Home | Renungan

Yogya: Air Kelapa Itu

"Barangsiapa minum air degan ini dalam sekali teguk, maka ia dan keturunannya akan memerintah di kawasan ini."

Elok! Ki Ageng Giring tergeragap di pucuk pohon kelapa itu. Degan (betul, yang kini biasa disebut es klamud itu) di depannya, yang hijau segar dan tampak berkilat-kilat memantulkan sinar matahari pagi, "berbicara"! Dengan khidmat dipetiknya buah itu dan dibawanya turun. Karena belum haus benar, disimpannya buah itu di atas para-para di dapur, dan ditinggalnya pergi ke ladang. Lalu, seperti biasa, terjadilah "peristiwa kebetulan" yang mengubah jalannya sejarah. Datanglah seorang sanaknya, Ki Ageng Pemanahan. Kehausan setelah berjalan jauh, ia langsung ke dapur mau mencari air kendi. Eh, dilihatnya degan yang sungguh menerbitkan air liur. Upaya Nyi Ageng Giring untuk mencegahnya tak digubris. Sekali teguk, ditenggaknya habis air kelapa muda itu untuk memuaskan dahaga.

Pulang dari ladang, Ki Ageng Giring tentu saja ngamuk-ngamuk menemukan degan-nya sudah ditenggak oleh Ki Ageng Pemanahan. Menurut Babad Tanah Jawi, ia akhirnya menguasai diri dan hanya meminta, keturunannya kelak boleh menyeling berkuasa di kerajaan yang akan datang kemudian. Namun, menurut cerita yang beredar dari mulut ke mulut, ia benar-benar mengamuk dan mengutuk, bahkan kendatipun Ki Ageng Pemanahan (kelak menjadi Panembahan Senopati, raja pertama Mataram) dan keturunannya mukti (berjaya), namun wilayahnya akan dilanda kekeringan. Konon, inilah yang membuat kawasan Gunung Kidul menjadi tandus kering kerontang.

Nyatanya, sadar atau tidak, "air kelapa" tanah Yogya ini benar-benar mujarab! Barangsiapa datang ke Yogya dan meminumnya, ia akan mukti! Namun, ia akan kena pula efek sampingnya, kutuk kekeringan itu. Artinya, ia akan dibuat semakin kehausan, sehingga saya ndadra (semakin menjadi-jadi) dalam apa yang digelutinya. Katakanlah yang seniman akan menjadi seniman "edan," yang ilmuwan akan kian suntuk menekuni ilmunya. Itulah Yogya!

Mau bukti? Di bidang seni? Jangan tanya lagi! Rendra, Mangunwijaya, Umar Kayam, Affandi almarhum, Bagong, Putu Wijaya, Nyoman Gunarsa -- barulah sebagian nama yang telah mengecap "air kelapa" Yogya, dan kemudian menjulang di jagad kesenian Indonesia dan bahkan dunia. Di bidang pendidikan? Lembaran sejarah pendidikan nasional kita diawali oleh Ki Hajar Dewantara dengan perguruan Taman Siswa dan konsep Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Jangan ditanya lagi berapa jumlah ilmuwan lulusan Yogya. Politik? Rasanya tidak perlu disebut-sebut pun orang sudah tahu. Anak desa yang menjadi smiling general, Bapak Presiden kita, bukankah beliau priyayi Ngayogyakartahadiningrat juga?

Belum lagi peran kota ini bagi bangsa kita secara menyeluruh. Zaman revolusi dulu, kota ini pernah menjadi benteng terakhir bagi republik yang masih muda waktu itu (yang belajar sejarah pasti tahu peristiwa heroik "enam jam di Yogya"). Dalam dunia pendidikan, siapa tidak kenal universitas tertua di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara yang tegak di kawasan Bulaksumur sana -- dan gara-gara Ashadi Siregar menyandang julukan "kampus biru"? Di desanya Denmas Marto, orang yang belajar di Yogja disebut "kuliah di Gama" - entah sebenarnya dia kuliah di universitas mana, pokoknya semua Gama. Sebutan kota perjuangan, kota pelajar, kota budaya, kota pariwisata, benar-benar bukan sekadar slogan asal bunyi. Dengan kata lain, kota ini benar-benar "Daerah Istimewa"!

Kalau mau dikatakan dengan sedikit mutakhir: There is a destiny in this city! Ada suatu tujuan dan ketetapan ilahi atas kota ini. Apa yang telah terjadi secara jasmani, tengah menunggu kegenapannya secara rohani.

Sudah waktunya kita katakan: Sudah cukup, Yogya. Sudah cukup banyak kota ini melahirkan tokoh-tokoh sekuler sekaliber itu. Sudah cukup lama kota ini hanya mengenal "air kelapa"-nya Ki Ageng Pemanahan yang sebenarnya berbayang-bayang kekeringan. Kota ini perlu mengenal air kehidupan yang sesungguhnya, karena barangsiapa minum "air kelapa"-nya Ki Ageng Pemanahan, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan diberikan oleh Yesus, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. "Sebaliknya," kata Yesus, "air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal" (Yoh. 4:13-14). Inilah air yang dibutuhkan oleh Yogya, yang bukan hanya akan membuat orang mukti, namun sekaligus mengakhiri kekeringan tadi. Untuk itu, kita perlu menjadi Elisa bagi kota ini. Seperti Elisa melemparkan garam ke dalam mata air di kota Yerikho, sehingga air itu menjadi sehat (2 Raja-raja 2:19-22), kita dipanggil untuk menjadi garam bagi kota ini.

Ya, Yogya telah melahirkan sederetan tokoh sekuler. Sekarang, tidakkah ini yang menjadi hasrat kita: Kapan kota ini melahirkan pahlawan-pahlawannya Allah? Kapan kota ini melahirkan orang-orang seperti Luther, Joh Knox, Cromwell, Jonathan Edwards, George Whitefield, John dan Charles Wesley, Charles Finney? Kalau dunia mengenal Paul of Tarsus yang menggentarkan seluruh Romawi dan membuat bulu kuduk Feliks berdiri, kapan mereka mengenal Denmas Marto of Yogya yang membuat bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap? Kapan kota ini bangkit menjadi Daerah Istimewanya Roh Kudus?

Kalau mereka, tokoh-tokoh weton Yogya itu, saya ndadra dan kian menghebat dalam bidang-bidang yang mereka geluti, kita semua perlu saya ndadra pula dalam mengasihi Allah, terbakar oleh cinta akan rumah-Nya, menjadi prajurit yang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, menjadi saksi yang tidak mengasihi nyawa sampai ke dalam maut. Pas benar lagu yang kita nyanyikan hari Minggu lalu sambil mengibarkan panji-panji (kita nyanyikan lagi kali ini?): Arise: This is the Final hour! 'Bangkitlah! Inilah saat-saat terakhir itu!'

Spesial buat Anda semua mahasiswa baru angkatan 1996/1997 di kota ini, selamat datang di medan pertempuran! Lebih dari sekadar menuntut ilmu disini, ada suatu panggilan ilahi bagi Anda semua. Nah, pilihan untuk meminum air kelapa atau air kehidupan itu ada di tangan Anda! *** (08/09/1996)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1