Penulis :
Asy-Syaikh ‘Utsman ‘Abdussalam Nuh
Penterjemah : Abu
Ikrimah Bahalwan
Editor :
Abu Salma al-Atsari
18. Jawaban Kami
Hal yang disebutkan di atas tidak membatalkan
pandangan kami sebelum ini tentang al-Ikhwan,
lagipula kami tetap tidak berubah pendirian. Itu disebabkan kami tidak pernah
mengatakan bahwa Jama’ah al-Ikhwan
semuanya tidak memahami tauhid. Di antara mereka bahkan terdapat para ulama
yang mulia, yang berpegang teguh pada tauhid dan mereka adalah salafiyyin. Namun yang kami katakan
adalah, bahwa dakwah serta aqidah salafiyah
hanya terhunjam di dada mereka saja, atau sekedar tertulis di buku-buku tanpa
mereka bergerak secara praktis dengannya. Mereka tidak menyebarkannya di
tengah-tengah massa, mereka tidak memusuhi orang-orang yang menentangnya, dan
aqidah itu tidak menjadi perekat cinta dan al-wala’
(loyalitas) di antara mereka, dan kami memiliki argumen tentang (dakwaan) kami
ini :
Pertama
: Seandainya al-Ikhwan menganggap
penting dakwah kepada aqidah salafiyah
yang shahih, lalu mengapa terjadi perselisihan antara mereka dan salafiyin, bahkan lebih jauh, mengapa
harus terdapat dua dakwah dengan dua nama? Bukti terbaik tentang masalah ini
adalah: Anda akan menjumpai buku-buku yang ditulis oleh para syaikh salafiyin serta khutbah-khutbah mereka
menyerang golongan yang menyimpang dari aqidah ini. Sebaliknya, Anda akan
menjumpai buku-buku serta ceramah-ceramah para syaikh al-Ikhwan membela orang-orang yang menyimpang itu, bahkan mereka
justru menyerang salafiyin. Kami
–insya Alloh- akan menjelaskan salah satu contohnya di halaman-halaman berikut.
Kami tidak menjumpai suatu jama’ah yang membela faham sufisme dengan gigih
kecuali jama’ah al-Ikhwan. Kami tidak
akan menemukan jama’ah yang membela faham Asy’ariyah
kecuali jama’ah al-Ikhwan. Bahkan
kami tidak akan mendapati jama’ah yang membela faham syi’ah rafidhi kecuali jama’ah al-Ikhwan.
Berikut ini adalah contoh-contoh sederhana
tentang masalah yang sedang kami perbincangkan ini :
Para dedengkot al-Hulul (pantheisme) seperti Ibnu
‘Arabi[1]
yang pernah mengatakan, “Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba. Wahai alangkah
bahagianya sekiranya aku tahu siapa yang terbebani hukum (mukallaf)?” dan dialah yang menetapkan bahwa Fir’aun dan Iblis
adalah orang yang arif (bijaksana)
yang selamat dari neraka, atau lebih mengenal Alloh daripada Musa!!! Demikian
pula Asy-Sya’rani[2]
yang menyatakan dalam kitabnya ath-Thobaqot
ketika mengisahkan gurunya, Syaikh Muhammad al-Khudhori, “Sungguh Sayyid-ku
Muhammad as-Sarsi Radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika
datang ke Masjid pada hari Jum’at. Lalu orang ramai memintanya memberi khutbah.
Beliau kemudian naik mimbar, memuji dan menyanjung Alloh lalu berkata, “Amma Ba’du... Maka sesungguhnya aku
bersaksi bahwa tiada tuhan bagi kalian kecuali Iblis ‘alaihi ash-Sholatu was Salam.”
Maka siapakah gerangan yang berani membela
begundal-begundal ini sedangkan di hatinya masih ada iman seberat biji sawi?!!
Namun yang sangat kami herankan, ketika seorang syaikh termasyhur dari jajaran
syaikh al-Ikhwan, yakni Syaikh Abdullah Nashih ‘Ulwan[3],
menulis sebuah buku berharga yang di dalamnya beliau membongkar rencana-rencana
musuh Islam dari kalangan Yahudi dan komunis, yang berjudul Tarbiyatu Awlaad fil Islaam, kemudian
beliau menfokuskan sebuah bab dalam juz kedua buku itu, hal 845-846, di bawah
judul asy-Syaikh al-Murabbi.
Di dalamnya, beliau membahas tentang
pentingnya menyerahkan seorang anak kepada guru (syaikh) pembimbing spiritual.
Beliau memilihkan bagi kaum muslimin dalam membina anak-anak mereka agar mereka
membaca buku-buku para begundal zindiq
tersebut di atas. Beliau menyebutkan di antaranya adalah Ibnu ‘Arabi, ‘Abdul
Wahhab asy-Sya’rani dan selainnya. Lalu setelah itu beliau menyebutkan tentang salafiyun, “Mereka itu menghujat para
syaikh ini padahal mereka tidak mencapai derajat para syaikh tadi, bahkan
mereka tenggelam dalam keragu-raguan (syubuhat).”
Inilah pula Zahid al-Kautsari[4],
seorang musuh besar aqidah salafiyah
pada zamannya. Di dalam kitabnya, as-Saif
ash-Shaqil halaman 5, ia mengatakan (menghujat salafiyun pada zamannya), “mereka itu kaum Hasyawiyah[5]
yang picik.[6]”
Ia juga berkata ketika mengomentari kitab Ibnu
Khuzaimah[7]
yang berjudul Kitabut Tauhid bahwa
kitab ini adalah kitab syirik, ia berkata pula tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[8],
“Jika Ibnu Taimiyah digelari Syaikhul
Islam maka semoga Islam bisa selamat.”
Namun amat disayangkan, kami mendapati
pujian terhadap musuh bebuyutan aqidah salafiyah
ini (al-Kautsari) di dalam sebuah kitab yang ditulis oleh seorang penanggung
jawab utama al-Ikhwan di Siria, yakni
Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah[9].
Di dalam kitabnya Ar-Raf’u wat Takmil
halaman 68, ia berkata, “Kitab ini dipersembahkan kepada ruh para muhaqqiq (peneliti) hujjah, ahli hadits,
ahli ushul, ahli kalam, pemikir yang arif, ahli sejarah, al-Imam Zahid
al-Kautsari.”
Tentang pembelaan mereka terhadap faham Asy’ariyah, maka kami jumpai banyak
sekali bukti mulai dari ucapan Imam al-Banna hingga Ash-Shobuni[10]
pada zaman kami ini, termasuk Sa’id Hawa[11].
Adapun pembelaan mereka terhadap agama Syi’ah, kini bukan rahasia lagi, kami
akan membahasnya nanti insya Alloh.
Pendeknya, mereka melarang perbantahan
dengan seluruh firqah-firqah ini,
bahkan saudara mereka, salafiyun,
diminta untuk tidak mendebatnya. Bagi kami, hal ini adalah bukti terkuat bahwa
pengakuan mereka, “dakwah kami di atas jejak salaf’ dan ucapan mereka, “wajib
hukumnya memerangi berbagai kemusyrikan, penyembahan kubur dan bid’ah-bid’ah”
hanyalah sekedar ucapan teoritis belaka. Mereka tidak mempraktekkan hal itu
dalam lapangan nyata. Mereka tidak menyebarkan ke tengah-tengah massa padahal
di sanalah lahan dakwah yang subur.
Pembaca yang mulia mungkin dapat
mendengarkan –terutama bila anda tinggal di negeri-negeri Arab- ceramah seorang
juru dakwah yang tersohor seperti Syaikh
‘Abdul Hamid Kisyik[12]
rahimahullahu. Ceramah itu telah
direkam kurang lebih 500 judul dengan nomor yang berseri. Beliau tidak pernah
bercerita di dalamnya tentang perincian tauhid –walau cuma sekalipun- seperti
ceramahnya para syaikh salafiyin!!!
Perhatikanlah Hadits ats-Tsulatsa’,
pertemuan terbesar dalam dakwah al-Ikhwan
yang dirintis oleh Imam al-Banna rahimahullahu
dan yang tetap berlanjut hingga sekarang. Pembaca dapat menelaah berbagai
pembahasan dalam majalah-majalah al-Ikhwan
seperti al-I’tisham dan Liwa’ul Islam. Jika di dalamnya terdapat
sekali saja pembahasan tentang perincian tauhid, maka saya akan mencabut semua
tuduhan ini!!!
Para pakar sejarah al-Ikhwan juga menulis berbagai karangan, diantaranya Mahmud ‘Abdul Halim dan ‘Abbas as-Sisi. Mereka membahas kisah
perjalanan al-Ikhwan mulai dari awal
hingga akhir. Terdapat sebuah buku yang ditulis oleh al-Ustadz Mahmud ‘Abdul
Halim meliputi tiga juz besar, berjudul al-Ikhwan
al-Muslimun Ahdats Shona’at at-Tarikh (Ikhwanul
Muslimin Para Pemuda Pencipta Sejarah), jumlah halaman buku ini lebih dari
1500 halaman yang sebagian besar isinya terdiri dari rapat-rapat, muktamar dan
ceramah-ceramah para pemimpin al-Ikhwan
mulai dari Hasan al-Banna hingga sejarah penghancuran dakwah al-Ikhwan di tangan Jamal Abdun Nashir.
Demikian pula dengan ‘Abbas as-Sisi, bukunya terdiri dari kurang lebih 500
halaman yang sebagian besar isinya adalah berbagai pertemuan dan muktamar para
pemimpin al-Ikhwan. Namun demikian,
saya tidak mendapatkan sebuah ceramah pun yang berbicara tentang tauhid yang
dikenal ulama salaf. Berikut ini beberapa contoh dari ceramah-ceramah itu. Dan
saya bersumpah dengan nama Alloh Azza wa
Jalla bahwa sisa ceramah yang lain tidak akan melampaui apa yang kami
nukilkan. Saya hanya memilih pidato-pidato yang diucapkan di tempat-tempat yang
menjadi pusat dan sarang kemusyrikan di Mesir dan beliau ucapkan (ceramahnya)
di hadapan para propagandis kesyirikan. Pendiri organisasi ini yang mulia
(Hasan al-Banna) tidak pernah memaparkan walaupun cuma sekali masalah
kesyirikan ini, karena berusaha menjaga perasaan dan sensitivitas publik serta
berusaha mempersatukan mereka.
19.
Contoh-contoh Pidato Al-Banna
Berikut ini adalah sebuah pidato yang
dinukil oleh as-Sisi dalam bukunya Qofilah
al-Ikhwan hal. 150. Pidato ini diucapkan di pusat dan sarang kemusyrikan di
Mesir, yakni di sebuah tempat yang dinisbatkan kepada Sayyidah Zainab[13]. Berkata as-Sisi dalam
bukunya di bawah bab yang berjudul “Perayaan di Sayyidah Zainab” dengan
mencuplik pidato al-Banna berikut ini :
“Wahai al-Ikhwan!
Saya menasehati kalian dengan nasehat yang tulus, hendaklah kalian berpegang
teguh dengannya. Yaitu bersihkanlah hati kalian, jernihkanlah niat kalian dan
maafkanlah orang yang berbuat jahat dan menganggu kalian. Demi Alloh, saya
tidak mampu melepaskan hati yang seperti ini, hati yang hanya mengenal cinta di
jalan Alloh, hati yang hanya merasakan persaudaraan yang benar. Saya tidak akan
melepaskan hati yang suci seperti ini untuk dikotori dengan kedengkian, untuk
dirusak dengan kebencian, atau kejernihannya dicemari dengan permusuhan[14].
Sesungguhnya agama adalah cinta dan benci.
Adalah ciri keimanan apabila kalian saling mencintai karena Alloh dan membenci
karena Alloh. Maka hendaklah kalian saling mencintai, karena dengan cinta
kalian akan bahagia, dan dengan perasaan ini kalian akan satu padu. Simpanlah
revolusi kebencian kalian untuk masa yang akan segera datang, yang saat itu
kita akan tumpahkan seluruh permusuhan kami. Saya tidak memaksudkan permusuhan
di kalangan kami, sebab –segala puji hanyalah milik Alloh- kami tidak memiliki
permusuhan di dalam barisan ini. Jika toh
ada, biarlah ia seperti buih aliran banjir, biarkan buih itu lenyap ditelan
bumi.
Adapun seruan jihad, ia adalah perasaan
yang menyala berkobar-kobar. Makna jihad bagaikan ular yang mencari sarang di
hati umat ini, umat yang dizalimi, dianiaya dan dirampas kemerdekaannya serta
hak-haknya. Umat ini dikepung dari segala penjuru. Semua ini, wahai al-Ikhwan, akan menimpa umat ini pada
tahun 1947 sebagaimana telah menimpa pada tahun 1919. Yakni sebuah umat yang
jiwanya besatu padu dan barisannya teratur rapi.
Jika demikian halnya, jangan kalian
pedulikan permusuhan di dalam! Wasiat yang tepat adalah hendaklah kalian
menyimpan kebencian itu untuk permusuhan kami yang sebenarnya, yakni
musuh-musuh tanah air dan umat! Mereka adalah kekuatan-kekuatan yang kalian
telah mengenal nama-nama mereka dan mengetahui ciri-ciri mereka. Mereka adalah
negara-negara penjajah yang saling berpecah belah dalam segala masalah. Mereka
tidak dapatlah bersatu kecuali untuk satu tujuan, yaitu memperbudak kita, merampas
kemerdekaan tanah air kita, merenggut kebebasan dan kekayaan negeri kita.
Negara itu adalah musuh nomor satu
–maksudnya Inggris- lalu zionisme yang beroperasi di bawah perlindungan negara
itu, berkeliaran di dalamnya seperti penyakit parah. Musuh-musuh kami di luar
adalah kekuatan-kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi Alloh lebih kuat, lebih
tinggi dan lebih mulia.”
Saya (penulis) katakan : “Lihatlah –semoga
Alloh memuliakan Anda- apakah beliau (al-Banna) menerangkan kalimat tauhid di
tempat itu, yang mana syaithan bertelur di sana dan menetaskan telurnya?
Syaithan di dalamnya telah memperdaya umat yang patut dikasihani, baik dari
penduduk sekitar tempat itu maupun tempat lainnya. Maka demi Alloh, apakah Anda
melihat perilaku macam begini dari seorang pemimpin dakwah salafiyah? Saya hanya melihat pidato tentang cinta, kesucian dan
seruan perlawanan kepada penjajah demi pembebasan tanah air dan mempersatukan
penduduk –baik muslim maupun kafir- di bawah satu komando, pidato yang bisa
saja disampaikan oleh pemimpin manapun dari kalangan partai-partai sekuler,
yang menyesuaikan pidatonya dengan apa yang disukai oleh massa![15]”
20.
Pidato Kedua
Pada tanggal 23 Rajab 1366, al-Ikhwan mengadakan perayaan
memperingati Isra’ Mi’raj[16].
As-Sisi dalam bukunya yang telah tersebut di muka (Qofilah al-Ikhwan) juz I hal. 109, menukil pidato al-Ustadz Hasan
al-Banna berikut ini :
“Sebagian kaum Hindu, mereka mampu
mengubur tubuhnya di dalam tanah selama beberapa hari tanpa menghirup udara,
setelah beberapa hari berlalu ia bangkit dari galiannya tanpa kehilangan nyawa.
Ini menunjukkan bahwa quwwatul irodah (daya
kemauan) manusia, ketinggian jiwa dan keagungan pribadinya telah mengangkat ke
derajat kejernihan seperti ini[17]. Maka apakah kalian keberatan
terhadap seorang nabi yang diutus, beliau memiliki jiwa yang agung dan
menempanya menuju ke derajat yang mulia hingga dengan kemuliaan itu beliau bisa
naik hingga ke Sidratul Muntaha?!!
Dalam hubungan internasional, cukup
dikenal adanya kebiasaan memanggil duta-duta negara asing oleh kepala negara
tuan rumah apabila ada masalah yang amat penting dan mendesak untuk
dibicarakan. Dan bagi Alloh permisalan yang tinggi. Alloh Ta’ala berkehendak mewajibkan sholat kepada kaum muslimin. Ia Azza wa Jalla memanggil Nabi-Nya lalu
memerintahkan kewajiban sholat kepadanya...”
Lalu beliau (al-Banna) melanjutkan
pembahasan tentang situasi politik dan ekonomi yang dihadapi negara (Mesir),
beliau mengatakan : “Realita menunjukkan bahwa penyakit yang membinasakan
bangsa ini ada tiga, yaitu kefakiran, tingkat kesehatan yang rendah dan al-Lili fi bali musy al-lili fi balki
(maksudnya kebodohan).” Para hadirin tertawa riuh. As-Sisi mengomentari, “ini
adalah lelucon terkenal tentang Mesir; penyakit, kemiskinan dan kebodohan. Namun
al-Ustadz menginginkan untuk menyinggungnya secara halus tanpa melukai perasaan
seorang pun.”
Saya (penulis) mengatakan, “Subhanalloh!!! Sungguh sang mursyid (al-Banna) tidak membedakan
antara peristiwa luar biasa hasil produksi syaithan dengan mukjizat ilahi.
Beliau mengumpamakan mukjizat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam ketika naik ke langit seperti sejenis dengan lelucon dan
permainan syaithan yang terjadi di kalangan orang-orang Hindu penyembah berhala
(paganis). Terutama ketika beliau menganggap kesesatan itu memiliki derajat
ketinggian dan keagungan.
Lantas, apakah cara yang lemah lembut itu
termasuk dengan mendiamkan kejahilan
massa?! Yakni cara para ulama yang
menginginkan persatuan mereka (dengan mendiamkan kesalahan mereka, ed.)?!!
Kalau begitu, dari siapa massa yang awam dan patut dikasihani ini belajar
tentang agama mereka jika ulama mereka menyinggung tentang kebodohan mereka
dengan uslub (cara) lelucon dan
pengelabuan?!!
21.
Pidato Ketiga
Pada tanggal 9 Juni 1948, seorang syaikh dari
tarekat al-Mirghaniyah[18]
al-Khathmiyah[19]
berkunjung ke Kairo bersama pengikutnya. Berkata as-Sisi melukiskan kunjungan
ini :
“Kantor pusat al-Ikhwan di Kairo mengadakan perayaan menyambut kunjungan as-Sayyid Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Dalam perayaan itu, al-Ustadz Mursyid
al-‘Am berkata, “Sungguh kediaman al-Ikhwan
sangat bergembira dan berbahagia ketika jiwa-jiwa yang bersih dan hati-hati
yang mulia ini menerima bendera jihad dan pahlawan-pahlawan Arab serta ujung
tombak pimpinan Islam.” Beliau (al-Banna) melanjutkan, “Mungkin banyak orang
tidak tahu, wahai tuan-tuan, bahwa kami al-Ikhwan
berhutang budi pada para guru al-Mirghaniyah
dalam hal ajaran cinta yang tulus dan kehormatan yang agung. Mereka selalu
melimpahi kami dengannya setiap kali utusan-utusan kami berangkat ke Sudan...
Tidak... bahkan ia adalah hutang lama
sejak mula pertama berdirinya dakwah ini di Isma’iliyah, sebab tarekat al-Mirghaniyah adalah yang pertama
mendukung, menyokong dan membantu mengokohkan al-Ikhwan. Saya pernah menghadiri peringatan Isra’ Mi’raj di Zawiyah
atau Kholwah (tempat pengasingan
diri) as-Sayyid al-Mirgani al-Kabir
di Isma’iliyah, dan Zawiyah itu masih ada hingga kini. Saya seringkali teringat
saudara-saudara kami di sana, maka kebaikan hati dan dukungan tarekat ini
selalu menyertai perjalanan dakwah
al-Ikhwan sejak awal pertumbuhannya. Yang mulia as-Sayyid ‘Utsman al-Mirghani al-Kabir dan penggantinya as-Sayyid Muhammad ‘Utsman, adalah orang-orang pertama yang
mengemban bendera dakwah ini dan menyebarkannya.
Inilah sejarah!! Kami membicarakannya
wahai tuan-tuan, untuk mengungkapkan tentang apa yang dipendam oleh al-Ikhwan untuk tuannya berupa cinta dan
kasih sayang serta penghargaan atas kebaikan ini yang telah mereka berikan
kepada dakwah al-Ikhwan semenjak masa
fajarnya.[20]”
(Qofilah al-Ikhwan, juz II hal. 208).
Saya (penulis) katakan : “Bisakah kami
mempercayai suatu dakwah sebagai belahan dakwah salafiyah yang memerangi
penyembahan kubur dan memberantas bid’ah jika sepanjang sejarahnya ia disertai oleh
para syaikh tarekat sufiyah, bahkan mereka yang mengibarkan benderanya,
berjuang di jalannya dan menyokong cita-citanya (semenjak awal berdirinya)?!!
Saya bersumpah, demi Alloh!!! Tidak mungkin itu terjadi kecuali apabila kedua
kutub telah bersatu (dan ini mustahil, ‑ed.)!!! Hal ini
disebabkan karena agama kaum sufi seluruhnya dibangun di atas kubur, di dalam
kubur dan di sekitar kubur. Lantas, bagaimana mereka bisa memberantasnya?!!
Walaupun demikian, mereka tetap menulis
buku-buku, diantaranya yang terdapat dalam Ushul
‘Isyrin al-Ikhwan yang
menyatakan, “Sesungguhnya pengkeramatan kubur, memberi penerangan di atasnya
dan membangun masjid di sekitarnya adalah bid’ah yang harus diperangi.” Mereka
menulis ini agar dapat berhujjah denagnnya jika didebat oleh seorang salafiy!!!
(bersambung ke bagian V)
[1] Muhyiddin(?) Ibnu ‘Arabi (w. 638 H/1240 M), adalah seorang pembesar sufiyah dari
[2] ‘Abdul Wahhab asy-Sya’roni (w. 973 H/1565 M). Seorang
penganut sufiyah dan fanatikus madzhab
Syafi’iyah di Kairo, Mesir.
Memiliki beberapa karangan, diantaranya al-Bahrul Maurud fil Mawatsiq
wal ‘Uhud, al-Badrul Muniir, al-Jawaahir wad Durarul Kubraa, Latha’iful Mannaan dan Lawaqihul Anwaar fi Thabaqotis Saadatil
Akhyaar. Dia terpengaruh oleh sufisme ekstrim pantheisme (Hululiyah) dan memiliki
penyimpangan-penyimpangan aqidah
yang parah. pent. & ed.
[3] Beliau adalah seorang penasehat dan penulis
al-Ikhwan
yang cukup terkenal. Karyanya yang berjudul Tarbiyatu Awlaad fil Islaam menyebar ke seluruh
penjuru dunia. ed.
[4] Muhammad Zahid
al-Kautsari (w. 1371 H/1952 M) adalah
seorang fanatikus Hanafiyah yang beraqidah Asy’ariyah Maturidiyah Jahmiyah pembela ahlul bid’ah
dan pencela ahlus sunnah. Guru dan pembesar ahlul
bid’ah zaman ini. Para ulama ahlus sunnah telah
membantah akan kesesatannya, diantaranya adalah al-‘Allamah al-Mu’allimi al-Yamani yang menulis at-Tankil bima
fi Ta'nibil Kautsari minal Abathil, demikian pula Syaikh Muhammad Abdurrazaq Hamzah dalam Risalah fir Raddi ’ala Kautsari dan al-Muqobalah bainal Huda wadh Dhalal, Muhaddits al-Ashr Muhammad
Nashirudin al-Albani dalam Muqoddimah
Syarh ath-Thahawiyah, Syaikh Zuhair
asy-Syawisy dalam Hasyiah
(catatan kaki)-nya terhadap Syarh Aqidah
ath-Thahawiyah dan Syaikh Ahmad bin
Muhammad Shiddiq al-Ghumari dalam Bayaanu
Talbiis al-Muftari Muhammad Zahid al-Kautsari. ed.
[5] Hasyawiyah adalah sebuah sebutan
untuk orang yang linglung yang tidak faham dan sadar
dengan apa yang dikatakannya. ed.
[6] Demikianlah ahlul bid’ah di
setiap zaman dan masa akan
senantiasa memusuhi dan memerangi ahlus
sunnah dan menggelari mereka dengan gelar-gelar yang buruk. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Ibnu Qutaibah di dalam Ta’wil Mukhtalafir Hadits, “Ahlul bid’ah mengatakan
ahlul hadits sebagai hasyawiyah…”. Syaikh Abdul Qadir Jailani di dalam al-Ghunyah berkata,
“Kaum bathiniyah (esoteris) memberi gelar ahlul
hadits sebagai golongan hasyawiyah karena perkataan mereka yang senantiasa didasarkan pada khobar-khobar
dan atsar-atsar atau riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam…”
Sungguh indah apa
yang dikatakan oleh al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah di dalam kitab
beliau al-Kaafiyah asy-Syaafiyah, “Sungguh aneh mereka
menjuluki orang yang mengikuti wahyu sebagai hasyawiyah. Yang mereka maksudkan dengan perkataan tadi adalah bahwa ahlul
hadits itu ada wujudnya namun
merupakan barang kelebihan saja bagi umat yang masuknya tidak menggenapkan dan keluarnya tidak mengganjilkan… tahukah Anda siapakah yang lebih layak menyandang
julukan ini sesuai dengan tingkah
laku dan perbuatannya? Siapa saja yang mengisi lembaran hati dan
fikirannya dengan aneka bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, maka dia itulah
hasyawi sejati, bukannya malah ahlul hadits pemuka
umat Islam dan kaum mukminin. Mereka datang mereguk
manisnya mata air sunnah, bukannya mata air ra’yu (pikiran). Sedangkan Anda meminum air qulut (sebuah sungai
di Damaskus) yang bercampur di dalamnya
antara kotoran dan bangkai…” pent. &
ed.
[7] Abu Bakr Muhammad
bin Ishaq bin Khuzaimah an-Naisaburi (w. 311 H). Seorang
imam ahli hadits yang digelari dengan imam al-a’immah
(imamnya para imam). Beliau adalah pembela
aqidah ahlus sunnah dan penganutnya
dan penghancur bid’ah dan ahlinya. Beliau
memiliki kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits shahih yang sangat bermanfaat bagi ummat, yaitu Shahih Ibnu Khuzaimah.
ed.
[8] Taqiyyuddin Abul ‘Abbas bin Taimiyah Ahmad bin Abdul Halim
bin Abdus Salam bin
Abdullah an-Numairi al-Harrani
ad-Dimasyqi. Beliau dilahirkan di
[9] Abdul Fattah Abu Ghuddah,
sekretaris jendral Ikhwanul Muslimin di Siria. Menimba
ilmu dari al-Kautsari dan pembela
utama madrasah pemikirannya. Dia didaulat sebagai ahli hadits Ikhwanul Muslimin yang memiliki
banyak karya tulis di bidang
hadits. Menikah dengan puteri al-Kautsari dan menjadi
menantunya. Mengikuti jejak mertuanya (al-Kautsari) di dalam
membela ahlul bid’ah dan melariskan
kesesatannya. Para ulama ahlus sunnah bangkit
membantah penyimpangan-penyimpangannya,
diantaranya adalah al-‘Allamah Bakr bin Abdillah Abu Zaid yang menulis Baro’atu Ahlus Sunnah minal waqii’ati fi Ulama`il Ummah dan Syaikh Syamsu al-Afghoni (salah seorang
murid Imam Al-Albani dari
[10] Muhammad ‘Ali ash-Shobuni,
seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang
terkenal di Siria. Sekarang menjabat sebagai sekjen Rabithah al-‘Alam al-Islami di Makkah bagian
I’jaz al-Qur’an (mukjizat al-Qur’an). Ia penganut fanatik
aqidah Asy’ariyah Maturidiyah tulen. ed.
[11] Sa’id Hawa adalah ulama
besar Ikhwanul Muslimin dari Siria dan penasehat
ulung. Pemikirannya sangat kental dipengaruhi
oleh sufiyah sebagaimana terlihat jelas dalam bukunya
Tarbiyatuna ar-Ruuhiyah. Dia beraqidah Asy’ariyah Maturidiyah dan
terlihat dengan sangat jelas dalam
bukunya Jaulat fil Fiqhain. ed.
[12] ‘Abdul Hamid bin
‘Abdul Aziz Kisyik, lahir tahun 1933 di Sybrakhit kawasan
al-Bukhairah, Mesir. Setelah lulus SD beliau menderita sakit mata dan akhirnya
buta. Beliau salah seorang tokoh
Ikhwanul Muslimin yang
cukup disegani. Beliau seorang penasehat ulung yang pandai mempengaruhi umat dengan
[13] Sebuah lapangan di Kairo
yang di
[14] Coba bandingkan dengan ceramah-ceramah yang sering disampaikan oleh “da’i-da’i" terkenal
[15] Sungguh benar apa yang dikatakan oleh penulis. Jika masalahnya
hanya demikian, maka sesungguhnya para pemimpin-pemimpin sekulair pun juga dapat menyerukan hal yang sama. Karena ikatan persatuan
yang mereka serukan adalah ikatan di
atas prinsip tanah air, bangsa dan negeri. Walaupun
aqidah dan agamanya berbeda-beda tidaklah menjadi masalah!!! ed.
[16] Lihatlah bagaimana jama’ah yang mengklaim berada di atas sunnah
dan membela sunnah ini turut
melanggengkan perayaan-perayaan
bid’ah yang tidak ada asal-usulnya dari Islam. Mereka juga turut menyburkan
bid’ah Maulid Nabi, Nuzulul Qur’an
dan semisalnya. Bahkan tak jarang
perayaan-perayaan semisal ini diiringi oleh
nasyid-nasyid
dan sya’ir-syair yang ada unsur ghuluw-nya di dalamnya
terhadap Nabi dan orang-orang shalih. Pembaca budiman akan mengetahuinya
pada pembahasan selanjutnyta –insya Alloh- ed.
[17] Subhanalloh! Semoga Alloh mengampuni
perkataan Syaikh rahimahullahu. Dan semoga perkataan ini berangkat
dari ketidaktahuan atau ketidaksadaran beliau rahimahullahu. Sungguh, ucapan beliau ini
mengandung perancuan dan pengkaburan dahsyat terhadap aqidah umat, dan
beliau seakan-akan tidak memahami akan adanya istidraj yang diberikan
Alloh kepada orang kafir supaya
mereka lebih leluasa dengan kekafirannya. Dan ucapan-ucapan seperti ini tidak
hanya ada pada Syaikh al-Banna saja, namun
selain beliau juga mengalami hal yang sama, sebagaimana ucapan Sa’id Hawwa dalam
Tabiyatuna ar-Ruuhiyah (halaman 218) sebagai berikut :
“Seorang Nasrani
menceritakan pengalaman pribadinya kepadaku, sebuah kisah pengalaman
yang sudah populer. Lalu Alloh menakdirkan
aku bertemu langsung dengan yang bersangkutan setelah aku mendengar kisah
itu dari orang lain. Ia bercerita padaku tentang pengalamannya menghadiri majelis dzikir lalu salah
seorang peserta dzikir memukulnya dengan sebilah pedang tepat di
punggungnya hingga menembus dadanya, sehingga ia dapat
memegang pedang itu dengan tangannya
dan mencabutnya tanpa meninggalkan bekas tusukan dan
rasa sakit. Sesungguhnya kehebatan yang terjadi pada pengikut
tarekat ar-Rifa’iyah dan terus mereka
lestarikan merupakan salah satu karunia
Alloh atas umat manusia. Sebab, siapapun yang melihatnya maka tegaklah hujjah atas dirinya dalam
bentuk yang sangat jelas terhadap kebenaran mukjizat para nabi dan
karamah para wali…”
Subhanalloh, perhatikan cerita di atas,
dimana Syaikh mengambil berita dari seorang Nasrani,
padahal periwayatan dari seorang kafir
ditolak. Lebih aneh lagi, perawi
kisah itu (Nasrani) menceritakannya sebagai hujjah, lantas mengapa dia tidak
masuk Islam??? Dan sungguh qiyas (analog) antara istidraj yang dilakukan oleh pengikut tarekat
Rifa’iyah ini tidak dapat
disamakan dengan mukjizat para Nabi
dan karomah para wali. Ini
sungguh qiyas fasid (analog yang rusak) dan qiyas baiynal fariq (analog dengan dua hal yang berbeda),
bedanya istidraj adalah dari Syaithan sedangkan
mukjizat dan karomah dari Alloh!!!
ed.
[18] Sebuah tarekat sufiyah yang didirikan oleh Muhammad ‘Utsman
al-Mirghani (w. 1268 H/1852 M), seorang sufi dari
Tha’if, Hijaz. Ia menyebarluaskan tarekatnya di Hijaz
dan
[19] Adapun al-Khatmiyah, ia dinisbatkan kepada salah satu
cabang tarekat asy-Syadzaliyah
yang tersebar luas di
[20] Bahkan Syaikh al-Banna adalah seorang penganut ajaran tasawuf. Beliau dan jama’ahnya tumbuh besar di
atas akar tasawuf. Dan beliau tetap terus
mempertahankannya hingga menjelang akhir hayatnya. Beliau mengaku sebagai pengikut tarekat al-Hashafiyah dan secara rutin
mengamalkan wirid az-Zaruuqiyah. (lihat Mudzakkiraat ad-Da’wah wad Da’iyah hal. 19-20). Beliau juga turut andil
dalam membentuk yayasan syfiyah yang bernama al-Hashafiyyah al-Khairiyah di al-Mahmudiyah. Beliau pada tahun 1923 diterima sebagai anggota resmi tarekat al-Hashafiyah di