HOME

TULISAN BERIKUT => SATU DUA TIGA EMPAT LIMA STOP

Kedudukan Ilmu Penyakit Hutan

Ilmu Penyakit Hutan mempelajari kerusakan pada tanaman-tanaman penyusun hutan dan upaya pengelolaannya. Di dalam profesi kehutanan, mempelajari kerusakan berarti mempelajari ilmu pengetahuan dan mempelajari pengelolaan berarti mempelajari seni. Sebagai ilmu, penyakit hutan mempelajari proses dan sifat-sifat kerusakan tumbuhan, sedangkan sebagai seni merupakan bagian ilmu kehutanan yang mengembangkan prinsip-prinsip dasar pencegahan dan manajemen kerusakan tanaman-tanaman penyusun hutan. Kerusakan hutan dapat disebabkan oleh faktor-faktor biotik (hewan, tumbuhan, mikroba) dan faktor-faktor abiotik (fisik, kimia). Faktor  biotik yang termasuk sebagai organisme penyebab penyakit (patogen) biasanya hidup pada atau di dalam tubuh tumbuhan penyusun hutan, sedangkan binatang yang merusak tumbuhan penyusun hutan disebut hama dan tumbuhan (semak belukar) yang hidup di sekitar tumbuhan penyusun hutan disebut gulma. Tanaman hutan yang dirusak (disakiti) disebut inang. Ilmu yang mempelajari penyakit, hama, dan gulma sekaligus adalah ilmu perlindungan hutan, sehingga ilmu penyakit hutan merupakan cabang dari ilmu perlindungan hutan. Di negara maju ilmu yang mempelajari penyakit pada kayu setelah ditebang dipelajari tersendiri di dalam ilmu penyakit hasil hutan.

1)     Penyakit dapat terjadi karena  gangguan proses fisiologi tanaman (meliputi  biji, bunga, buah, daun, pucuk, cabang, batang, dan akar). 

2)     Hutan sakit jika tanaman-tanamannya mengalami tekanan secara terus menerus oleh faktor-faktor biotik (hidup) non-binatang atau oleh faktor-faktor abiotik (fisik, kimia), atau serangkaian faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi. 

3)     Bentuk kerugian dapat berupa : kegagalan benih berkecambah, kegagalan bibit, kegagalan tanaman

4)     Penggolongan penyakit menurut manion (1981)

a)     Penyakit yang disebabkan oleh faktor biotik disebut penyakit menular (infeksius)

b)     Penyakit yang disebabkan oleh faktor abiotik disebut penyakit tak menular (non-infeksius)

c)     Penyakit yang disebabkan oleh serangkaian faktor (biotik & abiotik) yang saling berinteraksi. Penyakit pada HTI (hutan tanaman industri) umumnya cenderung disebabkan oleh golongan c) ini tetapi pada perkembangan selanjutnya sering terjadi dominasi oleh salah satu faktor yang didukung oleh faktor lainnya

Sejarah Penyakit Hutan

Ilmu Penyakit Hutan pertama kali dipelajari pada pertengahan abad 19. Robert Hartig (1830-1901) merupakan orang Jerman yang untuk pertamakalinya mempelajari hubungan antara hifa jamur dengan kayu lapuk dan badan buah yang terbentuk pada batang dengan tanaman yang bersangkutan. Di Kanada baru tahun 1908-1925 oleh Jonhn Dearness mengumpulkan dan mengidentifikasi organisme penyebab penyakit di hutan Ontario dan Quebec, sehingga diikuti oleh hutan. Akibat perang dunia dan perkembangan pasar dunia, organisme penyakit menjadi menyebar ke mana-mana, yang mengakibatkan kerusakan tanaman-tanaman hutan. Sebagai contoh, penyakit dutch elm dan chesnut blight di Amerika utara dan Eropa serta blister rust pada daun pinus di Amerika utara menyebar secara besar-besaran ke benua lain dan merusak tanaman-tanaman hutan ditempat baru. Kerusakan yang sangat membahayakan hutan ini menjadi pemicu semangat untuk mempelajari dan melakukan penelitian mengenai penyakit hutan.

Sejarah ilmu penyakit hutan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu penyakit tumbuhan secara umum. Menurut Hadi (2001) dalam bukunya yang berjudul ‘Patologi Hutan, Perkembangannya di Indonesia’ membagi perkembangan ilmu penyakit hutan di Indonesia menjadi empat periode.

1)     Periode sebelum tahun 1960

Gagasan mempelajari ilmu penyakit tumbuhan di Indonesia dicetuskan pertama kali oleh Prof. Dr. Ir. Toyib Hadiwijaya pada saat menjabat dekan Fakultas Pertanian di Bogor yang pada waktu itu masih di lingkup Universitas Indonesia. Pada waktu itu hutan yang utama diusahakan adalah hutan jati (Tectona grandis). Tanaman hutan selain jati yang sudah mulai diusahakan secara monokultur yaitu damar (Agathis dammara), tusam (Pinus merkusii), kesambi (Schleichera oleosa), sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni (Swietenia macrophylla), sengon (Paraserianthes falcataria), puspa (Schima noronhael), akasia mangium (Acasia mangium) dan akasia (Acacia decurrens).

Penyakit yang menarik perhatian pada periode pertama ini adalah penyakit karat (Aecidium fragiforme) pada damar, lapuk kayu teras (LKT), dan penyakit kecambah benih maupun bibit yang disebabkan oleh Pythium spp., Phytophthora spp., Rhizoctonia solani, atau Fusarium spp. Mikoriza sebagai jamur yang bersimbiose dengan akar tanaman hutan telah dibicarakan dalam matakuliah Silvikultur, tetapi sampai dengan tahun 1960 penyakit hutan tidak pernah dibicarakan meskipun di fakultas Kehutanan.

2)     Periode tahun 1960-1970

Pada periode ini dipelopori oleh Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi. Pada tahun 1961 penyakit layu yang diduga disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum diketahui merusak pertanaman jati berumur setahun sekitar 30% di Purwakarta Jawa barat. Pada tahun 1967, lapuk kayu teras (LKT) banyak dijumpai pada tanaman yang masih tegak di hutan. Pengamatan dan penelitian penyakit hutan periode 1960-1970 akhirnya dilaporkan pada ‘Simposium Regional Asia Tanggara Penyakit Tumbuhan di Daerah Tropis’ di Yogyakarta pada tahun 1972.

3)     Periode tahun 1970-1984

Pada dasawarsa 1970-1980 penelitian penyakit tumbuhan hutan mulai dilakukan, tetapi masih pada penyakit semai atau bibit di rumah kaca. Ektomikoriza dipelajari dari segi bagaimana lingkungannya, tipe tanah dan pemupukan yang berpengaruh terhadap perkembangannya. Pada tahun 1976 penyakit hutan telah dilaporkan pada simposium yang membicarakan masalah hama dan penyakit hutan di Asia Tenggara diselenggarakan oleh Biotrop.

4)     Periode setelah tahun 1984

Setelah tahun 1980-an penyakit hutan boleh dikatakan telah mendapat perhatian tersendiri seiring dengan banyaknya hutan industri yang kita kembangkan.

Arti penting penyakit bagi pengelola hutan

Dapak penyakit dapat terjadi mulai dari benih sampai tingkat hasil hutan. Benih yang sakit akan kehilangan daya kecambah atau kalau masih mampu tumbuh akan mengalami hambatan pertumbuhan di masa tanam, sehingga akan sangat merugikan. Kerugian langsung dalam bentuk uang dan kerugian tak langsung berbentuk gangguan program penanaman hutan.Sepanjang tahun 1979 dilaporkan terjadinya kematian 8 juta bibit pinus di persemaian Cinta Alam Aceh yang mengakibatkan ribuan hektar lahan tak tertanami. Banyak (menurut laporan HPH Kalimantan Timur ±70%) kayu teras lapuk dari tanaman berdiameter >50 cm. Oleh karena itu, supaya tidak terjadi kerugian yangatau paling tidak menguranginya, penyakit hutan menjadi sangat penting untuk diperhatikan.

Ingin teks selengkapnya ?                 YA                 TIDAK

Hosted by www.Geocities.ws

1