PENJELASAN
LEMBAGA ULAMA SENIOR ARAB SAUDI
Oleh :
Penyusun dan Komentar :
Ali bin Hasan bin Ali bin Abdil
Hamid al-Halaby al-Atsary
(Syaikh Ali Hasan al-Halaby)
Segala puji
hanyalah milik Alloh pemelihara alam semesta. Sholawat dan Salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada utusan yang paling mulia, keluarga beliau dan
seluruh sahabatnya. Dan tidaklah ada permusuhan melainkan terhadap orang-orang
yang zhalim.
Amma Ba’du : Inilah penjelasan ilmiah yang mendalam, yang
di dalamnya berisi penelitian dan pembahasan yang cermat, yang menetapkan suatu
permasalahan yang paling urgen, yang akan memberikan faidah bagi seluruh umat
dan menangkis fitnah yang membutakan.
Saya
(Syaikh Ali, red.) memandang harus menyebarkan penjelasan ini dan
memandang sangat urgen sekali menyebarkannya, sebagai nasehat dan amanat,
dengan dua alasan :
Pertama,
Mayoritas manusia tidak mengetahui dan memahami hal ini. Bahkan orang yang tahu
pun tidak mau menyebarkannya[1]
dan tidak mau menunjukkannya, kecuali orang-orang yang dirahmati Alloh.
Kedua,
Bahwasanya di dalam penjelasan ini, terdapat penyingkapan keadaan sebagian
manusia yang ghuluw (ekstrim) dan berlebih-lebihan. Yang mana mereka
berbuat kejelekan dikarenakan kebodohannya terhadap agama dan mereka
membinasakan mayoritas kaum muslimin dengan penyimpangan-penyimpangan mereka.
Adapun
Islam itu -walhamdulillah- adalah tinggi dan mulia. Islam lebih dapat
memberikan dan mengarahkan kepada kebenaran. Hanya kepada Allohlah saya meminta
agar penjelasan ini[2] dapat memberikan
manfaat kepada khayalak umum (umat) dan khusus (ahli ilmi), dan Dia-lah Alloh
SWT yang berfirman :
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras
siksaan-Nya” (Al-Anfal : 25)
Demikianlah
akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik Alloh pemelihara alam semesta.
Segala puji
hanyalah milik Alloh, Sholawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Rasulullah, keluarga beliau sahabat beliau dan siapa saja yang berpetunjuk
dengan petunjuk beliau.
Amma Ba’du : Majelis
Ha`iah Kibaril Ulama telah mempelajari di dalam daurohnya yang
ke-49 yang bertempat di Tha’if, yang dimulai dari tanggal 2/4/1419[4],
mengenai apa yang telah terjadi di banyak negara-negara Islam dan selainnya,
dari aktivitas takfir (pengkafiran) dan tafjir (perusakan) serta
apa yang berkembang darinya seperti tertumpahnya darah dan hancurnya
gedung-gedung.
Melihat
bahayanya perkara ini dan dampak yang ditimbulkannya, seperti lenyapnya nyawa
orang-orang yang tidak bersalah, hilangnya harta-harta yang terjaga, ketakutan
manusia dan terguncangnya stabilitas keamanan, maka majelis memandang perlunya
mengeluarkan penjelasan yang menerangkan hukum dari aktivitas-aktivitas ini,
dalam rangka menegakkan nasehat bagi Alloh dan hamba-hamba-Nya, memelihara
kehormatan dan mengeliminir kerancuan pemahaman orang-orang yang tersamar
atasnya hukum perkara ini.
Maka, kami
katakan –dengan (mengharap) taufiq dari Alloh- :
Pertama,
Takfir merupakan hukum syar’i yang tempat
kembalinya adalah Alloh dan Rasul-Nya. Sebagaimana tahlil (penghalalan),
tahrim (pengharaman) dan iijab (pewajiban), kembalinya adalah
kepada Alloh dan Rasul-Nya, maka demikian pula dengan takfir.
Tidaklah
setiap ucapan dan amalan yang disifatkan dengan kekufuran, maka dengan serta
merta menjadikan kufur akbar yang mengeluarkan dari agama.[5]
Oleh karena tempat kembalinya hukum takfir adalah kepada Alloh dan
Rasul-Nya, maka tidaklah boleh kita mengkafirkan kecuali dengan apa yang
ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah akan kekufurannya dengan penunjukkan
yang jelas. Tidaklah cukup di dalam menvonis kafir hanya dengan syubhat (kesamar-samaran)
dan dugaan semata, yang nantinya akan berkonsekuensi pada hukum-hukum yang
riskan.
Apabila
hudud saja ditolak karena syubhat, yang mana dampak dari hal ini
lebih minim jika dibandingkan dengan dampak dari takfir, maka tentunya takfir
lebih utama untuk ditolak karena syubhat. Oleh karena itu, Nabi shallallahu
‘alahi wa Salam memperingatkan dari menvonis seseorang sebagai kafir yang
pada kenyataannya tidak kafir, beliau bersabda :
“Siapa saja yang mengatakan
kepada saudaranya : wahai kafir, maka akan kembali (vonis) ini pada salah satu
dari keduanya. Apabila ia memang kafir, maka apa yang dikatakannya benar, namun
apabila tidak kafir, maka vonis itu akan kembali kepada dirinya sendiri.”
(Muttafaq ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar).
Terkadang
terdapat ayat di dalam al-Qur’an atau Sunnah yang difahami darinya bahwa suatu
ucapan atau perbuatan atau keyakinan adalah kufur, namun tidaklah dikafirkan
orang yang disifatkan dengannya karena adanya penghalang yang menghalangi dari
kekafiran.
Dan
hukum ini, sebagaimana hukum-hukum lainnya, tidak bisa sempurna melainkan
dengan adanya sebab-sebab dan syarat-syaratnya[6]
serta hilangnya penghalang-penghalangnya. Sebagaimana hukum warisan, sebabnya
adalah hubungan kekerabatan. Namun terkadang pewarisan itu tidak ada walau
memiliki sebab hubungan kekerabatan, dikarenakan adanya penghalang seperti
perbedaan agama misalnya. Demikian pula dengan kekufuran, dimana seorang mukmin
yang terpaksa tidaklah dikafirkan.
Kadang-kadang,
seorang muslim mengucapkan sebuah ucapan kufur dikarenakan terlalu bergembira,
marah, atau yang semisalnya. Maka ia tidaklah kafir dikarenakan ketiadaan
maksud padanya. Sebagaimana di dalam kisah ada seorang yang berkata :
“Ya Alloh, Engkau adalah
hambaku dan aku adalah tuhan-Mu”. Ia keliru karena terlalu bergembira[7]
(HR Muslim dari Anas bin Malik).
Gegabah
di dalam masalah takfir akan membawa dampak kepada perkara yang krusial,
seperti halalnya darah dan harta, terhalangnya pewarisan, batalnya pernikahan
dan hukum lainnya yang sama dengan hukum murtad.
Lantas,
bagaimana bisa hal ini dibenarkan bagi seorang mukmin untuk berani berbuat ini
karena serendah-serendahnya syubhat?!
Apabila
perkaranya ditujukan kepada pemerintah[8],
maka ini lebih berbahaya lagi. Yang mana dapat menyebabkan mereka semakin
sewenang-wenang terhadap umat, terhunusnya pedang, tersebarnya kekacauan,
tertumpahnya darah dan rusaknya ummat dan negeri.
Oleh
karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alahi Wa Salam melarang menentang mereka.
Beliau bersabda :
“kecuali sampai kalian
melihat kekufuran yang nyata, dan
kalian memiliki burhan (keterangan yang nyata) dari Alloh.” (Muttafaq
‘alaih dari ‘Ubadah).
v
Sabda beliau :
“kecuali sampai kalian melihat…”,
berfaidah bahwasanya tidak cukup hanya berdasarkan dugaan dan desas-desus belaka.
v
Sabda beliau :
“kekufuran”, berfaidah bahwasanya
tidak cukup hanya kefasikan walaupun besar, seperti berbuat aniaya, minum
khomr, bermain judi dan lebih condong kepada perkara yang haram.
v
Sabda beliau :
“nyata”, berfaidah bahwasanya tidak
cukup hanya berupa kekufuran yang tidak nyata, yaitu yang tidak terang dan
tampak.
v
Sabda beliau :
“dan kalian memiliki burhan dari Alloh”,
berfaidah bahwasanya haruslah dari dalil yang terang, baik dari segi tsubut (periwayatannya)
yang shohih dan penunjukannya yang shorih (terang). Tidaklah cukup dalil
yang dha’if sanadnya dan samar penunjukannya.
v
Sabda beliau :
“dari Alloh”, berfaidah bahwasanya
tidak ada gunanya ucapan salah seorang ulama walau setinggi apapun kedudukannya
di dalam ilmu dan amanah, apabila ucapannya tidak ditopang dengan dalil yang
shorih lagi shohih dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alahi
Wa Salam.
Dan
syarat-syarat ini menunjukkan atas riskannya perkara ini.
Intinya adalah, tergesa-gesa/gegabah
di dalam takfir memiliki bahaya yang sangat riskan, sebagaimana firman Alloh
Azza wa Jalla :
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-A’raaf : 33).
Kedua
: Apa yang berangkat dari
keyakinan yang salah ini, berupa penghalalan darah, pelanggaran kehormatan,
perampasan harta baik individu maupun masyarakat, perusakan pemukiman dan
sarana transportasi serta penghancuran gedung-gedung bangunan.
Aktivitas-aktivitas
ini dan semisalnya, adalah diharamkan secara syariat dengan kensensus kaum
muslimin. Karena di dalamnya terdapat pelanggaran terhadap kehormatan jiwa
manusia yang terpelihara, pelanggaran terhadap harta, terguncangnya stabilitas
keamanan dan kehidupan ummat yang aman tenteram di dalam rumah-rumah dan
kantor-kantor mereka, pada pagi maupun sore hari, serta pelanggaran terhadap
kemaslahatan umum yang menyebabkan manusia tidak tenang dengan kehidupannya.
Islam
telah menjaga harta, kehormatan dan raga kaum muslimin. Maka haram melanggarnya
dan bersikap keras/ekstrim padanya. Dan termasuk apa yang disampaikan Nabi Shallallahu
‘Alahi Wa Salam pada akhir ucapannya kepada umatnya di saat haji wada’
adalah :
“Sesungguhnya darah, harta
dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian sebagaimana haramnya hari, bulan
dan negeri kalian ini.”
Kemudian
Nabi melanjutkan :
”Sungguh, tidakkah telah
kusampaikan?! Ya Alloh persaksikanlah!!” (Muttafaq ‘alaihi dari Abi
Bakrah).
Nabi
Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Setiap muslim terhadap
muslim lainnya, haram darah, harta dan kehormatannya.” (HR Muslim dari Abi
Hurairoh).
Nabi
Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Waspadalah kalian dari
kezhaliman, karena sesungguhnya kezhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat.”
(HR Muslim dari Jabir).
Alloh
telah menjanjikan sanksi bagi orang yang membunuh jiwa yang terlarang dengan
sanksi yang pedih. Alloh SWT berfirman tentang hak seorang muslim :
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin
dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
(QS An-Nisa’
: 93).
Alloh
berfirman tentang hak seorang kafir yang dilindungi (Ahlu Dzimmah)
tentang hukum bagi orang yang membunuhnya tanpa sengaja :
“Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman.” (An-Nisa’ : 92).
Apabila
orang kafir yang mendapatkan keamanan jika dibunuh secara tidak sengaja saja
memiliki diyat (denda) dan kaffarat, lantas bagaimana dengan yang
membunuhnya dengan sengaja?! Sesungguhnya kejahatannya semakin dahsyat dan dosanya
semakin besar. Telah shohih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wa Salam
bahwasanya beliau bersabda :
“Barangsiapa yang membunuh Mu’ahid
(kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum muslimin), tidak akan mencium aroma
surga.” (Muttafaq ‘alaihi dari Abdillah bin ‘Amr).
Ketiga : Sesungguhnya majelis, ketika menerangkan
hukum takfir kepada manusia tanpa didasari burhan dari Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, dan bahaya
mengimplementasikannya secara mutlak, yang membawa dampak buruk dan dosa, maka
majelis mengumumkan kepada seluruh dunia : bahwasanya Islam berlepas diri dari
keyakinan yang salah ini, dan bahwasanya apa yang terjadi di sebagian negeri
berupa tertumpahnya darah orang yang tidak bersalah, hancurnya rumah-rumah, kendaraan-kendaraan
dan fasilitas umum maupun khusus, serta hancurnya gedung-gedung bangunan, maka
ini semua termasuk tindakan kriminalitas dan Islam berlepas diri darinya.
Demikian pula
setiap muslim yang beriman kepada Alloh dan hari akhir berlepas diri darinya.
Sesungguhnya aktivitas-aktivitas ini merupakan perbuatan dari orang-orang yang
memiliki pemikiran menyimpang dan aqidah yang sesat, dan dia menanggung dosa
dari kejahatannya sendiri. Maka tidak boleh dianggap aktivitasnya kepada Islam
dan tidak pula kepada kaum muslimin
yang berpetunjuk dengan petunjuk Islam, yang berpegang kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wa Salam, serta berpegang teguh
dengan tali Alloh yang kokoh. Sesungguhnya aktivitas-aktivitas ini murni
merupakan tindakan kriminalitas dan kejahatan yang dibenci oleh syariat dan
fithrah. Oleh karena itu datang nash-nash syariat yang mengharamkannya dan
memperingatkan dari berkumpul dengan pelakunya.
Alloh
Ta’ala berfirman :
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya
tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan
apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah
kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa.
Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu
tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS Al-Baqoroh : 204-206)
Wajib
atas seluruh kaum muslimin di manapun berada untuk saling berwasiat di dalam
kebenaran, saling menasehati dan tolong menolong di dalam kebajikan dan ketakwaan,
beramar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang hikmah dan nasehat yang baik, serta
berdiskusi dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana firman Alloh SWT :
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(Al-Maidah :
2)
Dan firman-Nya
Subhanahu :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (At-Taubah : 71).
Firman-Nya
Azza wa Jalla :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.” (Al-Ashr)
Nabi
Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Agama itu nasehat
(3x)”,
seorang
sahabat bertanya : “kepada siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab :
“Kepada Alloh, Kitab-Nya,
Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakatnya.” (HR Muslim dari Tamim
ad-Dari, dan Bukhari memu’allaqkannya tanpa menyebutkan sahabat.)
Nabi
Shallallahu ‘Alahi Wa Salam bersabda :
“Perumpaan kaum muslimin
dalam kasih sayang, cinta dan lemah lembut bagaikan satu tubuh. Jika salah satu
anggotanya mengeluh maka akan memanggil seluruh tubuhnya hingga turut terjaga
dan merasakan demam.” (Muttafaq ‘alaihi dari an-Nu’man bin Basyir).
Ayat-ayat
dan hadits yang semakna dengan hal ini banyak sekali.
Kami
memohon kepada Alloh SWT dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya
yang tinggi agar menghilangkan bencana bagi seluruh kaum muslimin dan agar
memberikan taufiq kepada seluruh penguasa kaum muslimin terhadap kebaikan ummat
dan negeri, memangkas kerusakan para perusak dan menolong agama-Nya dengan
eksistensi mereka, serta meninggikan kalimat-Nya dan memperbaiki keadaan kaum
muslimin seluruhnya di manapun mereka berada. Semoga Alloh menolong mereka di
dalam kebenaran. Sesungguhnya Alloh adalah pelindung dan Is mampu untuk
melaksanakannya. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Shallallahu
‘Alahi Wa Salam, keluarga beliau dan sahabat beliau.
(Dialihbahasakan
oleh Abu Salma al-Atsari dari booklet yang berjudul Bayaanu Ha`iati Kibaaril
Ulama’ fi Dzammil Ghuluwwi wat Takfiiri wa maa yansya`u ‘anhu min atsarin
khathirin, dikeluarkan oleh Markaz Imam Albani, Yordania)
[1] Karena perkaranya menurut kebanyakan dari
mereka adalah dapat dipilah-pilah. Apabila selaras dengan hawa nafsunya maka
disebarkan dan apabila menyelisihi hawa nafsunya maka disembunyikan dan
dihilangkan!! Maka sesungguhnya fatwa para ulama inimenyelisihi hawa nafsu
mereka, yang mana para ulama dengan fatwa ini -menurut mereka- adalah bodoh
terhadap fiqhul waqi’ (realita zaman) dan rancu dengan irja’. maka demi
Alloh, sesungguhnya hal ini adalah musibah besar dan bencana yang dahsyat.
[2] Penjelasan ini termasuk penjelasan dan
fatwa ilmiah terakhir dari Samahatis Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu
kurang dari 9 bulan sebelum beliau wafat, yang disebarkan oleh Majalah Al-Buhuts
Al-Islamiyyah no. 56, bulan Shofar 1420, langsung pasca wafatnya syaikh.
[3] Saya telah memberi komentar (ta’liq)
dan keterangan (syarah) pada penjelasan ini dengan menyandarkan kepada Fatwa
al-Lajnah ad-Da’imah fi Dzammi Murji’ah wal Irja’ (Fatwa Komite Tetap
tentang Tercelanya Kelompok Murji’ah dan Faham Irja’) di dalam sebuah risalah
kecil yang sedang dicetak, yang kuberi judul dengan Kalimatun Sawa`un fin
Nushroti wats Tsana`i ‘ala Bayani Ha`iah Kibaril Ulama’ wa Fatawa al-Lajnah
ad-Da`imah lil Ifta’ fi Naqdli Ghuluwi Takfir wa Dzammi Dholalatil Irja’
(Kalimat yang Sepadan di Dalam Menyokong dan Menyanjung Penjelasan Lembaga
Ulama Senior dan Fatwa Lembaga Tetap Untuk Fatwa Yang Mengkritik Sikap Ghuluw
di Dalam Takfir dan Mencela Kesesatan Irja’) –yang sedang dicetak,
alhamdulillah-. (Buku ini telah terbit, pent.)
[4] Adalah wafatnya Samahatu Ustadzuna
asy-Syaikh al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pada tanggal
27/1/1420 H.
[5] Sesungguhnya kufur itu ada dua macam :
Kufur asghar yang tidak mengeluarkan dari agama dan kufur akbar yang
mengeluarkan dari agama. Kufur akbar itu bermacam-macam, seperti istihlal
(penghalalan), imtina’, juhud (pengingkaran), takdzib
(pendustaan), nifaq, dan syak (ragu-ragu) dan ia memiliki
sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada kekufuran, yaitu ucapan, perbuatan
dan keyakinan.
[6] Pada ucapan Syaikhul Islam rahimahullahu
dalam Majmu’ al-Fatawa (14/118), terdapat penjelasan tentang syarat-syarat ini.
Beliau berkata tentang hokum orang yang berbicara dengan ucapan kufur :
“Dan apabila ia : (1) mengetahui apa
yang diucapkannya, dan dirinya (2) memiliki pilihan serta (3)
bermaksud dengan apa yang ia ucapkan, maka yang demikian ini ucapannya
dianggap kufur”.
Saya (Syaikh Ali Hasan, pent.)
katakan : kebalikan/lawan dari syarat-syarat di atas merupakan
penghalang-penghalang kekafiran.
[7] Terlalu gembira merupakan sebab adanya
penghalang yang menghalangi pengkafiran terhadap dirinya, yaitu karena
ketidaksengajaan (ketiadaan maksud). Ketiadaan maksud untuk melaksanakan
tidaklah mengkafirkan. Maka perhatikanlah!!! Kecuali orang yang bermaksud
sedangkan dia tidak dalam keadaan terpaksa, maka dianggap sebagai kekufuran,
baik itu ucapan maupun amalan yang dapat menghilangkan keimanan dari segala
sisi, seperti mencela Alloh atau Rasul-Nya SAW, atau yang semisal dengannya.
Hal ini termasuk kekafiran yang mengeluarkan dari agama alias murtad.
[8] Yaitu : dari kalangan penguasa kaum
muslimin, semoga Alloh memperbaiki negeri dan umatnya dengan eksistensi mereka.
Bukanlah termasuk pendapat yang kuat mengenai dalil yang sering digunakan oleh
para penyeleweng yang berdalil dengannya untuk mengkafirkan seluruh penguasa
muslim, yaitu firman Alloh : “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum
yang diturunkan Alloh maka termasuk orang-orang yang kafir.”
Sungguh indah ucapan Imam Ahmad rahimahullahu
: “Kufur itu ada yang tidak mengeluarkan dari agama. Sebagaimana keimanan yang ba’dhuhu
duna ba’dhin (sebagiannya bukanah bagian lainnya). Demikian pula dengan
kufur (ada yang kufrun duna kufrin / kekufuran yang tidak mengkafirkan, pent.),
sampai datangnya perkara yang tidak diperselisihkan padanya.” (Majmu’ al-Fatawa
Syaikhul Islam VII/254).