Home | Renungan

Mungkinkah Kita Hidup Kudus?

Kudus? Kita? Orang kudus itu mereka yang kepalanya dilingkari cahaya halo, 'kan? Kita 'kan orang-orang biasa.

Kekudusan cenderung dianggap sebagai keadaan yang "di awang-awang", sesuatu yang di luar jangkauan manusia biasa. Orang bahkan mencibir terhadap upaya untuk mengejar kekudusan, dengan komentar singkat melecehkan, "Sok suci!"

Dan pandangan semacan ini telah meruyak sekian lama.

Antinomianisme, aliran bidat kuno yang cara pandangnya semakin populer dewasa ini, menyatakan, bahwa manusia tidak dapat melakukan apa yang dituntut Allah untuk mereka lakukan, sehingga mereka bisa hidup sesuka hati mereka dan tetap bisa masuk ke dalam Kerajaan Allah.

Winkey Pratner berkomentar, "Berusaha menghindari cengkeraman legalisme (pembenaran oleh hukum Taurat), orang justru terjebak ke dalam ekstrem yang lainnya. Orang lalai, bahwa hukum Taurat adalah penuntun untuk membawa kita kepada Kristus (Galatia 3:24) dan 'justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa' (Roma 3:20). Lenyaplah khotbah mengenai tanggung jawab moral dari orang-orang seperti William Booth, George Fox, John Wesley dan Charles Finney yang membuar orang menangis terinsafkan; lenyaplah kehancuran hati oleh rasa hormat akan Allah seperti yang diserukan Pemazmur, 'Aku menjadi gusar terhadap orang-orang fasik, yang meninggalkan Taurat-Mu' (Mazmur 119:53;119:37).

Ada orang yang mengatakan, 'Allah memberi hukum-hukum yang baik, namun kita tidak mampu untuk melaksanakannya.' Kalau benar demikian, maka hukum Allah itu tidak baik! Suatu hukum tidak baik bila ia menuntut sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh penerimanya. Kalau Allah sampai menuntut ketaatan terhadap hukum-hukum yang mustahil untuk dilaksanakan, berarti Allah tidak adil, karena manusiapun tidak akan memberikan tuntutan seperti itu. Kalau Allah menuntut ketaatan seperti itu dengan ancaman hukuman mati, maka Allah bukan hanya tidak adil, tetapi juga mengerikan! 'Makhluk' macam apa Dia itu? Ini sebuah hujatan terhadap karaker Allah" (Youth Aflame, h. 78-79).

Jadi, mungkinkah kita hidup kudus?

Alkitab menjawab dengan tegas: Mungkin. Bahkan, hidup kudus itu normal.

Perhatikan, misalnya, Mazmur 119:9. Simaklah pertanyaan yang diajukan disitu: "Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih?" Yang dipersoalkan bukanlah masalah mungkin atau tidak. Persoalannya adalah: Dengan apa dan bagaimana caranya. Dengan kata lain, kalau kita menuruti "resep" yang diuraikan dalam Alkitab, kita dapat hidup kudus.

Alkitab dengan jelas menunjukkan, kekudusan adalah keadaan yang ditetapkan bagi kita sejak sebelum dunia dijadikan. "Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Efesus 1:3).

Kalau begitu, apa resep yang diberikan Alkitab, agar kita bisa hidup kudus? Sederhana saja. "Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu" (Mazmur 119:9b). Di bagian lain dikatakan, "Kamu telah menyucikan dirimu oleh ketatan kepada kebenaran" (1 Petrus 1:22a). Ketaatan kepada kebenaran -- "firman-Mu adalah kebenaran" (Yohanes 17:17b) -- menyucikan kita.

Minggu lalu kita belajar, bahwa kekudusan itu ditentukan oleh hati kita. Ya, ketaatan kepada kebenaran dimulai dari hati.

"Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap engkau; (Mazmur 119:11). Hati kita adalah tempat untuk menyimpan janji Allah, firman-Nya, bukan tempat bersarang aneka sampah dan kotoran dosa. "Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji" (Filipi 4:8) -- itulah yang sepatutnya disimpan di dalam hati.

Bila hati kita dipenuhi oleh firman-Nya, hatik akan menjadi semacam gudang amunisi yang siap mensuplai senjata-senjata penangkal sewaktu jiwa kita berperang melawan hawa nafsu daging dan tipu daya si jahat (bdk. 1 Petrus 2:11). Bila keraguan dan dusta menyerang kita, "semua yang benar" akan melawannya; bila keelokan dunia ini memikat kita, "semua yang mulia" akan memudarkannya; bila kira diperlakukan tidak adil, "semua yang adil" akan menyerahkan penghakiman pada Allah, Pembuat Hukum dan Hakim; bila percabulan dan kenajisan menggoda kita, "semua yang suci" akan memadamkannya; bila kepahitan mencengkeram hati kita, "semua yang manis" akan menyembuhkannya; bila berita celaka membuat kita gentar, "semua yang sedap didengar" akan menyegarkan jiwa kita; bila gosip dan suara si pendakwa saudara-saudara datang menerpa, kita menutup telinga dan mengarahkannya pada "semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji."

Itulah ketaatan kepada kebenaran. Itulah yang menyucikan kita. *** (19/06/1998)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1