Home | Renungan

Ketaatan Abraham

Dalam In Touch edisi Juli 1997, Charles F. Stanley menulis tentang Abraham yang kuat di dalam roh karena ia berjalan dalam ketaatan terhadap Tuhan.

Allah menghargai ketaatan. Firman-Nya menyatakan, Ia lebih senang bila kita taat daripada kita mempersembahkan korban persembahan yang hebat dan mahal (1 Sam. 15:22). Dalam kehidupan Abraham, ketaatan merupakan prinsip yang memotivasi kehidupannya. Ia dengan rela menaati Allah, bukan karena hukum, melainkan karena kasih. Kalau kita mengasihi Allah, seperti dikatakan Rasul Yohanes, perintah-perintah Allah itu ringan. "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahku," kata Yesus (Yohanes 14:15).

Keputusan Abraham untuk mengikuti Tuhan bukanlah karena ia berpegang pada sederet hukum dan peraturan. Hukum Taurat belum diberikan pada saat itu. Sebaliknya, ketaatan Abraham murni dari hatinya yang menyembah Allah. Kalau memperhatikan kisahnya, kita akan segera terpikat dengan gambaran rinci mengenai imannya -- kerelaannya untuk meninggalkan kaum dan bangsanya demi ketaatan pada panggilan Allah; kerendahan hatinya di hadapan Tuhan ketika Tuhan menyatakan perjanjian; kerelaannya untuk mengorbankan anaknya bilamana perlu untuk mendemonstrasikan ketaatannya kepada Tuhan. Namun demikian, ada dimensi lain dari ketaatan Abraham yang sering kurang diperhatikan, khususnya dalam masyarakat saat ini yang dilanda kemerosotan moral dan rohani.

Sejak awalnya, Abraham mengambil keputusan yang benar. Ketika Tuhan memerintahkannya untuk pergi dari bangsanya, yaitu Ur-Kasdim, Abraham segera mengumpulkan kaum keluarga dan kawanan ternaknya dan bersiap pergi ke negeri yang akan ditunjukkan Tuhan. Kejadian 1:28 mencatat bahwa Abraham "pindah dari situ ke pegunungan di sebelah timur Betel. Ia memasang kemahnya dengan Betel di sebelah barat dan Ai di sebelah timur, lalu ia mendirikan di situ mezbah bagi Tuhan dan memanggil nama Tuhan."

Oswald Chambers menulis, "Betel adalah simbol persekutuan dengan Allah; Ai adalah simbol dunia." Memasang kemah di antara kedua kawasan itu menunjukkan bahwa Abraham harus mengambil keputusan. Hasratnya untuk menyembah Allah dan hidup oleh iman mengalahkan daya tarik kesenangan dunia ini, dan Abraham melanjutkan perjalanannya untuk menerima kepenuhan berkat Allah.

Masih ada ujian lebih besar yang harus dihadapi Abraham. Keponakannya, Lot, menyertainya meninggalkan Ur. Tidak lama kemudian tampak terlihat bahwa Abraham dan Lot harus berpisah. Abraham mengenal Allah, sedangkan Lot diam-diam ingin menikmati kehidupan duniawi. Ia secara sadar memilih hidup di lembah Yordan, tempat Sodom dan Gomora berada. Sebaliknya, Abraham melanjutkan perjalanan ke kawasan Kanaan yang bergunung-gunung.

Ada saatnya, Allah membentangkan di hadapan kita suatu kesempatan untuk memilih jalan-Nya atau jalan dunia ini. Pilihan ini mungkin berkaitan dengan pergaulan atau kegiatan tertentu. Segala sesuatu yang mengganggu ibadah kita kepada Tuhan harus ditinggalkan, kedantipun harganya sangat mahal.

Lot tidak berjalan dengan Allah, setidaknya tidak seperti kehidupan Abraham. Sikap berkompromi dan ketidaktaatan rohaninya inilah yang menjadi sumber rentetan kesulitan yang dialaminya. Sebaliknya, ketaatan Abraham menggerakkan hati Tuhan untuk memberikan kepadanya suatu janji yang luar biasa: "Lalu Tuhan membawa Abram ke luar serta berfirman: 'Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya…. Demikian banyaknya nanti keturunanmu…. Akulah Tuhan, yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim untuk memberikan negeri ini kepadamu menjadi milikmu'" (Kej. 15:5-7).

Ketaatan kepada Allah adalah karakter orang-orang yang kuat di dalam roh. Abraham bisa saja menuruti jalan yang ditempuh Lot dengan berdiam di antara orang-orang yang hidup dalam kepercayaan dan perbuatan yang jauh dari pengenalan akan Allah. Namun, kasih dan imannya kepada Tuhan membuatnya tetap teguh dalam komitmennya kepada Tuhan.

Allah selalu memberkati ketaatan. Sama seperti Ia memberkati Abraham, Ia berhasrat untuk memberkati kita setiap kali kita menaati Dia. Namun, seperti halnya Abraham, untuk berjalan dalam ketaatan, kita akan menghadapi tantangan, yang bisa jadi berarti menempuh jalan yang tidak populer bagi dunia ini. Akan tetapi, sebagai anak Allah, tidak ada lagi cara untuk menjalani kehidupan ini selain melalui iman dan ketaatan. Di luar itu, kita akan hidup jauh di bawah taraf yang ditentukan Allah bagi kita. Maukah Anda mengikuti jalan Abraham? *** (20/07/1997)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1