Home | Renungan

Jurus Persahabatan

“Walah, Mas, seharian keliling kampus mau nginjil kok nggak dapat mangsa,” celetuk Nazir begitu masuk ruang depan sore itu.

Denmas Marto, yang lagi mengetik terjemahan, mesem mendengar istilah baku itu. Mangsa – emangnya carnivora!

“Lho, kau masih terus menginjil dengan jurus pendekar pedang tunggal itu, to?” tanya Denmas setelah merehatkan mouse-nya.

“Ya, kebanyakan sih….”

“Bagus juga semangatmu. Tapi, kau mesti ingat, itu cuma salah satu jurus. Bukan satu-satunya jurus ampuh penginjilan.”

“Jadi bagaimana?” sahut Nazir sambil mengipas badannya dengan Light Club terbaru yang tergolek di kasur.

“Ya, kau mesti belajar mengembangkan jurus-jurus lain juga. Jurus yang lebih efektif, lebih luwes, dan boleh dikata bisa dipakai kapan saja, di mana saja….”

“Apa itu, Mas? Bukan Coca-cola, to?”

“Kamu nih kebanyakan nonton iklan! Ya, kita namakanlah jurus persahabatan.” Denmas memutar posisi duduknya. Komputer masih mengumandangkan Let Your Glory Fall-nya Don Moen, satu-satunya MP3 yang terpasang.

“Penginjilan itu ‘kan pada hakikatnya (Nazir menegakkan badannya. Kalau sudah sampai ‘pada hakikatnya’, berarti Denmasnya sudah mau serius mengajar) mengasihi orang-orang berdosa, menyentuh kehidupan mereka, untuk kemudian menyelamatkan mereka. Itulah sebabnya kita perlu bersahabat dulu dengan mereka, bukannya serba tembak langsung – ‘kau berdosa, kau harus bertobat, kalau tidak, kau mati masuk neraka!’ (Nazir nyengir manggut-manggut) Nah, dengan bersahabat, kau akan tahu kapan ia terbuka pada Injil. Kalau sudah begitu, baru kaubagikan Injil, jelaskan tentang dosa, jelaskan tentang hukum Taurat, jangan kompromi, sampai terguncang ambang pintunya.”

“Ambang pintu?” dahi Nazir sedikit berkerut. “Apa lagi itu, Mas?”

“Ambang pintu itu menggambarkan bagian yang paling kuat, bagian yang paling diandalkan dalam kehidupan seseorang. Itu bisa kekayaan, seperti pada anak muda yang kaya itu. Bisa juga yang lain. Masing-masing orang beda. Kaulatihlah karunia hikmat yang ada padamu.”

Nazir terdiam berusaha mencerna penjelasan Denmas.

“Emm, jadi bagian yang kalau kena tembak akan membuat orang itu tersadar akan dosanya – bahwa ia perlu Juruselamat. Begitu, Mas?” analisis mahasiswa sospol itu kemudian.

“Cepat pinter juga kamu! Begitulah kira-kira. Kalau sudah guncang, baru kautantang dia untuk bertobat, terima Yesus, bayar harga.”

“O, begitu, to. Pantesan dulu waktu aku gencar pakai jurus tembak langsung, lebih banyak teman yang ngacir, dan malah menjauhiku.”

“Betul. Injil terlalu berharga untuk disampaikan hanya dalam sepuluh-lima belas menit pada orang yang kautemui di jalan. Kecuali kalau benar-benar Roh Kudus mendorong kamu. Eh, kau sudah buka puasa? Makan, yuk! Mbakyumu tadi masak semur ayam kayaknya.”

“Lho, kita masih puasa, to? Walah, aku sudah makan di kampus tadi.”

“Ya, sudah, nggak apa-apa. Doa-puasa itu ya terus, teratur. Tapi, bukan berarti kita terus nyungsep di kamar lalu lupa menginjil, ‘kan?”

Nazir nyengir, mengikuti Denmas ke ruang makan. “Eh, Mas, Valentine Day nanti kita bikin creative night lagi, ya? Asyiiik….”

“Makanya kau perlu bersahabat, punya VIP, jadi bisa kauundang mereka. Kalau orang yang baru ketemu di jalan, mana mau?” kata Denmas sambil membuka tudung saji.

“Mbakyu Pucin… makan, yuk!” serunya pada sang isteri yang entah sedang apa di kamar. *** (28/01/2001)

© 2004 Denmas Marto

Hosted by www.Geocities.ws

1