat dalam siklus menyakiti dan disakiti, mengaburkan pandangan kita terhadap realitas tersebut. Dunia menilai kita berdasarkan apa yang terlihat, apa yang kita kerjakan. Kita pun berpaling pada realitas semu. Alih-alih berjalan dengan iman, kita berjalan menurut penglihatan. Kita lalu mengurung nilai diri kita menurut apa yang kita kerjakan. Dan betapa menyakitkannya cara hidup seperti ini!

Saya ingat bagaimana ketika saya memandang kinerja saya identik dengan diri saya. Ketika saya gagal mengerjakan sesuatu atau melakukan suatu kesalahan, dan kemudian menerima teguran, saya merasa seluruh diri saya gagal dan ditolak. Sebaliknya, kalau saya berhasil mencapai suatu prestasi menonjol, ada dorongan yang kuat untuik pamer: Nih lho, hasil karya saya, hebat to! (Apa betul nih diri seseorang bisa berubah-ubah: sekali waktu sebuah sukses, saat berikutnya adalah suatu kegagalan?)

Akibat lebih buruk dari cara pandang yang salah itu adalah: alih-alih memperbaiki kinerja kerja, saya justru terjebak dalam kegagalan demi kegagaln yang sama. Kenapa? Kaena saya tetap menyandarkan diri pada apa yang saya kerjakan. Dan siapakah saya -- masakan saya, oleh kekuatan saya sendiri, sanggup mengubah keburukan menjadi kebaikan?

Dengan kata lain, saya sebenarnya terus berjalan dengan hukum Taurat, bukannya dengan kasih karunia. Seperti dibagikan Pak Eriel minggu lalu, orang yang berjalan dalam hukum Taurat membaca firman Allah dan kemudian berusaha melakukannya. Sebaliknya, orang yang berjalam dalam kasih karunia menerima firman Allah dan membiarkan firman Allah melakukan pekerjaan-Nya melalui dirinya. Betapa berbeda!

Dari sini saya menjadi semakin terbuka, betapa dahsyat apa yang didoakan Paulus dalam Efesus 3:14-20. Berakar dan berdasar di dalam kasih - ya, betapa akan berbedanya cara hidup kita bila kita berjalan di dalam kasih! Ketika kita menyadari, bahwa kita diterima dan dikasihi apa adanya. Ketika kita menerima kasih itu dalam suatu kepastian. Pada saat itu, kasih akan mulai mengerjakan pekerjaan-Nya di dalam diri kita. Kita akan mulai mengasihi Allah -- kalau Allah sudah sedemikian besar mengasihi kita, masakan begitu berat bagi kita untuk mengasihi Dia? Kita akan mulai mengasihi sesama kita -- kita akan melihat mereka sebagaimana Allah memandangnya, bukan berdasarkan apa yang mereka kerjakan. Demikianlah, kasih itu, seperti dikhotbahkan minggu lalu, membawa kebenaran dekat kepada kita. *** (27/09/1998)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1