Penulis :
Asy-Syaikh ‘Utsman ‘Abdussalam Nuh
Penterjemah : Abu
Ikrimah Bahalwan
Editor :
Abu Salma al-Atsari
15. Beban Kewajiban Sesuai Dengan Tingkat
Kemampuan
Saudara
pembaca!
Agar permasalahan ini semakin bertambah jelas, saya akan
kemukakan sebuah misal, lalu saya akan bertanya kepada anda dengan sebuah
pertanyaan yang syar’i, lalu meminta
jawaban anda secara syar’i pula dan –maaf- jika anda seorang harakiy
–sebagaimana sebutan mereka- maka hendaknya anda tidak mempergunakan logika
berfikir harakiy dalam permasalahan ini. Sebab, pertanyaan saya nanti sifatnya syar’i,
sehingga tidak menerima cara pandang politis atau sekedar logika manusiawi. Jawaban
itu haruslah berlandaskan dalil-dalil yang dapat diterima oleh Rabb manusia.
Seandainya anda berada di suatu negeri atau masyarakat
yang diperintah oleh penguasa sekuler, berjuta-juta penduduknya sebagian
menyembah kuburan, sebagian lagi penganut syi’ah
yang telah meyakini bahwa Al-Qur’an telah diitahrif (dirubah) dan Imam
Ali mengetahui masalah ghaib serta mengimani Al-Qur’an yang berbeda dengan
Al-Qur’an yang ada saat ini –yang konon diturunkan kepada Fathimah, sebagian lagi penganut faham Asy’ariyah yang tidak tahu apakah Alloh berada di telapak kaku
mereka ataukah berada di atas Arsy-Nya dan mereka lebih mendahulukan
postulkat-postulat Yunani daripada syariat Alloh. Ada sebagian lagi yang
mengimani teori Darwin[1]
tentang Al-Baqo’u lil Ashlah (The Survival of the fittest, ed.)
atau teori-teori Freud[2]
dan semacamnya. Sebagian mereka adalah para pelaku dosa besar seperti
meninggalkan sholat, meminum khamr dan lain sebagainya. Sebagian yang lain
mengikuti bid’ah dan lebih mengutamakannya di atas sunnah nabawiyah sehingga
seakan-akan menganggap agama ini masih kurang lengkap sebagaimana ucapan Imam Malik, “Barangsiapa mengada-adakan bid’ah dan menganggapnya baik (hasanah),
maka sungguh ia telah menuduh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam
mengkhianati risalah”, dan yang semisal dengan hal ini masih banyak.[3]
Anda misalnya berada di dalam masyarakat seperti itu,
sedangkan anda tahu dalil-dalil dan argumentasi yang shahih menunjukkan bahwa perbuatan penguasa sekuler adalah
kesyirikan yang menyebabkan pelakunya menjadi murtad. Perbuatan itu jelas
merupakan syirik, bahkan sebelum anda dan rekan-rekan anda mengenal kebenaran
dan sebelum munculnya kelompok dari ikhwan
anda –yakni para pemuda tanpa senjata-. Namun penguasa itu telah lama memegang
kekuasaan dan telah menciptakan bagi dirinya dan para penyokongnya mesin perang
yang tangguh untuk perlindungan dan kelanggengan rezimnya. Mereka menguasai
semua lembaga-lembaga dan kantor pemerintahan, di tangan mereka terletak
kendali pesawat-pesawat tempur dan kendaraan lapis baja, sehingga keinginan
anda untuk mengungguli mereka adalah khayalan yang jauh. Sedangkan di sisi
lain, jutaan manusia adalah para penganut berbagai jenis kemusyrikan,
kekufuran, kemaksiatan dan bid’ah-bid’ah, sedangkan mereka berkumpul dengan
anda sepanjang siang malam, anda hidup di tengah-tengah mereka, bahkan sebagian
mereka menghadiri majelis-majelis anda di masjid-masjid dan tempat pengajian
mendengarkan ceramah anda[4].
Padahal, jarang didapatkan diantara mereka orang-orang yang keras kepala dan fanatik,
namun sebaliknya sebagian besar mereka bodoh dan menganggap syirik dan bid’ah
sebagai pendekatan diri kepada Alloh yang paling utama. Bahkan para penganut
aqidah Asy’ariyah dan Jahmiyah yang menganggap filsafat
mereka sebagai tauhid dan tanzih (mensucikan
Alloh dari sifat makhluk), padahal mereka berkeyakinan tuhan ada di mana-mana. Demikian
pula golongan hululiyah (Pantheisme)
yang menganggap bahwa tauhid adalah persatuan wujud yaitu dalam tauhid mereka
tidak membedakan antara kholiq (pencipta)
dan makhluq (yang diciptakan), bahkan
mereka menganggap siapa saja yang memisahkan keduanya adalah musyrik!!! Andaikan
anda pernah mencoba berdakwah bersama berbagai kelompok dan golongan ini, lalu
Alloh memberikan hidayah-Nya kepada banyaka di antara mereka, lalu jika kemudian
anda mengatakan, “kita tinggalkan mereka (untuk sementara) hingga dapat merebut
kekuasaan”, maka saya bertanya kepada anda, “manakah dalilnya?”
Apakah anda dapat menunjukkan seorang saja dari para
rasul atau para sahabat, atau ulama salaf yang melakukan seperti perkataan anda
di atas tersebut? Terutama jika mengingat sesuai dengan sebab-sebab alamiah
(sunnatullah, ed.) yang Alloh menjadikannya sebagai ukuran
pembebanan kewajiban hukum masih terdapat waktu yang amat panjang sebelum rezim
itu tumbang sehingga anda bersama dengan rekan-rekan pemuda anda dapat merebut
kendali pemerintahan, bahkan kemungkinan cita-cita itu tidak bakal terealisasi
pada masa kini. Sedangkan kita memiliki contoh pengalaman anda dari Jama’ah al-Ikhwan yang dakwah mereka
tampil dalam situasi yang mirip dengan keadaan tersebut di atas, disamping
terdapat pula dakwah lain yang dinamakan Anshorus
Sunnah. Yang terakhir disebut ini (Anshorus Sunnah, ed.)
berjuang keras di antara masyarakat awam mengajarkan kepada mereka tauhid dan
aqidah yang lurus, mencegah mereka dari berbagai maksiat dan bid’ah, sedangkan
al-Ikhwan bekerja keras menghimpun massa untuk melawan dan berkompetisi dengan
partai-parti politik hingga menghabiskan waktu lebih dari 60 tahun dalam
berbagai pemilu lalu disusul berbagai pemalsuan dan kecurangan, mengadakan
konferensi-konferensi, menggelar berbagai unjuk rasa dan menggubah
nasyid-nasyid perjuangan, lalu disusul dengan penjara, kemudian pergelaran
pertunjukan sandiwara dan sebagainya.
Dalam selang masa itu, pendiri dakwah dan sebagian besar
rekannya telah wafat, demikian pula telah mati satu atau mungkin lebih generasi
yang seharusnya menjadi lawahn dakwah. Massa dalam jumlah besar memang telah
menerima dan menyambut dakwah al-Ikhwan,
tetapi selalu disertai dengan makar kaum sekuler hingga seolah-olah dakwah ini
menjadi ‘pekerja sukarela’ yang menghimpunkan massa untuk kepentingan mereka. Berapa
kali partai al-Wafd[5]
yang sekuler itu mencapai jenjang kekuasaan lantaran ‘bantuan’ massa al-Ikhwan yang awam?! Berapa kali partai
as-Sa’dy[6]
mengambil keuntungan besar atas ‘bantuan’ massa al-Ikhwan?! Bahkan Jamal
Abdul Nashir[7],
musuh bebuyutan al-Ikhwan tak akan
dapat meraih kekuasaan kecuali atas sokongan al-Ikhwan pula[8].
Lalu apa lagi?! Lalu massa yang itu-itu juga mulai bersorak menyambut
keputusan-keputusan yang dibuat Nashir untuk melawan para pemimpin al-Ikhwan. Dan kini, sebagian besar
mereka sedang menjumpai Rabb mereka dan amal-amal mereka yang lalu telah
dibeberkan. Namun, sebagai bahan kontemplasi dan demi tergaknya dakwah di atas
manhaj syar’i, kami akan membahas hal berikut :
16. Metode Dakwah Massa Antara
Al-Ikhwan dan Salafiyun
Massa tersebut telah masuk ke dalam dakwah al-Ikhwan namun tidak pernah mendengar
bahwa mereka sebenarnya sedang tersesat, tidak pernah mendengar bahwa mereka
mempraktekkan sesuatu jenis kemusyrikan. Maka sejumlah besar mereka masuk
(menjadi) anggota al-Ikhwan sementara
mereka tetap menyembah kubur, sekaligus aktif pula turun ke jalan
berdemonstrasi. Mengapa? Sebab mereka tidak pernah mendengar bahwa berdo’a
kepada kuburan adalah syirik. Mereka telah menghadiri banyak muktamar-muktamar,
liqo’-liqo’, demonstrasi-demonstrasi,
namun tak pernah mendengar kecuali puji-pujian kepada rakyat ini bahwa mereka
adalah rakyat yang mulia, yang merdeka, yang berani, dan yang menolak kezhaliman.
Mereka tidak mendengar kecuali tentang
pentingnya cinta dan persatuan serta pensucian hati dari rasa iri hati dan
dengki. Ketika mereka turun ke jalan pada saat yang lain, mereka mendapati kaum
sekulair mengatakan hal-hal yang sama, lalu apa bedanya antara seruan ini (al-Ikhwan, ed.) denga seruan
itu (partai sekulair, ed.)???
Adapun (penerapan) hukum syariah, al-Ikhwan hanya menyerahkan tanggung jawabnya kepada penguasa saja,
karena itu massa mendengar di dalam berbagai ceramah dan muktamar, bahwa
sasaran celaan seluruhnya adalah partai-partai politik (yang berkuasa),
merekalah penyebab kehinaan kita, pendudukan negeri kita, kemunduran kita,
kekurangan bahan pangan sehari-hari dan sebagainya. Mereka tiada sedikitpun
mendengar celaan kepada diri mereka sendiri. Maka ada seorang penganut Asy’ariyah
yang hadir dan mendengarkan rapat-rapat umum ini, lalu posisinya menanjak
hingga menjadi pemimpin jama’ah, namun tidak pernah ia mendengar bahwa
sesungguhnya Alloh bersemayam di atas ‘Arsy. Pertemuan-pertemuan itu bahkan
dihadiri seorang pemeluk agama Syi’ah semisal Nawwab Showafy yang pernah berceramah di dalam ‘pengajian selasa’[9]
yang terkenal di kalangan al-Ikhwan,
namun tak ada seorangpun memberitahunya bahwa keyakinan Syi’ah al-Imamiyah[10]
adalah kemusyrikan dan kekafiran[11].
Lebih ajaib lagi, pertemuan-pertemuan itu dihadiri pula oleh kaum Nasrani yang
tidak pernah diberitahu bahwa aqidah mereka ketuhanan Yesus adalah kufur. Mereka
hanya mendengar bahwa “kita semua adalah putera-putera Mesir, rakyat Mesir!!!”
dan sebagainya[12].
Pendiri jama’ah ini tentunya mengetahui bahwa massa awam
tersebut melakukan banyak macam kemusyrikan yang telah didebat oleh para
pemimpin Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah.
Jawaban mereka adalah, “sekarang bukan waktunya untuk membahas hal itu, hingga
nanti tegaknya pemerintahan Islam.” Dan telah berlalu masa yang panjang
sementara pemerintahan yang diimpikan itu tak kunjung tiba, hanya Allohlah yang
tahu kapan kita berhak berkuasa di bumi.
Yang terpenting, sebagian besar massa tadi kini telah
menjumpai Rabb mereka. Seandainya Alloh Azza
wa Jalla tidak mentakdirkan adanya orang-orang yang memperbaiki aqidah
ummat, tentu Dia akan menerima sebagian besar mereka dalam keadaan musyrik
tidak diampuni dosanya oleh Alloh kecuali setelah bertaubat sebelum dijemput
sang maut. Bahkan terdapat salah seorang murid al-Banna yang terdekat yang
telah menjulang namanya sebagai pemimpin al-Ikhwan,
justru tidak mampu membedakan yang mana tauhid dan yang mana syirik!! Siapakah yang
akan bertanggung jawab di hadapan Alloh tentang tentang mereka ini yang
menjumpai-Nya dalam keadaan musyrik? Dan siapakah yang telah menyatakan kepada
mereka bahwa massa awam tidak wajib diluruskan aqidahnya kecuali setelah berada
di bawah penguasa daulah islamiyyah yang kokoh? Alloh mengetahui bahwa mereka
tidak punya dalil melainkan sekedar konsep-konsep pemikiran politis!
Adapun Anshorus
Sunnah, dakwah mereka diterima oleh orang-orang yang dikehendaki Alloh mendapatkan
hidayah-Nya. Mereka telah menjumpai
Alloh dalam keadaan bertauhid –insya Alloh-.
Bahkan seandainya tuduhan pemusuhan kepada mereka dianggap benar, yakni mereka
tidak pernah membahas “syirik politik” di depan para penguasa, maka sebagai
ijma’ ahlus sunnah, manusia yang menjumpai Rabbnya dalam keadaan bermaksiat selain
syirik akan dapat masuk surga walaupun harus disiksa terlebih dahulu di dalam
neraka. Seandainya orang tersebut mengenal tauhid, namun ia seorang yang
pengecut, maka sifat pengecut bukanlah kesyirikan namun sekedar bentuk
kemaksiatan. Ini adalah kemungkinan terjauh untuk dituduhkan kepada Anshorus Sunnah tentang kelalaian
mereka.
Maka demi Alloh, anda seharusnya memutuskan sesuai dengan
timbangan syara’, dakwah fihak mana yang lebih dekat dengan kebenaran? Para pembaca
budiman, berhukumlah dengan hukum Alloh dan tinggalkan cara-cara permainan
bahasa dan konsep-konsep pemikiran produk manusia. anda telah mengetahui bahwa
mereka (al-Ikhwan) tidak memiliki
dalil jika kelak ditanya Alloh Azza wa
Jalla tentang mengapa mereka tidak mendidik orang-orang yang bodoh bersama
mereka? Adapun Anshorus Sunnah,
jawaban mereka mudah saja, yakni besarnya tanggung jawab adalah sebatas
kemampuan; “Kami hanya mampu menjangkau massa, kami didik mereka, kami ajak
mereka untuk menunaikan kewajibannya kepada Rabb mereka. Adapun elit penguasa
yang dikawal jutaan tentara, dilengkapi pesawat-pesawat tempur dan kendaraan
lapis baja, maka kami terhalang dari
mereka oleh sebab-sebab alamiah. Kami hanya bisa melihat tampang-tampang
mereka dari media massa. Kami telah menempuh jalan para nabi dalam berdakwah
dan khususnya di dalam upaya mencapai kekuasaan.”
Adapun kalangan elit pelaku syirik politik, sebagian
besar mereka adalah para pembangkang yang keras kepala. Mereka tidak melakukan
syirik itu dengan maksud mendekatkan diri kepada Alloh melainkan sengaja
menghina agama Alloh berdasar asumsi bahwa syariat Islam telah menjadi
pemikiran reaksioner yang usang dan ketinggalan zaman. Orang macam begini tak
ada manfaatnya didakwahi (terus menerus karena hatinya telah terkunci, ed.),
kecuali dengan jihad bersenjata dalam batas kemampuan dan perimbangan kekuatan
(dan terpenuhi syarat-syaratnya, ed.). Apabila dikatakan, “Musa ‘alaihi Salam saja pergi menghadap Fir’aun
seorang diri!”, maka kami jawab, “Musa ‘alaihi
Salam menghadap Fir’aun dengan bekal mukjizat di luar hukum kausalitas. Di sini
lain beliau memiliki peluang menghadapi Fir’aun atau lebih jelasnya berhubungan
dengan Fir’aun bukanlah suatu hal yang mustahil baginya. Adapun sekarang, kami
adalah rakyat biasa yang tidak mudah melakukan apa yang dilakukan Musa ‘alaihi Salam. Maka apakah kami harus
berdiam diri dari kesyirikan masyarakat awam hingga sampai tibanya kesempatan
berkuasa, kesempatan yang amat langka ataukah kita menghentikan dakwah ini
hingga tiba kesempatan tersebut, yang hanya bakal diperoleh oleh satu orang
tidak bagi jutaan lainnya? Atau katakan, apakah kami harus mengganti sesuatu
yang telah tersedia dengan sesuatu yang masih dalam angan-angan, lalu kami
meninggalkan apa yang kami masih mampu melaksanakannya dengan memburu sesuatu
yang berada di luar kemampuan kita?!!
17. Pembelaan Al-Ikhwan
Sekarang kami akan berikan kesempatan kepada al-Ikhwan untuk memberikan pembelaan
diri. Diantara argumen yang mungkin akan mereka kemukakan adalah: tuduhan bahwa
al-Ikhwan tidak memperhatikan dakwah
menuju aqidah yang benar dan
pemberantasan bid’ah adalah tuduhan yang zhalim, keji dan tidak pada tempatnya.
Bukankah telah disebutkan di dalam risalah al-Ushul
al-‘Isyrin[13]
bahwa “memasang pelita di atas kuburan, membangun masjid di atasnya, thowaf di sekitarnya adalah perkara
mungkar yang wajib diberantas.[14]”
Bukankah pula banyak ulama al-Ikhwan
yang menulis berbagai buku tentang tauhid, semisal Arkanul Iman oleh Muhammad
Na’in Yasin dan Haqiqotut Tauhid
oleh DR. Yusuf al-Qordhowi, dan
masih banyak lagi lainnya. Lantas mengapa kalian menuduh murid-murid asy-Syaikh
al-Banna buta terhadap tauhid, sebuah tuduhan yang tanpa bukti dan dalil!!! Yang
benar adalah, dakwah al-Ikhwan itu syumul (sempurna mencakup seluruh aspek)
dan tidak terfokus hanya pada satu bidang saja tanpa menghiraukan bidang yang
lain”. Inilah jawaban dan pembelaan yang biasanya sering mereka kemukakan.
(bersambung ke bagian IV)
[1] Charles Darwin (1809-1882) seorang naturalis dan
ahli biologi berkebangsaan Inggris, cucu dari seorang filosof dan naturalis
yang bernama Erasmus Darwin. Dia adalah pencetus teori evolusi yang menyatakan
bahwa makhluk hidup memiliki hubungan kekerabatan antara satu dengan lainnya
dan berasal dari nenek moyang yang sama yang mengalami perubahan secara lambat
(perlahan-lahan) dan yang terkuat adalah yang dapat selamat (the strongest will survive) dan adanya
seleksi alam (Nature selection). Diantara
karyanya yang fenomenal adalah The
Origin of Species ,The Descent of Man
dan Selection in Relation to Sex.
Pemikiran Darwin ini menjadi dasar pijakan kaum evolusionis atheis untuk
menjustifikasi ketiadaan pencipta, bahkan pemahamannya merupakan pendorong
munculnya faham rasialis ektsrim semisal
NAZI dan semisalnya. Banyak sekali problematika ilmiah di dalam teorinya
dan banyak pula para saintis modern meragukan keabsahan teori ini, diantaranya
sanggahan yang diberikan oleh ilmuwan Perancis yang bernama Dr. Maurice Bucaille yang membantah
faham Darwinisme dengan cukup pedas namun saintifis. Namun sayangnya masih
banyak pula para ilmuwan sekuler yang masih berpegang dengan teorinya dan masih
pula diajarkan di perguruan-perguruan tinggi, bahkan sekolah-sekolah negeri
kaum muslimin. Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un ed.
[2] Sigmond Freud (1856-1939) adalah seorang ahli
kejiwaan dari
[3] Lihat : Al-I’tisham
karya al-Imam asy-Syathibi, tahqiq oleh al-Allamah
Muhammad Rasyid Ridha, Darul Fikro al-‘Araby,
[4] Sungguh penulis telah benar, kami melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana sebenarnya dakwah (baca : seruan) mereka telah menyebar ke
masyarakat umum, mulai dari tukang becak hingga orang-orang berdasi. Banyak diantara
mereka hadir ke majelis-majelis mereka, namun sayangnya mereka hanya disibukkan
dengan pembicaraan politik praktis dan kampanye-kampanye keparataian. Pembicaraan
mereka hanyalah slogan-slogan partai dan segala atributnya, namun apabila
mereka ditanya tentang masalah tauhid yang dasar, semisal “dimana Alloh?”,
niscaya jawaban mereka akan beraneka ragam, ada yang menjawab, “Alloh ada
dimana-mana”, “Alloh ada di dalam hati hamba”, “Alloh itu dekat”, “Alloh tidak
bertempat” dan bahkan ada yang marah-marah sembari memprotes “mengapa antum
bertanya dengan pertanyaan yang aneh begini? Pertanyaan semisal ini tidak
penting, yang penting Alloh itu dekat!!! Memangnya antum ini siapa?!! Seakan-akan
paling tahu tentang Alloh!! Lebih baik kita membicarakan saudara-saudara kita
di Palestina yang dibantai… kaum kafir yang mulai turut intervensi ke negeri
kita… pemerintah yang mulai korup… dst..” Wal’iyadzubillah.
ed.
[5] Partai sekulair di Mesir yang menjajakan faham
sekulerisme besar-besaran. Anehnya al-Ikhwan
bergabung dengan partai al-Wafd pada pemilu tahun 1984. dan pada pemilu 1987, al-Ikhwan berkoalisi dengan partai buruh
dengan mendirikian aliansi Islam. Mereka memnafaatkan slogan “Islam jalan
keluar” untuk berkampanye dan menyerukan implementasi hukum Islam. ed.
[6] Partai as-Sa’dy
al-Mishri adalah partai yang berkuasa di bawah pimpinan an-Nuqrashi Pasha ketika al-Ikhwan dibubarkan pada 8 Desember 1948.
pent.
[7] Jamal Abdul Nashir (1918-1970) adalah kelahiran Bani Murr (Asyuth). Ia membentuk Harokah adh-Dhobbath al-Ahrar (Free Officers Movement) yang
menggulingkan Raja Faruq Mesir pada
tahun 1952. tahun 1956, ia menasionalisasi terusan
[8] Hal serupa juga terjadi di negeri ini. masih segar
di ingatan kita bagaimana manuver partai ini yang berkoalisi dengan partai
sekuler lainnya (walau dikatakan berbasis Islam) di dalam men’gol’
[9] Al-Ikhwan memiliki
tradisi mengadakan pertemuan para anggotanya untuk mengkaji Islam setiap hari
selasa yang disebut Hadits Tsulatsa’.
Tradisi ini dimulai pada awal dakwah al-Ikhwan
oleh perndirinya Hasan al-Banna rahimahullahu.
Beliau rahimahullahu memulai dakwahnya
di warung-warung kopi
[10] Yakni satu sekte Syi’ah yang beriman kepada 12 imam
yang ma’shum, tidak mengakui al-Khulafatur
Rasyidah kecuali Khalifah ‘Ali dan mengkafirkan seluruh sahabat melainkan
hanya beberapa orang saya. Syai’ah ini sama dengan Syi’ah Itsa Asyariyah yang dianut oleh Khomeini dan mayoritas rakyat
[11] Dalam hal ini, al-Ikhwan
tampaknya tidak begitu ambil pusing dengan kekafiran Syia’h selama bisa
merapatkan dan menyatukan barisan. Al-Banna pernah mengadakan pertemuan dengan
pemimpin
[12] Di Zaitun
misalnya, orang-orang Qosawiyah
selalu mengunjungi al-Ikhwan manakala
mereka mengalami kesulitan di dalam merayakan hari-hari besar keagamaan. Dan tatkala
banyak anggota ikhwan yang
dijebloskan ke dalam penjara, turut serta pula dijebloskan kaum nasrani yang
turut berpastisipasi di dalam dakwah al-Ikhwan,
diantaranya Prof. Amin Petrus, guru
bahasa Inggris di sekolah menengah Ibnu
Khaldun. Mereka ini dijebloskan ke dalam penjara bersama anggota al-Ikhwan lainnya di masa pemerintahan an-Nuqrashy. Di kantor pusat Ikhwanul Muslimin pernah dibentuk biro
politik yang anggota-anggotanya berasal dari wakil organisasi Kristen Koptik, Wahib Daus, seorang sarjana hukum dan Luois Voneux bergabung dengan tiga
orang tokoh terkemuka al-Ikhwan. pent.
[13] Risalah al-Ushul
al-‘Isyrin adalah dua puluh asas gerakan Ikhwanul Muslimin yang dittulis oleh pendirinya, Syaikh Hasan
al-Banna rahimahullahu. Risalah al-Ushul al-‘Isyrin ini dan Arkanul Bai’ah (Sepuluh Rukun Baiat)
termuat di dalam Risalah Ta’lim yang
ditujukan untuk abggota Ikhwanul Muslimin. al-Ushul
al-‘Isyrin dimaksudkan sebagai “Common Platform” antara al-Ikhwan dengan jama’ah-jama’ah atau
organisasi social keagamaan lainnya, seperti Anshorus Sunnah al-Muhammadiyah, Jam’iyah asy-Syari’ah, Syabab
Sayyidina Muhammad, Jam’iyyah Syubbanul Muslimin, tarekat-tarekat shufiyah
dan lain-lain. Adapun Arkanul Bai’ah
sasarannya adalah akhun ‘amil
(anggota aktif) al-Ikhwan, sebab
setiap orang yang ingin pindah dari anggota ‘partisipatif’ atau simpatisan
menjadi anggota aktif haruslah berbaiat kepada komandan dakwah atau wakilnya
dengan baiat ini. banyak ulama al-Ikhwan
yang berusaha mensyarah, menafsirkan dan menguraikan prinsip ini. Yang pertama
kali melakukannya adalah Syaikh Abdul
Mun’im Ahmad Thu’ailib. Beliau telah mensyarah risalah tersebut seluruhnya
dengan ringkas dan cepat. Pada adal 1950-an terjadi polemik antara tokoh al-Ikhwan tentang siapa yang berhak
mensyarah prinsip tersebut, yaitu antara al-Ustadz
al-Bahy al-Khauly dengan al-Ustadz ‘Abdul
‘Aziz Kamil, yang keduanya adalah murid langsung Hasan al-Banna. Pada periode
tahun 1980-an, berbagai syarah lain bermunculan. Yang cukup terkenal adalah
uraian al-Ustadz Muhammad al-Ghozzali
yang berjudul Dustur al-Wahdah
ats-Tsaqofiyyah bainal Muslimin dan uraian DR. Yusuf al-Qordhowi yang berjudul Nahwa Wahdah Fikriyyah lil ‘Amilin lil Islam.pent.
[14] Prinsip ke-14 dari al-Ushul al-‘Isyrin.