Home | Renungan

Anugerah

Seorang laki-laki membawa beban yang begitu berat. Matahari bersinar garang. Debu musim kemarau menerpa dan terasa panas di kulit. Pohon-pohon di kiri kanan jalan meranggas, tak bisa dijadikan tempat berteduh. Kulitnya hitam terpanggang matahari, sekaligus berkilat-kilat oleh keringat. Tiba-tiba sebuah pick up bak terbuka berhenti di sisinya sambil menebarkan kepulan debu bercampur asap. Sopirnya menjulurkan kepala, dan dengan ramah mengajaknya naik. Betapa senangnya laki-laki itu! Singkatnya, dia segera naik ke bak belakang, dan pick up pun segera menderum pergi. Namun, aneh sekali, di atas pick up laki-laki itu masih juga memanggul bebannya. Betapa bodohnya!

Kisah yang kelihatan dungu dan tidak masuk akal, namun tanpa sadar sering kita alami dalam kehidupan rohani. Kita sudah diangkut oleh "pick up" anugerah, namun masih juga kita berpayah-payah berusaha memikul beban dan hidup merdeka dalam anugerah, kita masih erbungkuk-bungkuk diperhamba oleh hukum Taurat.

Kita lupa pada ajakan Tuhan yang ramah, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan" (Matius 11:28-30).

Belajar pada Yesus -- itulah kunci yang terluput. Penulis kitab Ibrani menasihatkan, "Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berloba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju pada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan..." (Ibrani 12:1-2a). Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan dari nasihat ini.

Pertama, kita perlu menanggalkan beban dan dosa. Tentang dosa, rasanya sudah cukup jelas. Adapun beban, yang dimaksud tentu beban yang salah (Yesus sendiri menegaskan adanya beban, namun Ia menandaskan pula, bahwa "Beban-Ku ringan"). Beban yang salah sama dengan ilustrasi tadi. Kita berusaha menjalani kehidupan Kekristenan kita dengan kekuatan sendiri. Ini sesuatu yang mustahil, sedangkan kita adalah daging. Daging tidak bisa mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.

Kenapa kita memikul beban yang salah? Karena kita memandang anugerah baru dari satu sisi. Anugerah baru kita terima sebagai kemurahan Allah yang telah menyelamatkan kita yang berdosa ini, dan berhenti di situ. Selanjutnya, kita harus berusaha sendiri untuk hidup dengan benar.

Untunglah, firman Tuhan tidak mengajarkan hal yang demikian. Anugerah bukan hanya kemurahan Allah yang membenarkan kita, namun anugerah juga merupakan kekuatan yang diberikan Allah untuk memampukan kita hidup dengan benar. "Ia (kasih karunia atau anugerah) mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini" (Titus 2:12).

Itulah sebabnya kita perlu mengarahkan mata kita pada Yesus, Dia yang penuh kasih karunia. Kita perlu menyadari betapa besar kasih dan persediaan yang dinyatakan-Nya kepada kita. Coba pikirkan hal ini: Kalau Dia bersedia mati untuk menebus kita, masakan setelah kita ditebus Dia tidak mampu menolong kita untuk hidup dengan benar?

Dalam Pilgrim's Progress (Perjalanan Seorang Musafir)-nya John Bunyan terdapat sebuah ilustrasi menarik mengenai hal ini. Dalam perjalanannya ke Celestial City, kota surgawi yang kekal, Christian suatu ketika singgah di rumah Juru Tafsir. Di sana ia antara lain menemukan gambaran berikut ini. Ada api yang menyala-nyala di muka sebuah tembok dan ada orang yang berdiri sambil berkali-kali menyiram api itu dengan air, akan tetapi api itu malah semakin berkobar-kobar.

Juru Tafsir menjelaskan, bahwa api itu adalah anugerah yang bekerja di dalam hati; orang yang menyiram air berusaha memadamkannya adalah si jahat. Lalu, mengapa api itu semakin berkobar-kobar? Juru Tafsir memperlihatkan apa yang sesungguhnya terjadi di balik tembok itu: Seseorang berdiri memegang bejana minyak dan terus-menerus, secara rahasia, menuangkannya ke dalam api itu.

"Kristuslah," kata Juru Tafsir, "yang terus-menerus, dengan minyak anugerah-Nya, memelihara pekerjaan yang telah dimulai-Nya di dalam hati orang."

Itulah sebabnya, bodoh sekali kalau kita, setelah menerima Kristus, berusaha melanjutkan pekerjaan-Nya dengan kekuatan sendiri. Bukan kekuatan kita, melainkan anugerah-Nyalah yang "mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun yang "memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan". *** (04/10/1998)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1